Sabtu, 21 Mei 2011

PENGERTIAN TASAUF

PENGERTIAN TASAWUF 

Islam merupakan agama yang menghendaki kebersihan lahiriah sekaligus batiniah. Hal ini tampak misalnya melalui keterkaitan erat antara niat (aspek esoterik) dengan beragam praktek peribadatan seperti wudhu, shalat dan ritual lainnya (aspek eksoterik). Tasawuf merupakan salah satu bidang kajian studi Islam yang memusatkan perhatiannya pada upaya pembersihan aspek batiniah manusia yang dapat menghidupkan kegairahan akhlak yang mulia. Jadi sebagai ilmu sejak awal tasawuf memang tidak bisa dilepaskan dari tazkiyah al-nafs (penjernihan jiwa). Upaya inilah yang kemudian diteorisasikan dalam tahapan-tahapan pengendalian diri dan disiplin-disiplin tertentu dari satu tahap ke tahap berikutnya sehingga sampai pada suatu tingkatan (maqam) spiritualitas yang diistilahkan oleh kalangan sufi sebagai syuhud (persaksian), wajd (perjumpaan), atau fana’ (peniadaan diri). Dengan hati yang jernih, menurut perspektif sufistik seseorang dipercaya akan dapat mengikhlaskan amal peribadatannya dan memelihara perilaku hidupnya karena mampu merasakan kedekatan dengan Allah yang senantiasa mengawasi setiap langkah perbuatannya. Jadi pada intinya, pengertian tasawuf merujuk pada dua hal: (1) penyucian jiwa (tazkiyatun-nafs) dan (2) pendekatan diri (muraqabah) kepada Allah. Secara harfiah terdapat beberapa penafsiran tentang arti istilah sufi. Di antara penafsiran itu antara lain menyebutkan bahwa kata sufi bermula dari kata safa (suci hati dan perbuatan), saff (barisan terdepan di hadapan Tuhan), suffah (menyamai sifat para sahabat yang menghuni serambi masjid nabawi di masa kenabian), saufanah (sejenis buah/buahan yang tumbuh di padang pasir), safwah (yang terpilih atau terbaik), dan bani sufah (kabilah badui yang tinggal dekat Ka’bah di masa jahiliyah). Menurut Imam Qushaeri, keenam pendapat tersebut di atas jauh dari analogi bahasa kata sufi. Sedangkan yang lebih sesuai adalah berasal dari kata suf (bulu domba). Hal ini dinisbahkan kepada kebiasaan para sufi klasik yang memakai pakaian dari bulu domba kasar sebagai simbol kerendahan hati. Dalam kaidah ilmu sharaf, tasawwafa berarti memakai baju wol, sejajar dengan taqammasa yang berarti memakai kemeja. Tasawuf secara sederhana dapat diartikan sebagai usaha untuk menyucikan jiwa sesuci mungkin dalam usaha mendekatkan diri kepada Tuhan sehingga kehadiran-Nya senantiasa dirasakan secara sadar dalam kehidupan. Ibn al-Khaldun pernah menyatakan bahwa tasawuf para sahabat bukanlah pola ketasawufan yang menghendaki kasyf al-hijab (penyingkapan tabir antara Tuhan dengan makhluk) atau hal-hal sejenisnya yang diburu oleh para sufi di masa belakangan. Corak sufisme yang mereka tunjukkan adalah ittiba’ dan iqtida’ (kesetiaan meneladani) perilaku hidup Nabi. Islam sekalipun mengajarkan tentang ketakwaan, qana’ah, keutamaan akhlak dan juga keadilan, tetapi sama sekali tidak pernah mengajarkan hidup kerahiban, pertapaan atau uzlah sebagaimana akrab dalam tradisi mistisisme agama-agama lainnya. Abdul Qadir Mahmud menyatakan bahwa pola hidup sufistik yang diteladankan oleh sirah hidup Nabi dan para sahabatnya masih dalam kerangka zuhud. Kata Ahmad Sirhindi, tujuan tasawuf bukanlah untuk mendapat pengetahuan intuitif, melainkan untuk menjadi hamba Allah. Menurutnya, tidak ada tingkatan yang lebih tinggi dibanding tingkat ‘abdiyyat (kehambaan) dan tidak ada kebenaran yang lebih tinggi di luar syariat. Jadi, orientasi fundamental dalam perilaku sufistik generasi salaf adalah istiqamah menunaikan petunjuk agama dalam bingkai ittiba’, dan bukannya mencari karomah atau kelebihan-kelebihan supranatural. Adapun tasawuf yang berkembang pada masa berikutnya sebagai suatu aliran (mazhab), maka sejauh hal itu tidak bertentangan dengan Islam dapat dikatakan positif (ijabi). Tetapi apabila telah keluar dari prinsip-prinsip keislaman maka tasawuf tersebut menjadi mazhab yang negatif (salbi). Tasawuf ijabi mempunyai dua corak: (1) tasawuf salafi, yakni yang membatasi diri pada dalil-dalil naqli atau atsar dengan menekankan pendekatan interpretasi tekstual; (2) tasawuf sunni, yakni yang sudah memasukkan penalaran-penalaran rasional ke dalam konstruk pemahaman dan pengamalannya. Perbedaan mendasar antara tasawuf salafi dengan tasawuf sunni terletak pada takwil. Salafi menolak adanya takwil, sementara sunni menerima takwil rasional sejauh masih berada dalam kerangka syari’ah. Sedangkan tasawuf salbi atau disebut juga tasawuf falsafi adalah tasawuf yang telah terpengaruh secara jauh oleh faham gnostisisme Timur maupun Barat. Terdapat beberapa pendapat tentang pengaruh luar yang membentuk tasawuf Islam, ada yang menyebutkannya dari kebiasaan rahib Kristen yang menjauhi dunia dan kehidupan materiil. Ada pula yang menyebutkannya dari pengaruh ajaran Hindu dan juga filsafat neoplatonisme. Dalam Hindu misalnya terdapat ajaran asketisme dengan meninggalkan kehidupan duniawi guna mendekatkan diri kepada Tuhan dan menggapai penyatuan antara Atman dan Brahman. Pythagoras juga mengajarkan ajakan untuk meninggalkan kehidupan materi dengan memasuki dunia kontemplasi. Demikian juga teori emanasi dari Plotinus yang dikembangkan untuk menjelaskan konsep roh yang memancar dari dzat Tuhan dan kemudian akan kembali kepada-Nya. Pada konteks ini, tujuan mistisisme baik dalam maupun di luar Islam ialah kesadaran akan adanya komunikasi dan dialog langsung antara roh manusia dan Tuhan, kemudian mengasingkan diri dan berkontemplasi. Lahirnya tasawuf didorong oleh beberapa faktor: (1) reaksi atas kecenderungan hidup hedonis yang mengumbar syahwat, (2) perkembangan teologi yang cenderung mengedepankan rasio dan kering dari aspek moral-spiritual, (3) katalisator yang sejuk dari realitas