Senin, 10 Januari 2011

PERKEMBANGAN ISLAM PADA WAKTU DINASTI BANI UMAYYAH

BAB I PENDAHULUAN 
Sejarah peradaban Islam tentang Bani Umayyah yang kami tulis ini bertujuan untuk lebih bisa memahami secara kritis tentang peradaban dan kebudayaan Islam Bani Umayyah khususnya dan umumnya semua peradaban dan kebudayaan Islam, jadi bukan berarti bahwa masalah-masalah yang menyangkut kebudayaan dan peradaban Islam lainnya menjadi tidak penting dalam pembahasan ini. Kebudayaan adalah bentuk ungkapan dengan semangat mendalam suatu masyarakat, sedangkan manisfetasi-manisfetasi kemajuan mekanis dan teknologis lebih berkaitan dengan peradaban, kalau kebudayaan lebih banyak direfleksikan dalam seni, sastra, religi (agama) dan moral maka peradaban terefleksi dalam politik, ekonomi, dan teknologi. Kebudayaan paling tidak memiliki 3 wujud. 1. Wujud ideal, yaitu wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma, dan sebagainya. 2. wujud kelakuan, yaitu wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas kelakuan berpola dari manusia dalam masyarakat. 3. Wujud benda, yaitu wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya. Sedangkan kebudayaan dipakai sebagai menyebut suatu kebudayaan yang mempunyai system teknologi, seni bangunan, seni rupa, sistem kenegaraan dan ilmu pengetahuan yang maju dan kompleks.
BAB II PEMBAHASAN
A. Situasi Politik Ummat Islam
Sepeninggal ‘Ali ibn Abi Thalib Pada saat ‘Ali r.a. menjabat sebagai khalifah, banyak terjadi pemberontakan. Diantaranya dari Mu’awiyah ibn Abi Sufyan (yang pada saat itu menjabat sebagai gubernur di Damaskus, Siria) dan didukung oleh sejumlah mantan pejabat tinggi yang telah dipecat ‘Ali r.a. Disini timbul indikasi fitnah atau perang saudara karena Mu’awiyah menuntut balas bagi Utsman (keponakannya) dan atas kebijaksanaan-kebijaksanaan ‘Ali. Tatkala ‘Ali beserta pasukannya bertolak dari Kuffah menuju Siria, mereka bertemu dengan pasukan Mu’awiyah di tepi sungai Eufrat atas, Shiffin (657). Terjadi lah perang yang disebut perang Shiffin. Perang ini tidak konklusif sehingga terjadi kebuntuan yang akhirnya mengarah pada tahkim atau arbitrase. Dalam majlis tahkim ini ada dua mediator atau penengah. Mediator dari pihak Ali adalah Abu Musa al-Asy’ari (gubernur Kuffah), sedangkan mediator dari pihak Mu’awiyah adalah ‘Amr ibn al-Ash. Namun tahkim pun tetap tidak menyelesaikan masalah. Menurut Ibnu Khaldun, setelah fitnah antara ‘Ali – Mu’awiyah, jalan yang ditempuh adalah jalan kebenaran dan ijtihad. Mereka berperang bukan untuk menyebar kebatilan atau menimbulkan kebencian, tapi sebatas perbedaan dalam ijtihad dan masing-masing menyalahkan hingga timbul perang. Walaupun yang benar adalah ‘Ali, Mu’awiyah tidak melakukan tindakan berlandaskan kebatilan, tetap orientasinya dalam kebenaran. Partai ‘Ali terpecah menjadi dua golongan, yaitu Khawarij (orang-orang yang keluar dari barisan ‘Ali sekaligus menentang tahkim) dan Syi’ah (para pengikut setia ‘Ali). Sementara itu, Mu’awiyah melakukan strategi dengan menaklukkan Mesir dan mengangkat ‘Amr ibn al-Ash sebagai khalifah di sana. Jadi, di akhir masa pemerintahan ‘Ali, umat Islam terpecah menjadi tiga kekuatan politik; Mu’aiyah, Syi’ah, dan Khawarij. Kemunculan Khawarij semakin memperlemah partai ‘Ali, di sisi lain Mu’awiyah semakin kuat. Mu’awiyah memproklamirkan dirinya sebagai khalifah di Yerusalem (660). Kemudian ‘Ali wafat karena dibunuh oleh Ibn Muljam, salah seorang anggota Khawarij (661).
B. Pengangkatan Hasan ibn ‘Ali sebagai Khalifah Setelah ‘Ali wafat,
kursi jabatan kekhalifahan dialihkan kepada anaknya, Hasan ibn ‘Ali. Hasan diangkat oleh pengikutnya (Syi’ah) yang masih setia di Kuffah. Tetapi pengangkatan ini hanyalah suatu percobaan yang tidak mendapat dukungan yang kuat .Hasan menjabat sebagai khalifah hanya dalam beberapa bulan saja. 
C. Peralihan Kekuasaan dari Hasan ke Mu’awiyah
Di tengah masa kepemimpinan Hasan yang makin lemah dan posisi Mu’awiyah lebih kuat, akhirnya Hasan mengadakan akomodasi atau membuat perjanjian damai. Syarat-syarat yang diajukan Hasan dalam perjanjian tersebut adalah: 1. Agar Mu’awiyah tidak menaruh dendam terhadap seorangpun dari penduduk Irak. 2. Menjamin keamanan dan memaafkan kesalahan-kesalahan mereka. 3. Agar pajak tanah negeri Ahwaz diperuntukkan kepadanya dan diberikan tiap tahun. 4. Agar Mu’awiyah membayar kepada saudaranya, yaitu Husain, dua juta dirham. 5. Pemberian kepada Bani Hasyim haruslah lebih banyak dari pemberian kepada Bani Abdi Syams. Perjanjian itu berhasil mempersatukan umat Islam kembali dalam satu kepemimpinan politik, di bawah pimpinan Mu’awiyah ibn Abi Sufyan. Dengan kata lain, Hasan telah menjual haknya sebagai khalifah kepada Mu’awiyah. Akibat perjanjian itu menyebabkan Mu’awiyah menjadi penguasa absolut. Naiknya Mu’awiyah menjadi khalifah pada awalnya tidak melalui forum pembai’atan yang bebas dari semua umat. Mu’awiyah dibai’at pertama kali oleh penduduk Syam karena memang berada di bawah kekuasaannya, kemudian ia dibai’at oleh umat secara keseluruhan setelah tahun persatuan atau ‘am jama’ah (661). Pembai’atan tersebut tidak lain hanyalah sebuah pengakuan terpaksa terhadap realita dan dalam upaya menjaga kesatuan umat. Maka, di sini telah masuk unsur kekuatan dan keterpaksaan menggantikan musyawarah. Karenanya dapat dikatakan bahwa telah terjadi perceraian antara idealisme dan realita. D. Pengangkatan Yazid sebagai Putra Mahkota dan Implikasinya Terhadap Perubahan Sistem Pemerintahan dan Kekuasaan Sistem kekhalifahan mengalami perubahan baru, yaitu sistem monarki (kerajaan) atau monarchiheredetis (kerajaan turun menurun). Suksesi kepemimpinan seperti ini terjadi ketika Mu’awiyah menitahkan untuk mewariskan jabatan kekhalifahan kepada anaknya, Yazid ibn Mu’awiyah. Maka mulai masuk prinsip warisan jabatan dalam sistem kekhalifahan. Ide awal pewarisan kekhalifahan ini sebenarnya berasal dari al-Mughirah ibn Syu’bah (gubernur Kufah). Ia menyarankan agar Mu’awiyah mengangkat Yazid. Kemudian Mu’awiyah mengikuti saran al-Mughirah karena beberapa alasan yang menurutnya kuat, meski harus mengabaikan saran Ziyad (gubernur Bashra). Mu’awiyah mempunyai beberapa alasan mengenai pengangkatan Yazid, yaitu: Pertama, Yazid adalah satu-satunya orang yang bisa diterima orang-orang Siria, karena apabila dari keluarga lain akan membawa ke dalam keluarga dan marganya sesuatu yang mengganggu keseimbangan kekuatan-kekuatan rawan yang telah dikembangkan oleh Mu’awiyah. Latar belakang pengangkatan Yazid sebagai putra mahkota dan bukan yang lainnya adalah untuk menjaga kemashlahatan rakyat dalam kesatuan dan kebersatuan aspirasi mereka, dengan kesepakatan Bani Umayyah. Alasannya bahwa Bani Umayyah tidak rela bila khalifah bukan dari kalangan dalam mereka dalam kapasitas mereka sebagai elit masyarakat Quraisy dan para penganut Islam secara keseluruhan, sekaligus kelompok yang paling berkuasa diantara mereka. Kedua, faktor usia Mu’awiyah yang sudah tua mendesaknya untuk cepat memilih siapa penggantinya. Ketiga, Mu’awiyah khawatir akan terjadi fitnah sebagaimana fitnah petumpahan darah sejak kematian Khalifah Utsman. Atas dasar itu, Mu’awiyah meminta dikirimkan delegasi-delegasi dari kota-kota besar. Kemudian delegasi yang datang dari kota Bashra, Kufah, dan Madinah berkumpul dalam sebuah konferensi yang pada akhirnya mereka sepakat mendukung pembai’atan Yazid. Yang perlu dikritisi disini ialah Mu’awiyah telah membuat tradisi baru yang mengubah karakter sistem pemerintahan dalam Islam. Sistem warisan telah menggantikan posisi sistem permusyawaratan, dan hal itu nampaknya berdampak abadi dalam sejarah. E. Perkembangan dan Kemajuan Peradaban yang Dicapai Pemindahan ibukota dari Madinah ke Damaskus melambangkan zaman imperium baru dengan menggesernya untuk selama-lamanya dari pusat Arabia, yakni Madinah yang merupakan pusat agama dan politik kepada sebuah kota yang kosmopolitan. Dari kota inilah daulat Umayyah melanjutkan ekspansi kekuasaan Islam dan mengembangkan pemerintahan sentral yang kuat, yaitu sebuah imperium Arab. Ekspansi yang berhasil dilakukan pada masa Mu’awiyah antara lain ke wilayah-wilayah: Tunisia, Khurasan sampai ke sungai Oxus, Afganistan sampai ke Kabul, serangan ke ibukota Bizantium (Konstantinopel). Kemudian ekspansi ke timur dilanjutkan oleh khalifah Abdul Malik yang berhasil menaklukkan Balkh, Sind, Khawarizm, Fergana, Samarkand, dan India. Ekspansi ke barat dilanjutkan pada masa al-Walid ibn Abdul Malik dengan mengadakan ekspedisi militer dari Afrika Utara menuju barat daya, benua Eropa. Wilayah lainnya yang berhasil ditaklukan adalah al-Jazair, Maroko, ibukota Spanyol (Kordova), Seville, Elvira, dan Toledo. Di zaman Umar ibn Abdul Aziz, serangan dilakukan ke Perancis. Selain itu, wilayah kekuasaan Islam meliputi Spanyol, Afrika Utara, Siria, Palestina, Jazirah Arab, Irak, dan sebagian Asia Tengah. Jasa-jasa dalam pembangunan di berbagai bidang banyak dilakukan Bani Umayyah. Mu’awiyah mendirikan dinas pos, menertibkan angkatan bersenjata, mencetak mata uang, dan jabatan Qadhi (hakim) mulai berkembang menjadi profesi sendiri. Abdul Malik ibn Marwan adalah khaifah yang pertama kali membuat mata uang dinar dan menuliskan di atasnya ayat-ayat al-Qur’an. Ia juga melakukan pembenahan administrasi pemrintahan dan mmberlakukan bahasa Arab sebagai bahasa resmi administrasi pemerintahan Islam. Pada masa khalifah Al-Walid ibn Abdul Malik di bangun panti-panti untuk orang cacat, membangun jalan-jalan raya, pabrik-pabrik, gedung pemerintahan dan masjid-masjid yang megah. Khalifah Umar ibn Abdul Aziz memprioritaskan pembangunan dalam negeri, keberhasilannya antara lain ialah menjalin hubungan baik dengan golongan Syi’ah, memberi kebebasan kepada penganut agama lain untuk beribadah sesuai dengan keyakinannya, pungutan pajak diperingan, dan kedudukan mawali (non Arab) disejajarkan dengan muslim Arab. Dengan keberhasilan dan keteladanannya, maka Umar ibn Abdul Aziz sering disebut-sebut sebagai khalifah kelima setelah Ali ibn Abi Thalib. Di bidang keilmuan atau pendidikan, cakupan keilmuannya tentang teologi dan keagamaan, misalnya legalisasi penyusunan al-Qur’an pada masa Utsman yang telah disusun oleh Abu Bakar. Di bidang kesastraan, muncul para penyair terkenal, seperti Umar ibn Abi Rabi’ah, Tuwais, Ibnu Suraih, dan Al-Garidh. Selain itu, jenis atau pola pemerintahan terdahulu mulai berubah sejak zaman Mu’awiyah. Mu’awiyah bermaksud mengikuti gaya pemerintahan monarki di Persia dan Bizantium. Ia tetap memakai istilah khalifah, namun memberi interprestasi baru. Ia menyebut dirinya “khalifah Allah” dalam pengertian “penguasa” yang diangkat oleh Allah. Menurut beberapa ahli sejarah, pola pemerintahan yang dipakai pada masa Bani Umayyah adalah Otokrasi. Walaupun telah berbentuk kerajaan, Bani Umayyah tetap membuktikan eksistensinya dengan terus membuat kemajuan-kemajuan. Salah satu kemajuan yang paling menonjol pada masa pemerintahan dinasti Bani Umayyah adalah kemajuan dalam system militer. Selama peperangan melawan kakuatan musuh, pasukan arab banyak mengambil pelajaran dari cara-cara teknik bertempur kemudian mereka memadukannya dengan system dan teknik pertahanan yang selama itu mereka miliki, dengan perpaduan system pertahanan ini akhirnya kekuatan pertahanan dan militer Dinasti Bani Umayyah mengalami perkembangan dan kemajuan yang sangat baik dengan kemajuan-kemajuan dalam system ini akhirnya para penguasa dinasti Bani Umayyah mampu melebarkan sayap kekuasaannya hingga ke Eropa. Secara garis besar formasi kekuatan tentara Bani Umayyah terdiri dari pasukan berkuda, pasukan pejalan kaki dan angkatan laut. F. Gerakan Separatis, Perlawanan dan Pemberontakan Berbagai kemajuan memang telah dicapai oleh bani Umayyah, namun konflik internal tetap terjadi. Hal ini terbukti dengan banyaknya gerakan pemberontakan yang muncul dan pada akhirnya menimbulkan perang saudara. Diantara gerakan-gerakan perlawanan tersebut antara lain: • Syi’ah Gerakan ini merupakan gerakan yang paling kuat, paling berani dan solidaritas kaumnya sangat tinggi, hingga dapat menjatukan kekuasaan Bani Umayyah. Pemberontakan kaum ini didasarkan atas kebencian mereka teradap Bani Umayyah dan rasa cinta mereka terhadap keluarga ‘Ali. Gerakan ini erat kaitannya dengan pemikiran. Salah satu contoh yaitu dukungan kepada Hussain ibn Ali agar menolak bai’at terhadap Yazid. Karena Hussain tetap mempertahankan keteguhannya, ia bersama pasukannya dibunuh di Karbela. • Perlawanan Abdullah ibn Zubair Ia adalah seorang yang berambisi ingin menjadi pemimpin. Pertama kali perlawanannya pada saat perang Jamal. Ia adalah seseorang yang memiliki tipu daya. Ia juga tidak mempunyai falsafah, revousinya tidak berdasar kepada prinsip-prinsip yang benar dan bukan pula militer. Hampir dalam setiap pemberontakan, ia turut ambil bagian,tetapi hanya sebagai provokator. • Khawarij Gerakan ini merupakan kumpulan dari orang-orang yang keluar dari barisan ‘Ali atau tidak mendukung ‘Ali. Meskipun benci terhadap ‘Ali, kaum ini lebih benci lagi terhadap Bani Umayyah. Nama lain dari golongan ini adalah Muakkimah. Pemberontakannya terjadi di Kufah dan di Madinah. Mazhab kaum ini sangat sedikit menggunakan falsafah dan pemikiran-pemikirannya kurang mendalam. • Mu’tazilah Gerakan ini bersifat keagamaan, tidak mengumpulkan pasukan dan tidak pernah menghunuskan pedang. Gerakan ini sangat berkaitan dengan mazhab Khawarij. Dalam gerakan ini, muncul lagi pendapat golongan, seperti Murji’ah, Jabariyah dan Mu’tazilah itu sendiri. Karena konflik internal dalam negeri yang tidak bisa diselesaikan, akhirnya dinasti ini tumbang (750), dan digantikan dengan Daulat Bani Abbasyiyah. Ada beberapa faktor yang menyebabkan Bani Umayya melemah dan membawanya pada keancuran, yaitu: 1. Sistem pergantian kalifah melalui garis keturunan merupakan sesuatu yang baru bagi tradisi Arab yang menekankan aspek senioritas. Cara pengaturan yang tidak jelas serta terjadi persaingan tidak sehat di dalam keluarga kerajaan. 2. Latar belakang Bani Umayyah tidak lepas dari konflik politik pada masa ‘Ali, jadi banyak perlawanan dari golongan oposisi. 3. Terjadi pertentangan antar etnis, antar suku dan status golongan mawali. 4. Sikap hidup mewah di istana yang dilakukan anak-anak khalifah. 5. Muncul kekuatan baru yang dipelopori oleh keturunan al-Abbas ibn Abd al-Muthalib.9
BAB III
Masa-masa keemasan (golden age) yang terjadi pada zaman Muhammad saw. dan Khulafa ar-Rasyidin telah berakhir dan digantikan dengan masa Kerajaan (Mulkan/ Kingdom/ Monarchi/ Otokrasi) oleh Bani Umayyah. Sebagaimana perputaran roda kehidupan, begitulah yang terjadi dalam sejarah Islam, kadang berada pada posisi puncak kejayaan dan kadang berada pada posisi paling bawah. Banyak yang mengecam pemerintaan Bani Umayyah, namun kita jangan sampai lupa terhadap jasa-jasa dinasti ini yang telah turut membangun sebuah peradaban. Di tangan Bani Umayyah, Islam mengalami banyak kemajuan dengan tersebarnya hingga ke banyak wilayah. Walaupun berubah sistem tapi syiar islam begitu luas. Bani Umayyah memang tidak bisa disalahkan begitu saja, karena pastinya para penguasa ini mempunyai ijtihad tersendiri untuk merubah sistem musyawarah menjadi warisan khalifah disamping kondisi dan tekanan yang terjadi di masa itu.