umat yang secara politis maupun teologis didominasi oleh nalar kekerasan. Karena itu sebagian ulama memilih menarik diri dari pergulatan kepentingan yang mengatasnamakan agama dengan praktek-praktek yang berlumuran darah. Menurut Hamka, kehidupan sufistik sebenarnya lahir bersama dengan lahirnya Islam itu sendiri. Sebab, ia tumbuh dan berkembang dari pribadi Nabi saw. Tasawuf Islam sebagaimana terlihat melalui praktek kehidupan Nabi dan para sahabatnya itu sebenarnya sangatlah dinamis. Hanya saja sebagian ulama belakangan justru membawa praktek kehidupan sufistik ini menjauh dari kehidupan dunia dan masyarakat. Tasawuf kemudian tak jarang dijadikan sebagai pelarian dari tanggung jawab sosial dengan alasan tidak ingin terlibat dalam fitnah yang terjadi di tengah-tengah umat. Mereka yang memilih sikap uzlah ini sering mencari-cari pembenaran (apologi) atas tindakannya pada firman Allah yang antara lain berbunyi: الله يحكم بينهم يوم القيامة فيما كنتم فيه تختلفون Padahal dapat diketahui bersama bahwa nabi dan para sahabatnya sama sekali tidak melakukan praktek kehidupan kerahiban, pertapaan atau uzlah. Mereka tidak lari dari kehidupan aktual umat, tetapi justru terlibat aktif mereformasi kehidupan yang tengah dekaden agar menjadi lebih baik dan sesuai dengan cita-cita ideal Islam. وعباد الرحمان الذين يمشون على الأرض هون وإذا خاطبهم الجاهلون قالوا سلاما والذين يبيتون لربهم سجدا وقياما والذين إذا أنفقوا لم يسرفوا ولم يقتروا وكان بين ذلك قواما Sebagaimana halnya fikih dan kalam, tasawuf memang sering dipandang sebagai fenomena baru yang muncul setelah masa kenabian. Tetapi tasawuf dapat berfungsi memberi wawasan dan kesadaran spiritual atau dimensi ruhaniah dalam pemahaman dan pembahasan ilmu-ilmu keislaman. Seperti diungkap R.A. Nicholson, bahwa tanpa memahami gagasan dan bentuk-bentuk mistisisme yang dikembangkan dalam Islam, maka hal tersebut serupa dengan mereduksi keindahan Islam dan hanya menjadi kerangka formalitasnya saja. Dimensi mistis dalam tiap tradisi keagamaan cenderung mendeskripsikan langkah-langkah menuju Tuhan dengan imaji jalan (the path). Misalnya, di Kristen dikenal 3 (tiga) jalan: the via purgativa, the via contemplativa, dan the via illuminativa. Hal serupa ada pula dalam Islam, dengan mempergunakan istilah shari’a, tariqa, dan haqiqa. Praktik kesufian sebagaimana dipahami secara umum dewasa ini memang menuntut disiplin laku-laku atau amalan-amalan yang merupakan proses bagi para salik menemukan kesucian jiwanya. Salik adalah istilah yang diberikan kepada para pencari Tuhan, yaitu orang-orang yang berusaha mengadakan pendekatan (taqarrub) untuk mengenal Allah dengan sebenar-benarnya. Jalan spiritual yang ditempuh para sufi tidaklah mudah. Dalam tradisi kesufian, tingkatan-tingkatan spiritual digambarkan dalam analogi titik pemberhentian (station atau maqam) yang antara sufi satu dengan lainnya sering terdapat perbedaan pendapat. Station ini antara lain: (1) taubat, (2) zuhud, (3) sabar, (4) tawakkal, (5) ridha, (6) mahabbah, (7) ma’rifah, (8) fana’, (9) ittihad, (10) hulul. Selain maqam, tradisi sufi mengenal apa yang disebut dengan hal (jamaknya ahwal, state). Yakni situasi kejiwaan yang diperoleh seorang sufi sebagai karunia dari Allah atas riyadhah atau disiplin spiritual yang dijalaninya. Suatu situasi kejiwaan tertentu terkadang terjadi hanya sesaat saja (lawaih), adakalanya juga relatif cukup lama (bawadih), bahkan jika hal tersebut sudah terkondisi dan menjadi kepribadian, maka hal inilah yang disebut sebagai ahwal. Beberapa ahwal yang banyak dianut oleh kalangan sufi rumusannya sebagai berikut: (1) muraqabah, (2) khauf, dan (3) raja’, (4) Syauq, (5) Uns, (6) tuma’ninah, (7) musyahadah, (8) yakin. Allah dalam surat al-Nisa ayat 77 menyatakan, “Katakanlah, kesenangan di dunia ini hanya sementara dan akhirat itu lebih baik bagi orang-orang yang bertaqwa.” Dalam wacana kesufian, takhalli ‘an al-radzail atau membersihkan diri dari perbuatan tercela merupakan langkah awal untuk membersihkan hati seseorang. Sedangkan tahalli bi al-fadail atau menghiasi diri dengan sifat-sifat luhur adalah tangga berikutnya untuk mencapai tingkat spiritualitas yang lebih tinggi yaitu tajalli (lihat gambar). Jadi disini, tarekat (dari kata tariq = anak jalan) digambarkan sebagai jalan yang berpangkal pada syariat (dari kata syari’ = jalan utama). Ini sebuah pengandaian olah kalangan sufi bahwa sesungguhnya sekolah tasawuf adalah cabang dari dogma agama.

Selasa, 15 Februari 2011

AGAMA DAN PENGARUHNYA TERHADAP KESEHATAN MENTAL


AGAMA DAN PENGARUHNYA TERHADAP KESEHATAN MENTAL
Kesehatan mental (mental bygiene) adalah ilmu yang meliputi sistem tentang prinsip-prinsip, peraturan-peraturan serta prosedur-prosedur untuk mempertinggi kesehatan ruhani (M.Buchori,1982:13). Orang yang sehat mentalnya ialah orang yang dalam ruhani atau dalam hatinya selalu merasa tenang, aman, dan tentram (M.Buchori,1982: 5). Menurut H.C.Witherington, permasalahan kesehatan mental menyangkut pengetahuan serta prinsip-prinsip yang terdapat lapangan psikologi, kedokteran, psikiatri, biologi, sosiologi, dan agama (M.Buchori, 1982: 5).
Dalam ilmu kedokteran dikenal ostilah psikosomatik (kejiwabadanan). Maksudnya adalah untuk menjelaskan bahwa terdapat hubungan yang erat antara jiwa dan badan. Jika jiwa berada dalam kondisi yang kurang normal seperti susah, cemas, gelisah, dan sebagainya, maka badan terut menderita.
Beberapa temuan di bidang kedokteran dijumpai sejumlah kasus yang membuktikan adanya hubungan tersebut, jiwa (psyche) dan badan (soma). Dan istilah “makan hati berulam jantung” merupakan cerminan tentang adanya hubungan antara jiwa dan badan sebagai hubungan timbal balik. Jiwa sehat badan segar dan badan sehat jiwa normal.