DAFTAR PUSTAKA
Marshall G. S. Hodgson, The Venture of Islam, (Jakarta: Paramadina, 2002), hlm. 311. DR. Badri Yatim, M.A., Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada,2003), hlm. 40. Prof. DR. A. Syalabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam, Jilid 2, (Jakarta: Pustaka Alhusna,1982), hlm.33. ‘Aqidatus Syi’ah, hlm. 86. DR. M. Dhiauddin Rais, Teori Politik Islam, (Jakarta: Gema Insani Press, 2001), hlm.139-140. John L. Esposito, Islam dan politik, (Jakarta: Bulan Bintang,1990) Imam As-Suyuthi, Tarikh Khulafa’, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2003), hlm. 258. Aden Wijdan SZ. Dkk., Pemikiran dan Peradaban Islam, (Jakarta: Safiria Insania Press, 2007)

NISFU SYA'BAN

Setiap tahun menjelang nisfu’saban Ribuan umat Islam di Martapura, Kabupaten Banjar Provinsi Kalimantan Selatan (Kalsel) mengikuti ibadah malam nisfu sya`ban, menjelang tibanya bulan Ramadhan, yang dilaksanakan hampir semua masjid dan surau yang ada di Kabupaten Banjar tersebut.
yang terbesar jamaahnya mengikuti ibadah nisfu sya`ban di, yaitu Masjid Agung Al-Karomah Martapura,Mushalla Ar-Raudhah sekumpul.
Ibadah malam nisfu sa`ban salat Magrib berjemaah dilanjutkan dengan pembacaan surat Yasin selama tiga kali. Sebelum membaca surat Yasin secara bersama-sama ribuan jemaah itu, dilaksanakan doa meminta ampunan Allah SWT, serta dihapuskan segala dosa yang diperbuat, kemudian berdoa agar dipanjangkan umur, dimurahkan rezeki dan diberi keselamatan.
Doa lainnya meminta agar diampuni dosa para orang tua, tetangga, keluarga, serta dosa umat Islam Indonesia dan umat Islam di dunia. Usai membaca surat Yasin tiga kali dilanjutkan dengan salat sunah Tasbih berjemaah selama dua kali dan salat Hajat.
Menurut pandangan umat Islam Kalsel, sepanjang tahun terdapat lima keutamaan yang cukup istimewa di sisi Allah SWT, yakni malam Jumat, malam Idulfitri, malam Iduladha, malam pertama bulan Rajab dan malam nisfu (pertengahan) bulan Sya`ban.
Sabda Rasulullah Muhammad SAW dalam sabdanya kepada istrinya Aisyah RA, menerangkan keutamaan malam nisfu Sya`ban, yang merupakan malam mustajabah (dikabulkan) doa umat oleh Allah SWT.
Secara fisik, kita juga harus mempersiapkan diri di bulan ini dengan melatih diri memperbanyak ibadah dan khususnya puasa. Itulah salah satu hikmah kita dianjurkan memperbanyak puasa pada bulan Sya'ban ini. Dan di bulan Sya'ban ini juga ada malam nisfu sya'ban, yaitu malam pertengahan bulan Sya'ban. Lepas dari kuat tidaknya dalil mengenai amalam pada malam tersebut, namun malam itu bisa kita jadikan waktu pengingat kembali akan persiapan-persiapan kita dalam menyambut bulan Ramadhan yang penuh maghfirah. Berikut ini hadist-hadist seputar keutamaan bulan Sys'ban semoga bisa kita baca dan amalkan:Dari Aisyah r.a. beliau berkata:"Rasulullah s.a.w. berpuasa hingga kita mengatakan tidak pernah tidak puasa, dan beliau berbuka (tidak puasa) hingga kita mengatakan tidak puasa, tapi aku tidak pernah melihat beliau menyempurnakan puasa satu bulan penuh kecuali bulan Ramadhan dan aku tidak pernah melihat beliau memperbanyak puasa selain bulan Ramadhan kecuali pada bulan Sya'ban". (h.r. Bukhari). Beliau juga bersabda:"Kerjakanlah ibadah apa yang engkau mampu, sesungguhnya Allah tidak pernah bosan hingga kalian bosan".
Usamah bin Zaid bertanya kepada Rasulullah s.a.w.:'Wahai Rasulullah, aku tidak pernah melihatmu memperbanyak berpuasa (selain Ramadhan) kecuali pada bulan Sya'ban? Rasulullah s.a.w. menjawab:"Itu bulan dimana manusia banyak melupakannya antara Rajab dan Ramadhan, di bulan itu perbuatan dan amal baik diangkat ke Tuhan semesta alam, maka aku ingin ketika amalku diangkat, aku dalam keadaan puasa". (h.r. Abu Dawud dan Nasa'i).
Dari A'isyah: "Suatu malam rasulullah salat, kemudian beliau bersujud panjang, sehingga aku menyangka bahwa Rasulullah telah diambil, karena curiga maka aku gerakkan telunjuk beliau dan ternyata masih bergerak. Setelah Rasulullah usai salat beliau berkata: "Hai A'isyah engkau tidak dapat bagian?". Lalu aku menjawab: "Tidak ya Rasulullah, aku hanya berfikiran yang tidak-tidak (menyangka Rasulullah telah tiada) karena engkau bersujud begitu lama". Lalu beliau bertanya: "Tahukah engkau, malam apa sekarang ini". "Rasulullah yang lebih tahu", jawabku. "Malam ini adalah malam nisfu Sya'ban, Allah mengawasi hambanya pada malam ini, maka Ia memaafkan mereka yang meminta ampunan, memberi kasih sayang mereka yang meminta kasih sayang dan menyingkirkan orang-orang yang dengki" (H.R. Baihaqi) Menurut perawinya hadis ini mursal (ada rawi yang tidak sambung ke Sahabat), namun cukup kuat.
Dalam hadis Ali, Rasulullah bersabda: "Malam nisfu Sya'ban, maka hidupkanlah dengan salat dan puasalah pada siang harinya, sesungguhnya Allah turun ke langit dunia pada malam itu, lalu Allah bersabda: "Orang yang meminta ampunan akan Aku ampuni, orang yang meminta rizqi akan Aku beri dia rizqi, orang-orang yang mendapatkan cobaan maka aku bebaskan, hingga fajar menyingsing." (H.R. Ibnu Majah dengan sanad lemah).
Ulama berpendapat bahwa hadis lemah dapat digunakan untuk Fadlail A'mal (keutamaan amal). Walaupun hadis-hadis tersebut tidak sahih, namun melihat dari hadis-hadis lain yang menunjukkan kautamaan bulan Sya'ban, dapat diambil kesimpulan bahwa malam Nisfu Sya'ban jelas mempunyai keuatamana dibandingkan dengan malam-malam lainnya.
Bagaimana merayakan malam Nisfu Sya'ban? Adalah dengan memperbanyak ibadah dan salat malam dan dengan puasa. Adapun meramaikan malam Nisfu Sya'ban dengan berlebih-lebihan seperti dengan salat malam berjamaah, Rasulullah tidak pernah melakukannya. Sebagian umat Islam juga mengenang malam ini sebagai malam diubahnya kiblat dari masjidil Aqsa ke arah Ka'bah. Jadi sangat dianjurkan untuk meramaikan malam Nisfu Sya'ban dengan cara memperbanyak ibadah, salat, zikir membaca al-Qur'an, berdo'a dan amal-amal salih lainnya. Wallahu a'lam

KOMPETENSI GURU

BAB I PENDAHULUAN 
Dalam upaya meningkatkan mutu pendidikan nasional, pemerintah khususnya melalui Depdiknas terus menerus berupaya melakukan berbagai perubahan dan pembaharuan sistem pendidikan kita. Salah satu upaya yang sudah dan sedang dilakukan, yaitu berkaitan dengan faktor guru. Lahirnya Undang-Undang No. 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen dan Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, pada dasarnya merupakan kebijakan pemerintah yang didalamnya memuat usaha pemerintah untuk menata dan memperbaiki mutu guru di Indonesia. Michael G. Fullan yang dikutip oleh Suyanto dan Djihad Hisyam (2000) mengemukakan bahwa “educational change depends on what teachers do and think…”. Pendapat tersebut mengisyaratkan bahwa perubahan dan pembaharuan sistem pendidikan sangat bergantung pada “what teachers do and think “. atau dengan kata lain bergantung pada penguasaan kompetensi guru. Jika kita amati lebih jauh tentang realita kompetensi guru saat ini agaknya masih beragam. Sudarwan Danim (2002) mengungkapkan bahwa salah satu ciri krisis pendidikan di Indonesia adalah guru belum mampu menunjukkan kinerja (work performance) yang memadai. Hal ini menunjukkan bahwa kinerja guru belum sepenuhnya ditopang oleh derajat penguasaan kompetensi yang memadai, oleh karena itu perlu adanya upaya yang komprehensif guna meningkatkan kompetensi guru. Tulisan ini akan memaparkan tentang apa itu kompetensi guru dan bagaimana upaya-upaya untuk meningkatkan kompetensi guru. Dengan harapan kiranya tulisan ini dapat dijadikan sebagai bahan refleksi bagi para guru maupun pihak-pihak lain yang berkepentingan dengan pendidikan.
BAB II PEMBAHASAN 
A. Pengertian Kompetensi Guru
Majid (2005:6) menjelaskan kompetensi yang dimiliki oleh setiap guru akan menunjukkan kualitas guru dalam mengajar. Kompetensi tersebut akan terwujud dalam bentuk penguasaan pengetahuan dan profesional dalam menjalankan fungsinya sebagai guru. Diyakini Robotham (1996:27), kompetensi yang diperlukan oleh seseorang tersebut dapat diperoleh baik melalui pendidikan formal maupun pengalaman. Syah (2000:229) mengemukakan pengertian dasar kompetensi adalah kemampuan atau kecakapan. Usman (1994:1) mengemukakan kompentensi berarti suatu hal yang menggambarkan kualifikasi atau kemampuan seseorang, baik yang kualitatif maupun yang kuantitatif. McAhsan (1981:45), sebagaimana dikutip oleh Mulyasa (2003:38) mengemukakan bahwa kompetensi: “…is a knowledge, skills, and abilities or capabilities that a person achieves, which become part of his or her being to the extent he or she can satisfactorily perform particular cognitive, affective, and psychomotor behaviors”. Dalam hal ini, kompetensi diartikan sebagai pengetahuan, keterampilan, dan kemampuan yang dikuasai oleh seseorang yang telah menjadi bagian dari dirinya, sehingga ia dapat melakukan perilaku-perilaku kognitif, afektif, dan psikomotorik dengan sebaik-baiknya. Sejalan dengan itu Finch & Crunkilton (1979:222), sebagaimana dikutip oleh Mulyasa (2003:38) mengartikan kompetensi sebagai penguasaan terhadap suatu tugas, keterampilan, sikap, dan apresiasi yang diperlukan untuk menunjang keberhasilan.Sofo (1999:123) mengemukakan “A competency is composed of skill, knowledge, and attitude, but in particular the consistent applications of those skill, knowledge, and attitude to the standard of performance required in employment”. Dengan kata lain kompetensi tidak hanya mengandung pengetahuan, keterampilan dan sikap, namun yang penting adalah penerapan dari pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang diperlukan tersebut dalam pekerjaan. Robbins (2001:37) menyebut kompetensi sebagai ability, yaitu kapasitas seseorang individu untuk mengerjakan berbagai tugas dalam suatu pekerjaan. Selanjutnya dikatakan bahwa kemampuan individu dibentuk oleh dua faktor, yaitu faktor kemampuan intelektual dan kemampuan fisik. Kemampuan intelektual adalah kemampuan yang diperlukan untuk melakukan kegiatan mental sedangkan kemampuan fisik adalah kemampuan yang di perlukan untuk melakukan tugas-tugas yang menuntut stamina, kecekatan, kekuatan, dan keterampilan.Spencer & Spencer (1993:9) mengatakan “Competency is underlying characteristic of an individual that is causally related to criterion-reference effective and/or superior performance in a job or situation”. Jadi kompetensi adalah karakteristik dasar seseorang yang berkaitan dengan kinerja berkriteria efektif dan atau unggul dalam suatu pekerjaan dan situasi tertentu. Selanjutnya Spencer & Spencer menjelaskan, kompetensi dikatakan underlying characteristic karena karakteristik merupakan bagian yang mendalam dan melekat pada kepribadian seseorang dan dapat memprediksi berbagai situasi dan jenis pekerjaan. Dikatakan causally related, karena kompetensi menyebabkan atau memprediksi perilaku dan kinerja. Dikatakan criterion-referenced, karena kompetensi itu benar-benar memprediksi siapa-siapa saja yang kinerjanya baik atau buruk, berdasarkan kriteria atau standar tertentu.Muhaimin (2004:151) menjelaskan kompetensi adalah seperangkat tindakan intelegen penuh tanggung jawab yang harus dimiliki seseorang sebagai syarat untuk dianggap mampu melaksankan tugas-tugas dalam bidang pekerjaan tertentu. Sifat intelegen harus ditunjukan sebagai kemahiran, ketetapan, dan keberhasilan bertindak. Sifat tanggung jawab harus ditunjukkan sebagai kebenaran tindakan baik dipandang dari sudut ilmu pengetahuan, teknologi maupun etika. Depdiknas (2004:7) merumuskan definisi kompetensi sebagai pengetahuan, keterampilan, dan nilai-nilai dasar yang direfleksikan dalam kebiasaan berfikir dan bertindak.Menurut Syah (2000:230), “kompetensi” adalah kemampuan, kecakapan, keadaan berwenang, atau memenuhi syarat menurut ketentuan hukum. Selanjutnya masih menurut Syah, dikemukakan bahwa kompetensi guru adalah kemampuan seorang guru dalam melaksanakan kewajiban-kewajibannya secara bertanggung jawab dan layak. Jadi kompetensi profesional guru dapat diartikan sebagai kemampuan dan kewenangan guru dalam menjalankan profesi keguruannya. Guru yang kompeten dan profesional adalah guru piawi dalam melaksanakan profesinya.Berdasarkan uraian di atas kompetensi guru dapat didefinisikan sebagai penguasaan terhadap pengetahuan, keterampilan, nilai dan sikap yang direfleksikan dalam kebiasaan berpikir dan bertindak dalam menjalankan profesi sebagai guru.