Di bidang kedokteran dikenal beberapa macam pengobatan antara lain dengan menggunakan bahan-bahan kimia (tablet, cairan suntik atau obat minum). Electro-therapia (sorot sinar, getaran arus listrik). Chibro-practic (pijat), Selain itu juga dikenal pengobatan tradisional seperti tusuk jarum, mandi uap, hingga ke cara pengobatan pendukunan. (K.H.S.S. Djam’an. 1975:11)
Di luar cara-cara seperti itu, sejak berkembang psikoanalisis yang diperkenalkan oleh  Dr. Breuer dan S.Freud, orang mulai mengenal pengobatan  dengan  hipotheria, yaitu pengobatan dengan cara hipnotis.
Sejumlah kasus yang menunjukkan adanya hubungan antara faktor keyakinan dengan kesehatan jiwa atau mental tampaknya sudah disadari para ilmuan sejak beberapa abad lalu. ,misalnya pernyataan Carel Gustaf Jung” diantara pasien saya yang setengah baya tidak seorangpun yang penyebab kejiwaannya tidak dilator belakangi oleh aspek Agama”. (K.H.S.S.Djaman 1875:17)
Kenyataan serupa itu juga akan dijumpai dalam banyak buku yang mengungkapkan akan betapa eratnya hubungan antara agama dan kesehatan mental. Di Indonesia sendiri dua buku yang diterbitkan dengan judul peranan Agama dan Kesehatan mental  oleh Prof. Dr. Zakiah Drajat dan  Agam dan kesehatan Mental oleh  Prof. Dr. Aulia, telah membahas mengenai sejumlah kasus yang menunukkan antara kesehatan jiwa dan Agama. Dan Prof .Dr. Muhammad Mahmud ABD Al Qodir  lebih jauh membahas hubungan antara Agama dan kesehatan mental melalui pendekatan biokimia. Menurutnya, didilam tubuh manusia terdapat Sembilan kelenjar hormone yang memproduksi persenywaan-persenyawaan kimia yang mempunyai pengaruh biokimia tertentu, disalurkan lewat pembuluh darah dan selanjutnya member pengaruh kepada eksisitensi dan berbagai-bagai kegiatan tubuh. Pershormon persenyawaan-persenyawaan itu disebut hormone.
Lebih jauh Muhammad ABD Al Qodir berkesimpulan bahwa segala bentuk gejala emosi seperti rasa bahagia, rasa dendam, rasa marah, takut, berani, pengecut yang ada pada diri manusia akibat pengaruh persenyawaan-persenyawaan  kimia hormon, diamping persenyawaan lainnya.
Jika seorang berada dalam keadaan normal, seimbang hormon dan kimiawinya,, maka ia akan  selalu  berada dalam keadaan aman. Perubahan yang terjadi dalam kejiwaan itu disebut oleh ABD Al Qodir sebagai spektrum hidup.
Jika terjadi keseimbambangan maka akan kembali menjadi normal. Terjadinya pergesekan dari kondisi normal ke daerah yang berbahaya itu, menurut ABD Qodir  sangat bergantung dari drajat keimanan yang tersimpan didalam diri manusia, disamping faktor susunan tubuh serta dalam atau dangkalnya rasa dan  kesadaran  manusia itu.( Muhammad Mahmud ABD Al Qodir, 1979)
Penemuan Muhammad Mahmud ABD Al Qodir seorang ulama dan ahli biokimia ini, setidak-tidaknya member bukti akan adanya hubungan antara keyakinan Agam dan kesehatan jiwa. Pengobatan penyakit batin melalui bantuan Agama lebh banyak dipraktikkan orang.
  Salah satu cabang ilmu jiwa,yang tergolong dalam  psikologi Humanistika dikenal logo terapi  ( logos berarti makna dan juga rohani) logoterapi dilandasi falsafah hidup dan wawasan mengenai manusia yang mengakui adanya dimensi sosial pada kehidupan manusia. Logo terapi menunjukkan tiga bidang kegiatan secara potensial memberi  peluang kepada seseorang untuk menemukan makna hidup bagi dirinya sendiri ( logos berarti makna dan juga rohani) logo terapi dilandasi falsafah hidup dan wawasan mengenai manusia yang mengakui adanya dimensi social pada kehidupan manusia. Logo terapi menunjukkan tiga bidang kegiatan secara potensial memberi peluang kepada seseorang untuk menemukan makna hidup bagi dirinya sendiri. Ketiga kegiatan itu adalah :
1.      Kegiatan berkarya, bekerja dan mencipta, serta melaksanakan sebaik-baiknya tugas dan kewajiban masing-masing
2.      Keyakinan dan penghayatan atas nilai-nilai tertentu( kebenaran, keindahan, kebijakan, keimanan dan lainnya) dan
3.      Sikap tepat yang diambil keadaan dan penderitaan yang tidak terelakkan lagi.

Dalam menghadapi siakp yang tidak terhindarkan lagi pada kondisi yang ketiga, menurut logoterapi, maka ibadah merupakan salah satu cara yang dapat digunakan untuk membuka pandangan seseorang akan nilai nilai potensial dan makna hidup yang terdapat dalam diri dan sekitarnya(Hanna Djumhana  Bastaman,1989)
DAFTAR PUSTAKA
Prof. Dr. H. Rama yulis, Psikologi Agama,  Mulia Jakarta:2007
Prof. Dr. H. Jalaluddin, Psikologi Agama, Rajagrapindo Persada, Jakarta:2008


SISTEM KHOLIFAH DENGAN SISTEM LAIN


SISTEM KHOLIFAH DENGAN SISTEM LAIN
Pilar-Pilar Pemerintahan Islam
Sistem pemerintahan Islam dibangun atas empat pilar: Pertama, kedaulatan di tangan syara' bukan di tangan rakyat. Kedua, kekuasaan adalah milik umat. Ketiga, mengangkat satu Khalifah hukumnya wajib bagi seluruh kaum muslimin. Dan keempat, hanya Khalifah yang berhak melakukan tabbani (adopsi) terhadap hukum-hukum syara'.
[1] Masalah Kedaulatan
Islam memerintahkan kepada kaum Muslimin dan negara hanya tunduk kepada hukum syariat Islam. Kehendak seorang muslim atau umat, tidak diatur oleh dirinya sendiri atau umat, melainkan diatur oleh Allah swt dengan seluruh perintah dan laranganNya
[2] Kekuasaan di tangan umat
Kekuasaan atau pemerintahan di tangan umat, berdasarkan tatacara yang telah ditentukan oleh syara’ dalam mengangkat khalifah yang dipilih oleh kaum muslimin, yaitu dengan cara baiat. Umatlah yang berhak memilih penguasa, apakah secara langsung atau melalui ahlul halli wal aqdi. Tidak seorangpun dapat menjadi penguasa kecuali telah dikehendaki umat, yang ditunjukkan dengan baiat. Hanya saja, kekuasaan yang diberikan itu hanyalah untuk menjalankan syariat Islam (kedaulatan Allah) semata.
Dalam praktek pada masa kekhilafahan, Islam telah menyerahkan hak ini kepada kepala negara (khalifah) yang terpilih dalam pemilihan umum. Kepala negara diangkat oleh umat. Oleh karena itu, di dalam Islam kekuasaan berada di tangan umat. Siapapun yang terpilih, maka ia berhak menduduki jabatan sebagai kepala negara.
[3]. Khalifah yang dipilih dan dibaiat rakyat haruslah satu orang saja dan ini merupakan kewajiban bagi kaum muslimin.
Berkaitan dengan masalah pemerintahan, kekuasaan dan ketaatan kepada ulil amri, serta keterkaitannya dengan hukum syara’ dan penolakan terhadap hukum thagut (kufur), maka ada dua hal yang penting untuk dikaji. Masalah pertama, kewajiban mengangkat seorang pemimpin (kepala negara). Kaum Muslimin wajib mengangkat seorang ulil amri dan mentaatinya.
Ulil amri adalah penguasa yang mempunyai kedudukan paling tinggi dalam kepemimpinan Islam. Ia adalah khalifah (Imam Al A’dzam) yang mengatur seluruh urusan umat Islam (Wali Al Amri). Oleh karena itu, taat kepada khilafah adalah suatu kewajiban syar’i atas kaum Muslimin. Dalil di atas adalah sekaligus sebagai kewajiban bagi kaum Muslimin untuk mewujudkan adanya Khalifah (Wali Al Amri). Masalah Kedua, semua hal selalu terkait dengan hukum syara’.
Dalam pembahasan sistem kekhilafahan ini, memang Al Quraan tidak menjelaskan secara tegas apakah di dunia ini boleh ada lebih dari satu kepemimpinan Islam. Masalah ini menjadi penting bagi seluruh kaum Muslimin semenjak tercetusnya ide “Pan Islamisme” oleh Jamaluddin Al Afghani dan Muhammad Abduh.
[4]. Khalifah berhak mentabani hukum.
khalifah sajalah satu-satunya yang berhak untuk menetapkan hukum
Pengaruh Penjajah Terhadap Sistem Politik Pemerintah Di Timur Tengah
Renaisance yang terjadi di Eropa membawa perubahan besar bagi konstelasi dunia. Perlahan bangsa-bangsa Eropa mulai bersinar di kancah dunia. Portugis, Spanyol, Prancis, Inggris mulai menjadi negara-negara yang berpengaruh dikancah politik dunia, menandingi hegemoni dari khilafah Turki Utsmani, pewaris kekhilafahan Islam. Perlahan tapi pasti terjadi penjelajahan dunia yang berujung kepada imperialisme dan kolonialisme. Dan proses ini bersentuhan juga dengan kawasan Timur Tengah.
Beberapa faktor yang mendukung proses kolonialisasi di kawasan Timur Tengah, beberapanya adalah:
1. jarak yang dekat dengan Eropa Selatan
2. jarak yang jauh dari pusat dan jantung Islam di Asia Barat
3. lemahnya tradisi Islam
4. proporsi keturunan Berber dan Eropa yang lebih banyak membuat penduduk lebih bertindak mandiri
Di daratan Arab, wilayah Afrika Utara merupakan wilayah yang pertama lepas dari kekhilafahan Turki Utsmani. Aljazair merupakan negeri yang pertama kali lepas ketika tahun 1830, pasukan Prancis mendarat dan 18 tahun kemudian negeri itu dideklarasikan sebagai bagian dari wilayah Prancis. Tahun 1881, Prancis menguasai Tunisia, dan seperti Aljazair diberikan status negara protektorat. Tahun 1901 Prancis menaklukan Maroko. Tripolitania direbut oleh Italia dan menjadi negara Libya tahun 1934.
Kolonialisme tentunya melahirkan pemikiran baru dalam khazanah perpolitikan negara jajahan. Sistem politik Islam mendapatkan bandingan dari sistem politik yang dianut negara penjajahnya. Setidaknya ada 2 respon yang muncul;
1. menolak, dengan anggapan sistem Islam sudah final. Dan sikap ini melahirkan perlawanan secara total kepada negara penjajahnya.
2. menerima, tentunya berkat proses edukasi yang dilakukan negara penjajah terhadap warga pribumi. Dan penerimaan ini bisa bersifat total, sampai mengadopsi penuh sistem politik yang diterapkan negara penjajah. Juga dapat berupa penyesuaian dengan sisa-sisa pemikiran Islam yang masih tinggal.
Lahirlah model sistem pemerintahan Republik, Kerajaan, dengan berbagai variannya.
Perbandingan Sistem Pemerintahan
Perbedaan Dengan Theokrasi
Theokrasi berasal dari bahasa Yunani Theos (Tuhan) dan kratos (kekuasaan). Istilah theokrasi biasa digunakan untuk menyebut sistem politik yang didasarkan atas kekuasaan Tuhan yang diwakili oleh kekuasaan spiritual sekaligus menguasai kekuasaan politik (Dr. Jamil Shaliba, Al Mu’jam al Falsafi, hal 369).
Menurut Ensiklopedi Indonesia (Hassan Sadily, dkk.) theokrasi digunakan oleh kerajaan-kerajaan kuno yang mengaku mendapatkan legitimasi kekuasaan dari dewa atau Tuhan, misalnya kekaisaran Jepang. Disamping legitimasi kekuasaan dari Tuhan yang tak bisa diganggu-gugat, dalam negara theokrasi para pemimpin negara dianggap mendapatkan wewenang untuk membuat hukum dan sekaligus menariknya kembali kapan saja tanpa koreksi dari yang lain.
Menurut Syibly Al Isamy, negara theokrasi adalah negara di tangan para pemimpin gereja yang menganggap segala perilaku mereka terjaga dari kesalahan dan suci. Apa yang mereka halalkan di bumi, tentu halal pula di langit. Apa yang mereka batasi di dunia, tentu dibatasi pula di langit. Tak seorang pun manusia boleh berkata kepada para pemimpin gereja itu, “Engkau telah berbuat buruk, engkau telah berbuat salah”. Sebab dengan perkataannya itu berarti telah menentang Tuhan yang telah mewakilkan kepadanya (Al-Qardhawy, 1999:81).
Bahkan kesucian pemimpin alias penguasa (Imam) itu menurut Imam Khomeini, berada pada martabat yang sangat tinggi, yang tak bisa dijangkau oleh para nabi maupun malaikat. (lihat Al Imam Al Khomeini, Al Hukumah Al Islamiyah, hal 52).
Dengan demikian, dapat kita simpulkan bahwa dalam negara theokrasi, kekuasaan dimiliki seseorang atau sekelompok orang yang mendapatkan legitimasi dari Tuhan bukan dari rakyat. Oleh karena itu rakyat tidak berwenang untuk mencabutnya dari kursi kekuasaan. Disamping itu, tatkala penguasa membuat hukum, dia berkedudukan sebagai wakil Tuhan yang berwenang mengatur kehidupan di muka bumi. Dengan demikian berarti kedaulatan (as siyadah/sovereignty) dan kekuasaan (as sulthon/autority) berada di tangan seorang atau beberapa orang penguasa negara theokrasi itu sendiri.