B. DIMENSI-DIMENSI KOMPETENSI GURU
Menurut Undang-undang No.14 tahun 2005 tentang Guru Dan Dosen pasal 10 ayat (1) kompetensi guru meliputi kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional yang diperoleh melalui pendidikan profesi. 1. Kompetensi Pedagogik Dalam Undang-undang No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen dikemukakan kompetensi pedagogik adalah “kemampuan mengelola pembelajaran peserta didik”. Depdiknas (2004:9) menyebut kompetensi ini dengan “kompetensi pengelolaan pembelajaran. Kompetensi ini dapat dilihat dari kemampuan merencanakan program belajar mengajar, kemampuan melaksanakan interaksi atau mengelola proses belajar mengajar, dan kemampuan melakukan penilaian. a. Kompetensi Menyusun Rencana Pembelajaran Menurut Joni (1984:12), kemampuan merencanakan program belajar mengajar mencakup kemampuan: (1) merencanakan pengorganisasian bahan-bahan pengajaran, (2) merencanakan pengelolaan kegiatan belajar mengajar, (3) merencanakan pengelolaan kelas, (4) merencanakan penggunaan media dan sumber pengajaran; dan (5) merencanakan penilaian prestasi siswa untuk kepentingan pengajaran.Depdiknas (2004:9) mengemukakan kompetensi penyusunan rencana pembelajaran meliputi (1) mampu mendeskripsikan tujuan, (2) mampu memilih materi, (3) mampu mengorganisir materi, (4) mampu menentukan metode/strategi pembelajaran, (5) mampu menentukan sumber belajar/media/alat peraga pembelajaran, (6) mampu menyusun perangkat penilaian, (7) mampu menentukan teknik penilaian, dan (8) mampu mengalokasikan waktu.Berdasarkan uraian di atas, merencanakan program belajar mengajar merupakan proyeksi guru mengenai kegiatan yang harus dilakukan siswa selama pembelajaran berlangsung, yang mencakup: merumuskan tujuan, menguraikan deskripsi satuan bahasan, merancang kegiatan belajar mengajar, memilih berbagai media dan sumber belajar, dan merencanakan penilaian penguasaan tujuan. b. Kompetensi Melaksanakan Proses Belajar Mengajar Melaksanakan proses belajar mengajar merupakan tahap pelaksanaan program yang telah disusun. Dalam kegiatan ini kemampuan yang di tuntut adalah keaktifan guru menciptakan dan menumbuhkan kegiatan siswa belajar sesuai dengan rencana yang telah disusun. Guru harus dapat mengambil keputusan atas dasar penilaian yang tepat, apakah kegiatan belajar mengajar dicukupkan, apakah metodenya diubah, apakah kegiatan yang lalu perlu diulang, manakala siswa belum dapat mencapai tujuan-tujuan pembelajaran. Pada tahap ini disamping pengetahuan teori belajar mengajar, pengetahuan tentang siswa, diperlukan pula kemahiran dan keterampilan teknik belajar, misalnya: prinsip-prinsip mengajar, penggunaan alat bantu pengajaran, penggunaan metode mengajar, dan keterampilan menilai hasil belajar siswa.Yutmini (1992:13) mengemukakan, persyaratan kemampuan yang harus di miliki guru dalam melaksanakan proses belajar mengajar meliputi kemampuan:
(1) menggunakan metode belajar, media pelajaran, dan bahan latihan yang sesuai dengan tujuan pelajaran, (2) mendemonstrasikan penguasaan mata pelajaran dan perlengkapan pengajaran, (3) berkomunikasi dengan siswa, (4) mendemonstrasikan berbagai metode mengajar, dan (5) melaksanakan evaluasi proses belajar mengajar.Hal serupa dikemukakan oleh Harahap (1982:32) yang menyatakan, kemampuan yang harus dimiliki guru dalam melaksanakan program mengajar adalah mencakup kemampuan: (1) memotivasi siswa belajar sejak saat membuka sampai menutup pelajaran, (2) mengarahkan tujuan pengajaran, (3) menyajikan bahan pelajaran dengan metode yang relevan dengan tujuan pengajaran, (4) melakukan pemantapan belajar, (5) menggunakan alat-alat bantu pengajaran dengan baik dan benar, (6) melaksanakan layanan bimbingan penyuluhan, (7) memperbaiki program belajar mengajar, dan (8) melaksanakan hasil penilaian belajar.Dalam pelaksanaan proses belajar mengajar menyangkut pengelolaan pembelajaran, dalam menyampaikan materi pelajaran harus dilakukan secara terencana dan sistematis, sehingga tujuan pengajaran dapat dikuasai oleh siswa secara efektif dan efisien. Kemampuan-kemampuan yang harus dimiliki guru dalam melaksanakan kegiatan belajar mengajar terlihat dalam mengidentifikasi karakteristik dan kemampuan awal siswa, kemudian mendiagnosis, menilai dan merespon setiap perubahan perilaku siswa.Depdiknas (2004:9) mengemukakan kompetensi melaksanakan proses belajar mengajar meliputi (1) membuka pelajaran, (2) menyajikan materi, (3) menggunakan media dan metode, (4) menggunakan alat peraga, (5) menggunakan bahasa yang komunikatif, (6) memotivasi siswa, (7) mengorganisasi kegiatan, (8) berinteraksi dengan siswa secara komunikatif, (9) menyimpulkan pelajaran, (10) memberikan umpan balik, (11) melaksanakan penilaian, dan (12) menggunakan waktu.Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa melaksanakan proses belajar mengajar merupakan sesuatu kegiatan dimana berlangsung hubungan antara manusia, dengan tujuan membantu perkembangan dan menolong keterlibatan siswa dalam pembelajaran. Pada dasarnya melaksanakan proses belajar mengajar adalah menciptakan lingkungan dan suasana yang dapat menimbulkan perubahan struktur kognitif para siswa. c. Kompetensi Melaksanakan Penilaian Proses Belajar Mengajar Menurut Sutisna (1993:212), penilaian proses belajar mengajar dilaksanakan untuk mengetahui keberhasilan perencanaan kegiatan belajar mengajar yang telah disusun dan dilaksanakan. Penilaian diartikan sebagai proses yang menentukan betapa baik organisasi program atau kegiatan yang dilaksanakan untuk mencapai maksud-maksud yang telah ditetapkan. Commite dalam Wirawan (2002:22) menjelaskan, evaluasi merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari setiap upaya manusia, evaluasi yang baik akan menyebarkan pemahaman dan perbaikan pendidikan, sedangkan evaluasi yang salah akan merugikan pendidikan.Tujuan utama melaksanakan evaluasi dalam proses belajar mengajar adalah untuk mendapatkan informasi yang akurat mengenai tingkat pencapaian tujuan instruksional oleh siswa, sehingga tindak lanjut hasil belajar akan dapat diupayakan dan dilaksanakan. Dengan demikian, melaksanakan penilaian proses belajar mengajar merupakan bagian tugas guru yang harus dilaksanakan setelah kegiatan pembelajaran berlangsung dengan tujuan untuk mengetahui tingkat keberhasilan siswa mencapai tujuan pembelajaran, sehingga dapat diupayakan tindak lanjut hasil belajar siswa.Depdiknas (2004:9) mengemukakan kompetensi penilaian belajar peserta didik, meliputi (1) mampu memilih soal berdasarkan tingkat kesukaran, (2) mampu memilih soal berdasarkan tingkat pembeda, (3) mampu memperbaiki soal yang tidak valid, (4) mampu memeriksa jawab, (5) mampu mengklasifikasi hasil-hasil penilaian, (6) mampu mengolah dan menganalisis hasil penilaian, (7) mampu membuat interpretasi kecenderungan hasil penilaian, (8) mampu menentukan korelasi soal berdasarkan hasil penilaian, (9) mampu mengidentifikasi tingkat variasi hasil penilaian, (10) mampu menyimpulkan dari hasil penilaian secara jelas dan logis, (11) mampu menyusun program tindak lanjut hasil penilaian, (12) mengklasifikasi kemampuan siswa, (13) mampu mengidentifikasi kebutuhan tindak lanjut hasil penilaian, (14) mampu melaksanakan tindak lanjut, (15) mampu mengevaluasi hasil tindak lanjut, dan (16) mampu menganalisis hasil evaluasi program tindak lanjut hasil penilaian.Berdasarkan uraian di atas kompetensi pedagogik tercermin dari indikator (1) kemampuan merencanakan program belajar mengajar, (2) kemampuan melaksanakan interaksi atau mengelola proses belajar mengajar, dan (3) kemampuan melakukan penilaian. 2. Kompetensi Kepribadian Guru sebagai tenaga pendidik yang tugas utamanya mengajar, memiliki karakteristik kepribadian yang sangat berpengaruh terhadap keberhasilan pengembangan sumber daya manusia. Kepribadian yang mantap dari sosok seorang guru akan memberikan teladan yang baik terhadap anak didik maupun masyarakatnya, sehingga guru akan tampil sebagai sosok yang patut “digugu” (ditaati nasehat/ucapan/perintahnya) dan “ditiru” (di contoh sikap dan perilakunya).Kepribadian guru merupakan faktor terpenting bagi keberhasilan belajar anak didik. Dalam kaitan ini, Zakiah Darajat dalam Syah (2000:225-226) menegaskan bahwa kepribadian itulah yang akan menentukan apakah ia menjadi pendidik dan pembina yang baik bagi anak didiknya, ataukah akan menjadi perusak atau penghancur bagi masa depan anak didiknya terutama bagi anak didik yang masih kecil (tingkat dasar) dan mereka yang sedang mengalami kegoncangan jiwa (tingkat menengah). Karakteristik kepribadian yang berkaitan dengan keberhasilan guru dalam menggeluti profesinya adalah meliputi fleksibilitas kognitif dan keterbukaan psikologis. Fleksibilitas kognitif atau keluwesan ranah cipta merupakan kemampuan berpikir yang diikuti dengan tindakan secara simultan dan memadai dalam situasi tertentu. Guru yang fleksibel pada umumnya ditandai dengan adanya keterbukaan berpikir dan beradaptasi. Selain itu, ia memiliki resistensi atau daya tahan terhadap ketertutupan ranah cipta yang prematur dalam pengamatan dan pengenalan.Dalam Undang-undang Guru dan Dosen dikemukakan kompetensi kepribadian adalah “kemampuan kepribadian yang mantap, berakhlak mulia, arif, dan berwibawa serta menjadi teladan peserta didik”. Surya (2003:138) menyebut kompetensi kepribadian ini sebagai kompetensi personal, yaitu kemampuan pribadi seorang guru yang diperlukan agar dapat menjadi guru yang baik. Kompetensi personal ini mencakup kemampuan pribadi yang berkenaan dengan pemahaman diri, penerimaan diri, pengarahan diri, dan perwujudan diri. Gumelar dan Dahyat (2002:127) merujuk pada pendapat Asian Institut for Teacher Education, mengemukakan kompetensi pribadi meliputi (1) pengetahuan tentang adat istiadat baik sosial maupun agama, (2) pengetahuan tentang budaya dan tradisi, (3) pengetahuan tentang inti demokrasi, (4) pengetahuan tentang estetika, (5) memiliki apresiasi dan kesadaran sosial, (6) memiliki sikap yang benar terhadap pengetahuan dan pekerjaan, (7) setia terhadap harkat dan martabat manusia. Sedangkan kompetensi guru secara lebih khusus lagi adalah bersikap empati, terbuka, berwibawa, bertanggung jawab dan mampu menilai diri pribadi. Johnson sebagaimana dikutip Anwar (2004:63) mengemukakan kemampuan personal guru, mencakup (1) penampilan sikap yang positif terhadap keseluruhan tugasnya sebagai guru, dan terhadap keseluruhan situasi pendidikan beserta unsur-unsurnya, (2) pemahaman, penghayatan dan penampilan nilai-nilai yang seyogyanya dianut oleh seorang guru, (3) kepribadian, nilai, sikap hidup ditampilkan dalam upaya untuk menjadikan dirinya sebagai panutan dan teladan bagi para siswanya. Arikunto (1993:239) mengemukakan kompetensi personal mengharuskan guru memiliki kepribadian yang mantap sehingga menjadi sumber inspirasi bagi subyek didik, dan patut diteladani oleh siswa.Berdasarkan uraian di atas, kompetensi kepribadian guru tercermin dari indikator (1) sikap, dan (2) keteladanan. 3. Kompetensi Profesional Menurut Undang-undang No. 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, kompetensi profesional adalah “kemampuan penguasaan materi pelajaran secara luas dan mendalam”. Surya (2003:138) mengemukakan kompetensi profesional adalah berbagai kemampuan yang diperlukan agar dapat mewujudkan dirinya sebagai guru profesional. Kompetensi profesional meliputi kepakaran atau keahlian dalam bidangnya yaitu penguasaan bahan yang harus diajarkannya beserta metodenya, rasa tanggung jawab akan tugasnya dan rasa kebersamaan dengan sejawat guru lainnya. Gumelar dan Dahyat (2002:127) merujuk pada pendapat Asian Institut for Teacher Education, mengemukakan kompetensi profesional guru mencakup kemampuan dalam hal (1) mengerti dan dapat menerapkan landasan pendidikan baik filosofis, psikologis, dan sebagainya, (2) mengerti dan menerapkan teori belajar sesuai dengan tingkat perkembangan perilaku peserta didik, (3) mampu menangani mata pelajaran atau bidang studi yang ditugaskan kepadanya, (4) mengerti dan dapat menerapkan metode mengajar yang sesuai, (5) mampu menggunakan berbagai alat pelajaran dan media serta fasilitas belajar lain, (6) mampu mengorganisasikan dan melaksanakan program pengajaran, (7) mampu melaksanakan evaluasi belajar dan (8) mampu menumbuhkan motivasi peserta didik.