Setidaknya ada empat perbedaan antara sistem khilafah dengan sistem theokrasi; Pertama, legitimasi kekuasaan para penguasa dalam sistem theokrasi berasal dari Allah atau Tuhan atau Dewa. Mereka mengaku wakil Tuhan dan rakyat cukup hanya menerima pengakuan mereka Dalam sistem khilafah, legitimasi kekuasaan diperoleh oleh seorang khalifah dari umat karena khalifah dipilih oleh umat rakyat secara keseluruhan atau mayoritasnya, baik secara langsung atau melalui perwakilan mereka (majelis umat/syuro). Khalifah bukanlah wakil Allah, melainkan wakil umat. Kesimpulannya, sumber kekuasaan dalam sistem khilafah adalah umat (As Sulthan lil Ummah). Lalu umat menyerahkan pelaksanaan pemerintahan itu kepada seseorang yang mereka bai’at menjadi khalifah untuk mewakili mereka. Muhammad Saw. dan para khulafaur Rasyidin mendapatkan baiat dari kaum muslimin untuk menjalankan kekuasaan guna menerapkan hukum-hukum Islam dalam kehidupan bernegara. (An Nabhani, 1997:40)
Kedua, hukum yang diterapkan dalam sistem theokrasi adalah hukum yang dibuat sendiri oleh para penguasa yang mengklaim telah mendapatkan legitimasi dan wewenang dari Tuhan untuk membuat hukum sesuka mereka. Sedangkan dalam sistem khilafah, khalifah yang telah dibai’at oleh umat Islam hanyalah bertugas untuk melaksanakan hukum Allah yang terdapat dalam al Qur’an dan Sunnah. Sedangkan, dalam negara theokrasi, para pemimpin/penguasa membuat hukum sendiri dengan segala kelemahan pengetahuannya sebagai manusia.
Ketiga, dalam negara theokrasi, penguasa sebagai wakil Tuhan di muka bumi diklaim tidak bisa berbuat salah. Penguasa ma’shum, dijaga oleh oleh Tuhan dari kesalahan dan dosa. Dalam sistem khilafah, penguasa justru tidak ma’shum.
Keempat, karena kemaksuman dalam poin ketiga, maka penguasa dalam sistem theokrasi tidak bisa dikritik dan dikoreksi. Sedangkan dalam sistem khilafah, kritik dan koreksi (muhasabah) adalah hak kaum muslimin sekaligus kewajiban mereka sebagai rakyat yang mewakilkan kekuasaan melaksanakan hukum Allah SWT kepada khalifah. Sebab, khalifah sebagaimana umat adalah manusia yang di dalam melaksanakan hukum Allah SWT mungkin melakukan kekeliruan. Dan pelanggaran hukum Allah SWT atau kemungkaran, apabila dilakukan penguasa, bisa menjadi sebuah bencana yang besar.
Karena itu, negara khilafah merupakan negara manusiawi —yang dipimpin manusia serta memerintah manusia biasa— bukan negara ilahiyah (theokrasi) —dimana penguasanya adalah wakil tuhan yang tidak pernah salah. (An Nabhani, 1997:157)
Perbedaan Dengan Kerajaan (Monarki)
Sistem monarki adalah bentuk pemerintahan yang dikepalai oleh seorang raja. Sistem ini kadangkala mengalami perubahan dari sisi pembuat hukum dan pola pengangkatan raja sehingga ada di antara para pakar politik, antara lain Leon Duguit, yang membagi sistem ini ke dalam tiga bentuk, yaitu:
1. Monarki dengan sistem pemerintahan yang absolut
2. Monarki terbatas
3. Monarki konstitusionil
Tanpa perlu memandang perbedaan bentuk monarki itu sendiri, secara substansial ada beberapa hal yang harus dicermati dalam sistem pemerintahan monarki ini, yaitu:
Sistem pemerintahannya menerapkan sistem waris, di mana singgasana kerajaan akan diwarisi oleh seorang putra mahkota dari orang tuanya; seperti saat mereka mewariskan harta warisan. Sedangkan sistem khilafah tidak mengenal sistem waris. Sistem Islam telah menjadikan kekuasaan adalah milik umat, bukan milik khalifah. Pemerintahan akan dipegang oleh orang yang dibaiat oleh umat dengan penuh ridha dan kebebasan memilih. Umar bin Khatab r.a. pernah berkata: “Siapa saja yang menyerahkan kepemimpinan kepada seseorang karena pertimbangan sanak-kerabat atau sahabatnya, padahal ia tahu bahwa di antara kaum muslimin ada yang lebih baik ketimbang dia, maka Allah dan Rasul-Nya benar-benar telah menjadikan seluruh kaum muslimin terhina”. (Abdul Qadim Zallum, Nizhamul Hukmi Fiil Islam: 91)
Sistem khilafah tidak berbentuk monarchi. Bahkan, Islam tidak mengakui sistem monarchi, maupun yang sejenis dengan sistem monarchi. Dalam Islam, pemerintahan akan dipegang oleh orang yang dibai’at oleh umat dengan penuh ridla dan kebebasan memilih. (An Nabhani, 1997:31)
Disamping itu, dalam sistem khilafah tidak mengenal wilayatul ahdi (putra mahkota). Justru Islam menolak adanya putra mahkota, bahkan Islam juga menolak memperoleh pemerintahan dengan cara waris. Dimana Islam telah menentukan cara memperoleh pemerintahan, dengan bai’at dari umat kepada Khalifah atau imam, dengan penuh ridla dan kebebasan memilih. (An Nabhani, 1997:32)
Dalam praktiknya, sistem pewarisan kekuasaan yang ternyata menjadi salah satu faktor yang mempercepat runtuhnya Khilafah Utsmaniyyah. Juga pada masa Umayyah, sistem putra mahkota yang dipelopori oleh Khalifah Muawiyyah karena telah merampas hak-hak politik rakyat yang sudah ditetapkan dalam Islam.
Selain itu pola pewarisan jabatan menyebabkan Khilafah diperintah oleh orang-orang yang kurang matang dan tidak berpengalaman. Sepuluh orang Khalifah pertama pada masa Utsmaniyyah (sampai era Sulaiman The Magnificent, 1520-1566) adalah orang-orang yang matang. Tetapi para Khalifah sesudahnya (kecuali Murad IV, Mustafa III, dan Abdul Hamid II) adalah orang-orang yang kurang matang bahkan ada yang berada di bawah pengaruh ibunya (Sultan Osman II, 1618-1622). Selain itu nepotisme yang merebak di beberapa wilayah telah menyebabkan upaya-upaya pemisahan diri yang menguras konsentrasi Khalifah sehingga menghambat upaya konsolidasi internal.
Adanya hak tertentu serta hak-hak istimewa khusus untuk raja saja, yang tidak akan bisa dimiliki oleh yang lain. Sistem ini juga telah menjadikan raja di atas undang-undang, secara pribadi raja memiliki kekebalan hukum. Raja, kadang kala hanya merupakan simbol bagi umat, dan tidak memiliki kekuasaan apa-apa, seperti raja-raja di Eropa. Atau kadang kala menjadi raja dan sekaligus berkuasa penuh, bahkan menjadi sumber hukum. Dimana raja bebas mengendalikan negeri dan rakyatnya dengan sesuka hatinya, seperti raja di Saudi, Maroko, dan Yordania. (An Nabhani, 1997:31)
Hal ini tampak pada konsep Divine Right of Kings (Hak Suci Raja) yang muncul dalam masa 1500-1700 M, yang digunakan antara lain oleh Raja Spanyol Isabella dan Ferdinand (1479-1516), Raja-raja Bourboun di Perancis, Charles I dan Charles II di Inggris (1588-1679).