Johnson sebagaimana dikutip Anwar (2004:63) mengemukakan kemampuan profesional mencakup (1) penguasaan pelajaran yang terkini atas penguasaan bahan yang harus diajarkan, dan konsep-konsep dasar keilmuan bahan yang diajarkan tersebut, (2) penguasaan dan penghayatan atas landasan dan wawasan kependidikan dan keguruan, (3) penguasaan proses-proses kependidikan, keguruan dan pembelajaran siswa. Arikunto (1993:239) mengemukakan kompetensi profesional mengharuskan guru memiliki pengetahuan yang luas dan dalam tentang subject matter (bidang studi) yang akan diajarkan serta penguasaan metodologi yaitu menguasai konsep teoretik, maupun memilih metode yang tepat dan mampu menggunakannya dalam proses belajar mengajar.Depdiknas (2004:9) mengemukakan kompetensi profesional meliputi (1) pengembangan profesi, pemahaman wawasan, dan penguasaan bahan kajian akademik.Pengembangan profesi meliputi (1) mengikuti informasi perkembangan iptek yang mendukung profesi melalui berbagai kegiatan ilmiah, (2) mengalihbahasakan buku pelajaran/karya ilmiah, (3) mengembangkan berbagai model pembelajaran, (4) menulis makalah, (5) menulis/menyusun diktat pelajaran, (6) menulis buku pelajaran, (7) menulis modul, (8) menulis karya ilmiah, (9) melakukan penelitian ilmiah (action research), (10) menemukan teknologi tepat guna, (11) membuat alat peraga/media, (12) menciptakan karya seni, (13) mengikuti pelatihan terakreditasi, (14) mengikuti pendidikan kualifikasi, dan (15) mengikuti kegiatan pengembangan kurikulum.
Pemahaman wawasan meliputi (1) memahami visi dan misi, (2) memahami hubungan pendidikan dengan pengajaran, (3) memahami konsep pendidikan dasar dan menengah, (4) memahami fungsi sekolah, (5) mengidentifikasi permasalahan umum pendidikan dalam hal proses dan hasil belajar, (6) membangun sistem yang menunjukkan keterkaitan pendidikan dan luar sekolah.Penguasaan bahan kajian akademik meliputi (1) memahami struktur pengetahuan, (2) menguasai substansi materi, (3) menguasai substansi kekuasaan sesuai dengan jenis pelayanan yang dibutuhkan siswa.
Berdasarkan uraian di atas, kompetensi profesional guru tercermin dari indikator
(1) kemampuan penguasaan materi pelajaran,
(2) kemampuan penelitian dan penyusunan karya ilmiah,
(3) kemampuan pengembangan profesi, dan
(4) pemahaman terhadap wawasan dan landasan pendidikan 4. Kompetensi Sosial Guru yang efektif adalah guru yang mampu membawa siswanya dengan berhasil mencapai tujuan pengajaran. Mengajar di depan kelas merupakan perwujudan interaksi dalam proses komunikasi. Menurut Undang-undang Guru dan Dosen kompetensi sosial adalah “kemampuan guru untuk berkomunikasi dan berinteraksi secara efektif dan efisien dengan peserta didik, sesama guru, orangtua/wali peserta didik, dan masyarakat sekitar”. Surya (2003:138) mengemukakan kompetensi sosial adalah kemampuan yang diperlukan oleh seseorang agar berhasil dalam berhubungan dengan orang lain. Dalam kompetensi sosial ini termasuk keterampilan dalam interaksi sosial dan melaksanakan tanggung jawab sosial.Gumelar dan Dahyat (2002:127) merujuk pada pendapat Asian Institut for Teacher Education, menjelaskan kompetensi sosial guru adalah salah satu daya atau kemampuan guru untuk mempersiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang baik serta kemampuan untuk mendidik, membimbing masyarakat dalam menghadapi kehidupan di masa yang akan datang. Untuk dapat melaksanakan peran sosial kemasyarakatan, guru harus memiliki kompetensi
(1) aspek normatif kependidikan, yaitu untuk menjadi guru yang baik tidak cukup digantungkan kepada bakat, kecerdasan, dan kecakapan saja, tetapi juga harus beritikad baik sehingga hal ini bertautan dengan norma yang dijadikan landasan dalam melaksanakan tugasnya,
(2) pertimbangan sebelum memilih jabatan guru, dan
(3) mempunyai program yang menjurus untuk meningkatkan kemajuan masyarakat dan kemajuan pendidikan. Johnson sebagaimana dikutip Anwar (2004:63) mengemukakan kemampuan sosial mencakup kemampuan untuk menyesuaikan diri kepada tuntutan kerja dan lingkungan sekitar pada waktu membawakan tugasnya sebagai guru. Arikunto (1993:239) mengemukakan kompetensi sosial mengharuskan guru memiliki kemampuan komunikasi sosial baik dengan peserta didik, sesama guru, kepala sekolah, pegawai tata usaha, bahkan dengan anggota masyarakat.Berdasarkan uraian di atas, kompetensi sosial guru tercermin melalui indikator
(1) interaksi guru dengan siswa,
(2) interaksi guru dengan kepala sekolah,
(3) interaksi guru dengan rekan kerja,
(4) interaksi guru dengan orang tua siswa, dan
(5) interaksi guru dengan masyarakat.
BAB III PENUTUP KESIPULAN  
Berdasarkan uraian di atas dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut : 1. Kompetensi guru merupakan gambaran tentang apa yang seyogyanya dapat dilakukan seseorang guru dalam melaksanakan pekerjaannya, baik berupa kegiatan, berperilaku maupun hasil yang dapat ditunjukkan.. 2. Kompetensi guru terdiri dari kompetensi pedagogik, kompetensi personal, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional. 3. Sejalan dengan tantangan kehidupan global, peran dan tanggung jawab guru pada masa mendatang akan semakin kompleks, sehingga menuntut guru untuk senantiasa melakukan berbagai peningkatan dan penyesuaian penguasaan kompetensinya.  
DAFTAR PUSTAKA
  Anwar, Moch. Idochi. (2004). Administrasi Pendidikan dan Manajemen Biaya Pendidikan. Bandung: Alfabeta.
Arikunto, Suharsimi (1993). Manajemen Pengajaran Secara Manusia. Jakarta: Rineka Cipta Harahap, Baharuddin. (1983). Supervisi Pendidikan yang Dilaksanakan oleh Guru, Kepala Sekolah, Penilik dan Pengawas Sekolah. Jakarta: Damai Jaya.