Hal ini bertolak belakang dengan sistem khilafah yang tidak pernah memberikan kekhususan kepada khalifah atau imam dalam bentuk hak-hak istimewa atau hak-hak khusus, karena kedaulatan sepenuhnya ada pada hukum syara’ (hukum Tuhan). Khalifah memiliki hak yang sama dengan hak rakyat biasa. Tidak ada perbedaan dalam penerapan aturan dan keharusan untuk diatur oleh hukum syara’, sebagaimana yang dicontohkan oleh Khalifah Umar bin Abdul Aziz yang sangat memperhatikan harta rakyatnya sampai beliau tidak mau mendapatkan uang santunan sebesar dua dirham dari baitul mal. Begitu pula beliau memerintahkan pada keluarga Marwan (sanak keluarganya sendiri) untuk mengembalikan harta yang tidak sah kepada baitul mal atau kepada pemiliknya (Sayyid Qutb, Keadilan Sosial dalam Islam: 287).
Raja, kadangkala hanya merupakan simbol bagi umat dan tidak memiliki kekuasaan apa-apa, atau bahkan berkuasa penuh bahkan menjadi sumber hukum sehingga raja bebas mengendalikan negeri dan rakyatnya sesuka hati. Khalifah tidak memiliki hak, selain hak yang sama dengan rakyat biasa. Khalifah juga bukan hanya sebuah simbol bagi umat, yang menjadi Khalifah namun tidak memiliki kekuasaan apa-apa. Disamping Khalifah juga bukan sebuah simbol yang berkuasa dan bisa memerintah serta mengendalikan negara beserta rakyatnya dengan sesuka hatinya. Namun, Khalifah adalah wakil umat dalam masalah pemerintahan dan kekuasaan, yang mereka pilih dan mereka bai’at dengan penuh ridla agar menerapkan syariat Allah atas diri mereka. Sehingga Khalifah juga tetap harus terikat dengan hukum-hukum Islam dalam semua tindakan, hukum serta pelayanannya terhadap kepentingan umat. (An Nabhani, 1997:31-32)
Perbedaan Dengan Republik
Sistem pemerintahan Islam juga bukan sistem republik. Dimana sistem republik berdiri di atas pilar demokrasi, yang kedaulatannya ada di tangan rakyat. Rakyatlah yang memiliki hak untuk memerintah serta membuat aturan, termasuk rakyatlah yang kemudian memiliki hak untuk menentukan seseorang untuk menjadi penguasa, dan sekaligus hak untuk memecatnya. Rakyat juga berhak membuat aturan berupa undang-undang dasar serta perundang-undangan, termasuk berhak menghapus, mengganti serta merubahnya.
Dalam sistem pemerintahan ini, perlu dicermati hal-hal berikut:
Istilah demokrasi sendiri berasal dari bahasa Yunani, demos yang berarti rakyat dan kratos/ kratein berarti kekuasaan/berkuasa. Singkatnya demokrasi diartikan “rakyat berkuasa”, atau “government or rule by the people” (Prof. Miriam Budiardjo, idem). Gagasan ini memang bermula dari negara kota (city state) Yunani kuno abad 6 sampai 3 sebelum masehi, yang berbentuk direct democracy. Hak membuat keputusan-keputusan politik dijalankan secara langsung oleh seluruh warga negara berdasarkan prosedur mayoritas. Ini dapat diselenggarakan efektif karena kondisi yang sederhana, wilayahnya terbatas serta jumlah penduduk pun masih sedikit. Tentu ini akan berbeda dengan kondisi negara modern seperti sekarang dimana kompleksitas masalah yang luas, dan populasi rakyat sangat besar.
Ketika memasuki abad pertengahan dengan ciri struktur sosial feodal (hubungan antara vassal dan lord), gagasan ini boleh dibilang hilang dari Eropa. Muncul kemudian monarki-monarki absolut pada masa 1500-1700 M, dimana para raja menganggap dirinya berhak atas tahta berdasar konsep devine rights of kings (hak suci raja). Eksploitasi dan penindasan rakyat atas nama agama oleh para raja tadi menimbulkan berbagai ketidakpuasan. Naiknya golongan menengah yang memiliki kedudukan ekonomi kuat dan berpendidikan, menyuarakan kecaman-kecaman terhadap model absolutisme. Akhirnya mereka mendobrak kedudukan raja-raja absolut dengan mengedepankan teori rasionalitas atau kemudian dikenal sebagai social contract. Salah satu asas gagasan ini adalah bahwa dunia dikuasai oleh hukum yang timbul dari alam yang mengandung prinsip-prinsip keadilan yang universal, artinya berlaku untuk semua waktu serta semua manusia. Hukum ini kemudian dinamakan natural law (hukum alam). Para filusuf pencetus gagasan ini John Locke dari Inggris (1632-1704) dan Montesquieu, filusuf Prancis yang hidup antara tahun 1689-1755. Menurut mereka hak-hak politik mencakup hak atas hidup, kebebasan dan hak milik (life, liberty, property). Kemudian disusunlah suatu sistem politik yang sangat terkenal, trias politica. Berbagai revolusi sosial kemudian bergolak disulut oleh ide-ide tadi di Eropa, seperti yang terjadi di Prancis (akhir abad 18) dan revolusi Amerika atas Inggris. Baru pada akhir abad ke-19 lah gagasan-gagasan demokrasi mendapat wujud yang kongkrit sebagai program dan sistem politik. Meski pada tahap awal hanya mendasarkan pada asas-asas kemerdekaan individu, kesamaan hak (equal rights), serta hak pilih untuk semua warga negara (universal suffrage). Kini demokrasi menjadi barang dagangan yang dijajakan Barat (baca: Amerika) ke seluruh dunia dengan gencar, termasuk ke negeri-negeri muslim. Ide ini disambut gempita oleh rakyat, terlebih bila di tengah-tengah mereka berlangsung alam kehidupan yang cenderung absolut dan represif dari penguasa.
Demokrasi sebagai asas penegakkannya bertentangan dengan Islam karena dalam sistem demokrasi kedaulatan sepenuhnya berada pada tangan rakyat, sementara sistem Islam yang pilar penegaknya adalah aqidah Islam dan hukum syara’ (hukum Tuhan), memberikan kedaulatan berada pada hukum syara’, artinya yang berhak membuat aturan hanya Allah SWT, tidak ada campur tangan manusia. Khalifah hanya memiliki hak untuk mengadopsi hukum-hukum yang akan dijadikan sebagai undang-undang dasar serta perundang-undangan dari Al Qur’an dan Sunnah Rasul-Nya. Begitu pula umat tidak berhak memecat Khalifah, karena yang berhak hanyalah hukum syara’, dalam arti bahwa ketika ia tidak dapat menjaga dan penerapan aturan-aturan Allah, maka ia wajib dipecat. Akan tetapi, umat tetap berhak untuk mengangkat khalifah. Sebab Islam telah menjadikan kekuasaan di tangan umat. Sehingga umat berhak mengangkat siapa saja yang mereka pilih dan mereka baiat untuk menjadi wakil mereka dalam memberlakukan dan melaksanakan aturan Allah SWT. (An Nabhani, 1997:32)
Beberapa prinsip mendasar sistem demokrasi, antara lain:
Demokrasi adalah buatan akal manusia dan bukan berasal dari Tuhan. Demokrasi tidak bersandar pada wahyu dan tidak memiliki hubungan dengan agama (Islam) yang diturunkan Allah SWT. Hal ini disebabkan demokrasi berasal dari sejarah gelap Eropa pada masa Aufklarung (pencerahan pemikiran).
Demokrasi lahir dari aqidah faslud diin ‘anil hayah (pemisahan agama dari realita kehidupan), yang selanjutnya berimpliksi pada pemisahan agama dari negara dan pemerintahan.
Asas demokrasi berlandaskan dua ide dasarnya, yaitu kedaulatan yang tertinggi di tangan rakyat dan rakyat sebagai sumber kekuasaan.
Demokrasi adalah sistem pemerintahan mayoritas. Pemilihan penguasa dan anggota lembaga legislatif diselenggarakan berdasarkan suara mayoritas para pemilih. Hal ini berimplikasi pada semua keputusan dalam lembga-lembaga legislatif tersebut diambil berdasarkan pendapat mayoritas.
Demokrasi bertumpu pada empat macam kebebasan yang harus dijamin bagi setiap individu, yaitu: Kebebasan beragama (freedom of religion), kebebasan berpendapat (freedom of speech), kebebasan kepemilikan (freedom of ownership), dan kebebasan berprilaku (personal freedom).
Dalam sistem republik dengan bentuk presidensilnya, seorang presiden memiliki wewenang sebagai seorang kepala negara serta wewenang sebagai seorang perdana menteri, sekaligus. Karena tidak ada perdana menteri, sementara yang ada hanya para menteri, semisal presiden Amerika. Sedangkan dalam sistem republik dengan bentuk parlementernya, terdapat seorang presiden sekaligus dengan perdana menterinya. Dimana wewenang pemerintahannya dipegang oleh perdana menteri, bukan presiden, misalnya Republik Prancis dan Jerman Barat. (An Nabhani, 1997:32-33)
Sedangkan di dalam sistem khilafah tidak ada menteri maupun kementerian bersama seorang Khalifah sebagaimana dalam konsep demokrasi, yang memiliki spesialisasi serta departemen-departemen tertentu. Yang ada dalam sistem khilafah hanyalah para mu’awin (pembantu Khalifah) yang senantiasa dimintai bantuan oleh Khalifah. Tugas mereka adalah membantu Khalifah dalam tugas-tugas pemerintahan. Mereka adalah para pembantu dan sekaligus pelaksana. Ketika Khalifah memimpin mereka, maka Khalifah memimpin mereka bukan dengan kapasitasnya sebagai perdana menteri atau kepala lembaga eksekutif, melainkan hanya sebagai kepala negara. Sebab dalam Islam tidak ada kabinet menteri yang bertugas membantu Khalifah dengan memiliki wewenang tertentu. Sehingga mu’awin tetap hanyalah pembantu Khalifah untuk melaksanakan wewenang-wewenangnya.
Selain dua bentuk tersebut, baik presidensil maupun parlementer dalam sistem republik, presiden bertanggung jawab di depan rakyat atau yang mewakili suara rakyat. Dimana rakyat beserta wakilnya berhak untuk memberhentikan presiden, karena kedaulatan di tangan rakyat.
Kenyataan ini berbeda dengan sistem kekhilafahan, karena seorang amirul mukminin (Khalifah), sekalipun bertanggung jawab di hadapan umat dan wakil-wakil mereka, termasuk menerima kritik dan koreksi dari umat serta wakil-wakilnya, namun umat termasuk para wakilnya tidak berhak untuk memberhentikannya. Amirul mukminin juga tidak akan diberhentikan kecuali apabila menyimpang dari hukum syara’ dengan penyimpangan yang menyebabkan harus diberhentikan. Adapun yang menentukan pemberhentiannya adalah hanya mahkamah madzalim. (An Nabhani, 1997:33)
Jabatan pemerintahan (presiden atau perdana menteri) dalam sistem republik, baik yang menganut presidensil maupun parlementer, selalu dibatasi dengan masa jabatan tertentu, yang tidak mungkin bisa melebihi dari masa jabatan tersebut. Sementara di dalam sistem khilafah, tidak terdapat masa jabatan tertentu. Namun, batasannya hanyalah apakah masih menerapkan hukum syara’ ataukah tidak. Karena itu, selama Khalifah masih melaksanakan hukum syara’, dengan cara menerapkan hukum-hukum tersebut kepada seluruh manusia di dalam pemerintahannya, yang diambil dari Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya, maka dia tetap menjadi Khalifah, sekalipun masa jabatannya panjang dan lama. Dan apabila dia telah meninggalkan hukum syara’ serta menjauhkan hukum-hukum tersebut, maka berakhirlah masa jabatannya, sekalipun baru sehari semalam. Sehingga tetap wajib diberhentikan. (An Nabhani, 1997:33-34)
Dalam sistem demokrasi memang ada kritik dan koreksi, dan ini biasanya dilakukan oleh pihak oposisi untuk kepentingan politik dari pihak oposisi, misalnya memenangkan pemilu berikutnya, bahkan menjatuhkan kekuasaan. Dalam sistem khilafah, kritik dan koreksi dilakukan oleh partai politik maupun perorangan (ulama) untuk meluruskan jalannya pemerintahan tanpa kepentingan politik, karena partai dalam sistem politik Islam tidak melakukan aktivitas pemerintahan maupun oposisi. Partai dalam sistem Islam hanya amar ma’ruf nahi mungkar.
Juga dalam sistem demokrasi, kritik dan koreksi itu menggunakan standar hukum-hukum kufur yang diadopsi oleh sistem demokrasi. Sedangkan dalam sistem khilafah, standar kritik dan koreksi adalah hukum Allah SWT. Oleh karena itu, dalam sistem demokrasi tidak ada amar makruf nahi munkar. Sebab, standar amar makruf nahi mungkar itu adalah hukum syari’at Islam yang justru tidak diinginkan berlakunya oleh sistem demokrasi.
Perbedaan Dengan Kekaisaran
Sistem kekaisaran adalah sistem pemerintahan yang membedakan antara ras satu dengan yang lainnya dalam hal memberlakukan hukum di dalam wilayah kekaisaran seperti yang pernah terjadi pada kekaisaran Romawi Kuno yang menggunakan sistem divide et impera untuk menguasai dan mengembangkan wilayah kolonialnya (lihat Soehino, Ilmu Negara: 43). Sistem ini telah memberikan keistimewaan dalam bidang pemerintahan, keuangan dan ekonomi di wilayah pusat.