Joni, T. Raka. (1984). Pedoman Umum Alat Penilaian Kemampuan Guru. Jakarta: Dirjen Pendidikan Tinggi Depdikbud
Majid, Abdul. (2005). Perencanaan Pembelajaran: Mengembangkan Standar Kompetensi Guru. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Muhaimin (2004). Paradigma Pendidikan Islam. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Mulyasa, E., (2003). Kurikulum Berbasis Kompetensi: Konsep, Karakteristik, dan Implementasi. Bandung: PT Remaja Rosdakarya Robbins,
Stephen P., (2001), Organizational Behavior, New Jersey: Pearson Education International. Robotham, David, (1996), Competences : Measuring The Immeasurable, Management Development Review, Vol. 9, No. 5, hal. 25-29.
Sofo. Francesco, (1999). Human Resource Development, Perspective, Roles and Practice Choice. Business and Professional Publishing,
Warriewood, NWS Spencer, Lyle M., Jr. & Signe M., Spencer. (1993). Competence at Work: Models for Superior Performance. John Wiley & Sons. Inc. Surya,
Muhammad. (2003). Psikologi Pembelajaran dan Pengajaran. Bandung: Yayasan Bhakti Winaya.
Sutisna,Oteng. (1993). Administrasi Pendidikan Dasar Teoritis dan Praktis Profesional. Bandung: Angkasa Syah, Muhibbin. (2000). Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Usman, Moh. Uzer. (1994). Menjadi Guru Profesional. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Wirawan. (2002). Profesi dan Standar Evaluasi. Jakarta: Yayasan Bangun Indonesia & UHAMKA Press. Yutmini, Sri. (1992). Strategi Belajar Mengajar. Surakarta: FKIP UNS

PEMIKIRAN HASYIM ASY'ARI DALAM KONSEP PENDIDIKAN

PEMIKIRAN K. H. HASYIM ASY’ARI A. Pendahuluan Ketokahan K. H. Hasyim Asy’ari sering kali diceburkan dalam persoalan sosial politik. Hal ini dapat dipahami bahwa sebagian dari sejarah kehidupan K. H. Hasyim Asy’ari juga dihabiskan untuk merebut kedaulatan bangsa Indonesia melawan hegemoni kolonial Belanda dan Jepang. Lebih-lebih organisasi yang didirikannya, Nahdatul Ulama, pada masa itu cukup aktif melakukan usaha-usaha sosial politik. Akan tetapi, K. H. Hasyim Asy’ari sejatinya merupakan tokoh yang piawai dalam gerakan dan pemikiran kependidikan. Sebagaimana dapat disaksikan, bahwa K. H. Hasyim Asy’ari mau tiak mau bisa dikategorikan sebagai generasi awal yang mengembangkan sistem pendidikan pesantren, terutama di Jawa.[1] B. Biografi Nama lengkap K. H. Hasyim Asy’ari adalah Muhammad Hasyim Asy’ari ibn ‘Abd Al-Wahid. Ia lahir di Gedang, sebuah desa di daerah Jombang, Jawa Timur, pada hari selasa kliwon 24 Dzu Al-Qa’idah 1287 H. bertepatan dengan tanggal 14 Februari 1871.[2] Asal-usul dan keturunan K.H M.Hasyim Asy’ari tidak dapat dipisahkan dari riwayat kerajaan Majapahit dan kerajaan Islam Demak. Salasilah keturunannya, sebagaimana diterangkan oleh K.H. A.Wahab Hasbullah menunjukkan bahawa leluhurnya yang tertinggi ialah neneknya yang kedua iaitu Brawijaya VI. Ada yang mengatakan bahawa Brawijaya VI adalah Kartawijaya atau Damarwulan dari perkahwinannya dengan Puteri Champa lahirlah Lembu Peteng (Brawijaya VII).[3] Menurut penuturan ibunya, tanda kecerdasan dan ketokohan Hasyim Asy’ari sudah tampak saat ia masih berada dalam kandungan. Di samping masa kandung yang lebih lama dari umumnya kandungan, ibunya juga pernah bermimpi melihat bulan jatuh dari langit ke dalam kandungannya. Mimpi tersebut kiranya bukanlah isapan jempol dan kembang tidur belaka, sebab ternyata tercatat dalam sejarah, bahwa pada usianya yang masih sangat muda, 13 tahun, Hasyim Asy’ari sudah berani menjadi guru pengganti (badal) di pesantren untuk mengajar santri-santri yang tidak jarang lebih tua dari umurnya sendiri.[4] Bakat kepemimpinan Kiai Hasyim sudah tampak sejak masa kanak-kanak. Ketika bermain dengan teman-teman sebayanya, Hasyim kecil selalu menjadi penengah. Jika melihat temannya melanggar aturan permainan, ia akan menegurnya. Dia membuat temannya senang bermain, karena sifatnya yang suka menolong dan melindungi sesama.[5] Semasa hidupnya, ia mendapatkan pendidikan dari ayahnya sendiri, terutama pendidikan di bidang ilmu-ilmu Al-Qur’an dan literatur agama lainnya. Setelah itu, ia menjelajah menuntut ilmu ke berbagai pondok pesantren, terutama di Jawa, yang meliputi Shone, Siwilan Buduran, Langitan Tuban, Demangan Bangkalan, dan Sidoarjo, ternyata K. H. Hasyim Asy’ari merasa terkesan untuk terus melanjutkan studinya. Ia berguru kepada K. H. Ya’kub yang merupaka kiai di pesantren tersebut. Kiai Ya’kub lambat laun merasakan kebaikan dan ketulusan Hasyim Asy’ari dalam perilaku kesehariannya, sehingga kemudian ia menjodohkannya dengan putrinya, Khadijah. Tepat pada usia 21 tahun, tahun 1892, Hasyim Asy’ari melangsungkan pernikahan dengan putri K. H. Ya’kub tersebut. Setelah nikah, K. H. Hasyim Asy’ari bersama istrinya segera melakukan ibadah haji. Sekembalinya dari tanah suci, mertua K. H. Hasyim Asy’ari menganjurkannya menuntut ilmu di Mekkah. Dimungkinkan, hal ini didorong oleh tradisi pada saat itu bahwa seorang ulama belumlah dikatakan cukup ilmunya jika belum mengaji di Mekkah selama bertahun-tahun. Di tempat itu, K. H. Hasyim Asy’ari mempelajari berbagai macam disiplin ilmu, diantaranya adalah ilmu fiqh Syafi’iyah dan ilmu Hadits, terutama literatur Shahih Bukhari dan Muslim. Disaat K. H. Hasyim Asy’ari bersemangat belajar, tepatnya ketika telah menetap 7 bulan di Mekkah, istrinya meninggal dunia pada waktu melahirkan anaknya yang pertama sehingga bayinya pun tidak terselamatkan. Walaupun demikian, hal ini tidak mematahkan semangat belajarnya untuk menuntut ilmu. K. H. Hasyim Asy’ari semasa tinggal di Mekkah berguru kepada Syekh Ahmad Amin Al-Athar, Sayyid Sultan ibn Hasyim, Sayyid Ahmad ibn Hasan Al-Athar, Syekh Sayyid Yamani, Sayyid Alawi ibn Ahmad As-Saqqaf, Sayyid Abbas Maliki, Sayid ‘Abd Allah Al-Zawawi. Syekh Shaleh Bafadhal, dan Syekh Sultan Hasyim Dagastani. Ia tinggal di Mekkah selama 7 tahun. Dan pada tahun 1900 M. atau 1314 H. K. H. Hasyim Asy’ari pulang ke kampung halamannya. Di tempat itu ia membuka pengajian keagamaan yang dalam waktu yang relatif singkat menjadi terkenal di wilayah Jawa.[6] Tanggal 31 Januari 1926, bersama dengan tokoh-tokoh Islam tradisional, Kiai Hasyim Asy’ari mendirikan Nahdlatul Ulama, yang berarti kebangkitan ulama. Organisasi ini pun berkembang dan banyak anggotanya. Pengaruh Kiai Hasyim Asy’ari pun semakin besar dengan mendirikan organisasi NU, bersama teman-temannya. Itu dibuktikan dengan dukungan dari ulama di Jawa Tengah dan Jawa Timur. K. H. Hasyim Asy’ari dikenal sebagai salah seorang pendiri NU (Nahdatul Ulama). Pada masa pendudukan Jepang, Hasyim Asy’ari pernah ditahan selama 6 bulan, karena dianggap menentang penjajahan Jepang di Indonesia. Karena tuduhan itu tidak terbukti, ia dibebaskan dari tahanan, atas jasa-jasanya dalam perjuangan melawan penjajah Belanda dan Jepang, Hasyim Asy’ari dianugerahi gelar pahlawan kemerdekaan nasional oleh Presiden RI. Pada tahun 1926 K. H. Hasyim Asy’ari mendirikan partai Nahdatul Ulama (NU). Sejak didirikan sampai tahun 1947 Rais ‘Am (ketua umum) dijabat oleh K. H. Hasyim Asy’ari. Ia pernah menjabat sebagai kepala Kantor Urusan Agama pada zaman pendudukan Jepang untuk wilayah Jawa dan Madura. K. H. Hasyim Asy’ari wafat pada tahun 1947 di Tebuireng, Jombang Jawa Timur. Hampir seluruh waktunya diabdikan untuk kepentingan agama dan pendidikan.