Sistem pemerintahan Islam juga bukan sistem kekaisaran, bahkan sistem kekaisaran amat jauh dari ajaran Islam. Sebab wilayah yang diperintah dengan sistem Islam, sekalipun ras dan sukunya berbeda serta dalam masalah pemerintahan, menganut sistem sentralisasi pada pemerintah pusat, tidak sama dengan wilayah yang diperintah dengan sistem kekaisaran. Bahkan, berbeda jauh dengan sistem kekaisaran tersebut. (An Nabhani, 1997:34)
Sedangkan tuntunan Islam dalam bidang pemerintahan adalah menganggap sama antara rakyat yang satu dengan rakyat yang lain dalam wilayah-wilayah negara. Islam juga telah menolak ikatan-ikatan kesukuan (ras). Bahkan, Islam memberikan semua hak-hak rakyat dan kewajiban mereka kepada orang non Islam yang memiliki kewarganegaraan. Dimana mereka memperoleh hak dan kewajiban sebagaimana yang menjadi hak dan kewajiban umat Islam. (Lihat Al Mughni jilid V hal 516, Ibnu Qudamah) Lebih dari itu, Islam senantiasa memberikan hak-hak tersebut kepada masing-masing rakyat, apapun madzhabnya, yang tidak diberikan kepada rakyat negara lain, meskipun muslim. (An Nabhani, 1997:34-35)
Dengan adanya pemerataan ini, jelas bahwa sistem Islam berbeda jauh dengan sistem kekaisaran. Dalam sistem Islam, tidak ada wilayah-wilayah yang menjadi daerah kolonial, maupun lahan eksploitasi serta lahan subur yang senantiasa dikeruk untuk wiilayah pusat. Karena wilayah-wilayah tersebut tetap dianggap menjadi satu kesatuan, sekalipun sedemikian jauh jaraknya antara wilayah yang satu dengan ibukota daulah Islam. Begitu pula masalah keragaman ras warganya. Sebab, setiap wilayah dianggap sebagai satu bagian dari tubuh negara. Rakyat yang lainnya juga sama-sama memiliki hak sebagaimana hak rakyat yang hidup di wilayah pusat, atau wilayah-wilayah lainnya. Dimana otoritas pejabat pemerintahannya, sistem serta perundang-undangannya sama semua dengan wilayah-wilayah yang lain. (An Nabhani, 1997:35)
Perbedaan Dengan Federasi
Sistem pemerintahan federasi adalah sistem yang membagi wilayah-wilayahnya dalam otonominya sendiri-sendiri, dan bersatu dalam pemerintahan secara umum (Budihardjo, 1998:138-146).
Sistem pemerintahan Islam juga bukan sistem federasi, yang membagi wilayah-wilayahnya dengan otonominya sendiri-sendiri, dan bersatu dalam pemerintahan secara umum. Tetapi sistem pemerintahan Islam adalah sistem kesatuan. Sebagaimana yang pernah dikenal dengan sebutan mudiriyatul fuyum (semacam kabupaten) ketika ibukota Islam berada di Kairo.
Kekayaan seluruh negeri Islam dianggap satu. Begitu pula anggaran belanjanya akan diberikan secara sama untuk kepentingan seluruh rakyat, tanpa melihat daerahnya. Kalau seandainya ada wilayah telah mengumpulkan pajak, sementara kebutuhannya kecil, maka wilayah tersebut akan diberi sesuai dengan tingkat kebutuhannya, bukan berdasarkan hasil pengumpulan hartanya. kalau seandainya ada wilayah yang pendapatan daerahnya tidak bisa mencukupi kebutuhannya, maka daulah Islam tidak akan mempertimbangkannya. Tetapi, wilayah tersebut tetap akan diberi anggaran belanja dari anggaran belanja secara umum, sesuai dengan tingkat kebutuhannya. Baik pajaknya cukup untuk memenuhi kebutuhannya, ataupun tidak. (An Nabhani, 1997:35)
Sistem pemerintahan Islam adalah sistem pemerintahan sentralisasi, dimana penguasa tertinggi cukup di pusat. Pemerintahan pusat mempunyai otoritas yang penuh terhadap seluruh wilayah negara, baik dalam masalah-masalah yang kecil maupun yang besar. Daulah Islam juga tidak akan sekali-kali mentolelir terjadinya pemisahan salah satu wilayahnya, sehingga wilayah-wilayah tersebut tidak akan lepas begitu saja. Negaralah yang akan mengangkat para panglima, wali, dan amil, para pejabat dan penanggung jawab dalam urusan harta dan ekonomi. Negara juga yang akan mengangkat para qadli di setiap wilayahnya. Negara juga yang mengangkat orang yang bertugas menjadi pejabat pemerintahan (hakim). Disamping negara yang akan mengurusi secara langsung seluruh urusan yang berhubungan dengan pemerintahan di seluruh negeri. (An Nabhani, 1997:36)
Referensi
Buku Teks
Abdurrahman, Hafidz. 1998. Islam: Politik dan Spiritual. Singapore: Lisan Ul-Haq
Al-Bahnawasi, Salim Ali. 1995. Wawasan Sistem Politik Islam. terjemahan Mustolah Maufur. Jakarta: Pustaka al-Kautsar
Al-Maududi, Abul A’la. 1990. Hukum dan Konstitusi: Sistem Politik Islam. Bandung: Mizan
____________________. 1996. Al-Khilafah wa Al-Mulk. terjemahan Muhammad Al-Baqir. Bandung: Mizan.
Al-Qardhawy, Yusuf. 1999. Min Fiqhid Daulah Fil Islam. terjemahan Kathur Suhardi. Jakarta: Pustaka Al Kautsar
An Nabhani, Taqiyuddin. 1995. al-Khilafah. terjemahan Muhammad Al Khaththath. Jakarta: Khazanah Islam
____________________. 1997. Nidhamul Hukmi fil Islam. terjemahan Moh Maghfur Wachid. Bangil: Al Izzah
Anonim. 1997. Miitsaaqul Ummah. terjemahan Abu Afif dan M. Maghfur. Bogor: Pustaka Thariqul Izzah
Az Zain, Samih Athif. 1981. al-Islam Khuthuthun ‘Aridhah: al-Iqtishad – al-Hukm – al-Ijtima’. terjemahan Mudzakir As. Bandung: Husaini
Budiardjo, Miriam. 1998. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama
Rais, M. Amien. 1991. Cakrawala Islam: Antara Cita dan Fakta. Bandung: Mizan
Edward Gibbon, The Decline and Fall of the Roman Empire, tt,Volume three, Modern Library.
Philip K. Hitti, History of the Arabs, Tenth Edition, Macmillan Student Edition, 1970.
Artikel
Esposito, John L. dan Piscatori, James P. 1994. Islam dan Demokratisasi. Artikel dalam Jurnal Dialog Pemikiran Islam Islamika. Bandung: Mizan.
Kurnia, MR. 2002. Negara Khilafah vs Negara Demokrasi. Artikel dalam Jurnal Politik dan Dakwah Al Waie. Bogor: Hizbut Tahrir Indonesia