[7] C. Pemikiran K. H. Hasyim Asy’ari tentang Pendidikan Tepat pada tanggal 26 Rabi’ Al-Awwal 120 H. bertepatan 6 Februari 1906 M., Hasyim Asy’ari mendirikan Pondok Pesantren Tebuireng. Oleh karena kegigihannya dan keikhlasannya dalam menyosialisakan ilmu pengetahuan, dalam beberapa tahun kemudian pesantren relatif ramai dan terkenal.[8] Menurut Abu Bakar Aceh yang dikutip oleh editor buku Rais ‘Am Nahdlatul Ulama hal.153 bahwa KH. Hasyim Asy’ari mengusulkan sistem pengajaran di pesantren diganti dari sistem bandongan menjadi sistem tutorial yang sistematis dengan tujuan untuk mengembangkan inisiatif dan kepribadian para santri. Namun hal itu ditolak oleh ayahnya, Asy’ari dengan alasan akan menimbulkan konflik di kalangan kiai senior. Pada tahun 1916 – 1934 Hasyim Asy’ari membuka sistem pengajaran berjenjang. Ada tujuh jenjang kelas dan dibagi menjadi ke dalam dua tingkatan. Tahun pertama dan kedua dinamakan siffir awal dan siffir tsani yaitu masa persiapan untuk memasuki masa lima tahun jenjang berikutnya. Pada siffir awal dan siffir tsani itu diajarka bahasa Arab sebagai landasan penting pembedah khazanah ilmu pengetahuan Islam. Kurikulum madrasah mulai ditambah dengan pelajaran-pelajaran bahasa Indonesia (Melayu), matematika dan ilmu bumi, dan tahun 1926 ditambah lagi dengan mata pelajaran bahasa Belanda dan sejarah. Kiai Hasyim terkenal sebagai ulama yang mampu melakukan penyaringan secara ketat terhadap sekian banyak tradisi keagamaan yang dianggapnya tidak memiliki dasar-dasar dalam hadis dan ia sangat teliti dalam mengamati perkembangan tradisi ketarekatan di pulau Jawa, yang nilai-nilainya telah menyimpang dari kebenaran ajaran Islam. Menurut hasyim Asy’ari, ia tetap mempertahankan ajaran-ajaran mazhab untuk menafsirkan al-Qur’an dan hadis dan pentingnya praktek tarikat.[9] Sebagaimana diketahui dalam sejarah pendidikan Islam tradisional, khususnya di Jawa, peranan kiai Hasyim yang kemudian terkenal dengan sebutan Hadrat Asy-Syaikh (guru besar di lingkungan pesantren), sangat besar dalam pembentukan kader-kader ulama pimpinan pesantren. Banyak pesantren besar yang terkenal, terutama, yang berkembang di Jawa Timur dan Jawa Tengah, dikembangkan oleh para kiai hasil didikan kiai Hasyim.[10] Beliau menyebutkan bahwa tujuan utama ilmu pengetahan adalah mengamalkan. Hal itu dimaksudkan agar ilmu yang dimiliki menghasilkan manfaat sebagai bekal untuk kehidupan akhirat kelak. Terdapat dua hal yang harus diperhatikan dalam menuntut ilmu, yaitu : pertama, bagi murid hendaknya berniat suci dalam menuntut ilmu, jangan sekali-kali berniat untuk hal-hal duniawi dan jangan melecehkannya atau menyepelikannya. Kedua, bagi guru dalam mengajarkan ilmu hendaknya meluruskan niatnya terlebih dahulu, tidak mengharapkan materi semata. Agaknya pemikiran beliau tentang hal tersebut di atas, dipengaruhi oleh pandangannya akan masalah sufisme (tasawuf), yaitu salah satu persyaratan bagi siapa saja yang mengikuti jalan sufi menurut beliau adalah “niat yang baik dan lurus”.[11] Salah satu karya monumental K. H. Hasyim Asy’ari yang berbicara tentang pendidikan adalah kitab Adab Al-‘Alim wa Al-Muta’allum wa ma Yataqaff Al-Mu’allimin fi Maqamat Ta’limih yang dicetak pertama kali pada tahun 1415 H. sebagaimana umumnya kitab kuning, pembahasan terhadap masalah pendidikan lebih ditekankan pada masalah pendidikan etika. Meski demikian tidak menafikan beberapa aspek pendidikan lainnya. Keahliannya dalam bidang hadits ikut pula mewarnai isi kitab tersebut.[12] Belajar menurut Hasyim Asy’ari merupakan ibadah untuk mencari ridha Allah, yang mengantarkan manusia untuk memperoleh kebahagiaan dunia dan akhirat. Karenanya belajar harus diniatkan untuk mengembangkan dan melestarikan nilai-nilai Islam, bukan hanya untuk sekedar menghilangkan kebodohan. Pendidikan hendaknya mampu menghantarkan umat manusia menuju kemaslahatan, menuju kebahagiaan dunia dan akhirat. Pendidikan hendaknya mampu mengembangkan serta melestarikan nilai-nilai kebajikan dan norma-norma Islam kepada generasi penerus umat, dan penerus bangsa. Umat Islam harus maju dan jangan mau dibodohi oleh orang lain, umat Islam harus berjalan sesuai dengan nilai dan norma-norma Islam.[13] Catatan yang menarik dan perlu dikedepankan dalam membahas pemikiran dan pandangan yang ditawarkan oleh Hasyim Asy’ari adalah etika dalam pendidikan, dimana guru harus membiasakan diri menulis, mengarang dan meringkas, yang pada masanya jarang sekali dijumpai. Dan hal ini beliau buktikan dengan banyaknya kitab hasil karangan atau tulisan beliau. Betapa majunya pemikiran Hasyim Asy’ari dibanding tokoh-tokoh lain pada zamannya, bahkan beberapa tahun sesudahnya. Dan pemikiran ini ditumbuh serta diangkat kembali oleh pemikir pendidik zaman sekarang ini, yaitu Harun Nasution, yang mengatakan hendaknya para dosen-dosen di Perguruan Tinggi Islam khususnya agar membiasakan diri untuk menulis.[14] Selain mumpuni dalam bidang agama, Kiai Hasyim juga ahli dalam mengatur kurikulum pesantren, mengatur strategi pengajaran, memutuskan persoalan-persoalan actual kemasyarakatan, dan mengarang kitab. Pada tahun 1919, ketika masayarakat sedang dilanda informasi tentang koperasi sebagai bentuk kerjasama ekonomi, Kiai Hasyim tidak berdiam diri. Beliau aktif bermuamalah serta mencari solusi alternatif bagi pengembangan ekonomi umat, dengan berdasarkan pada kitab-kitab Islam klasik. Beliau membentuk badan semacam koperasi yang bernama Syirkatul Inan li Murabathati Ahli al-Tujjar.[15] Menurut Hasyim Asya’ri ada beberapa hal yang harus dimiliki oleh seorang pendidik Islam, beberapa hal tersebut adalah adab atau etika bagi alim / para guru. Paling tidak menurut Hasyim Asy’ari ada dua puluh etika yang harus dipunyai oleh guru ataupun calon guru. Pertama, selalu berusah mendekatkan diri kepada Allah dalam keadaan apapun, bagaimanapun dan dimanapun. Kedua, mempunyai rasa takut kepada Allah, takut atau khouf dalam keadaan apapun baik dalam gerak, diam, perkataan maupun dalam perbuatan. Ketiga, mempunyai sikap tenang dalam segala hal. Keempat, berhati-hati atau wara dalam perkataan,maupun dalam perbuatan. Kelima, tawadhu, tawadhu adalah dalam pengertian tidak sombong, dapat juga dikatakan rendah hati. Keenam, khusyu dalam segala ibadahnya. Ketujuh, selalu berpedoman kepada hokum Allah dalam segala hal. kedelapan, tidak menggunakan ilmunya hanya untuk tujuan duniawi semata. kesembilan, tidak rendah diri dihadapan pemuja dunia. Kesepuluh, zuhud, dalam segala hal. Kesebelas, menghindarai pekerjaan yang menjatuhkan martabatnya. Kedua belas, menghindari tempat –tempat yang dapat menimbulkan maksiat. ketigabelas, selalu menghidupkan syiar islam. Keempat belas, menegakkan sunnah Rasul. Kelimabelas, menjaga hal- hal yang sangat di anjurkan. Keenam belas, bergaul dengan sesame manusia secara ramah, ketujuhbelas, menyucikan jiwa. Kedelapan belas selalu berusaha mempertajam ilmunya. Delapan belas, terbuka untuk umum, baik saran maupun kritik. Sembilan belas,selalu mengambil ilmu dari orang lain tentang ilmu yang tidak diketahuinya. Duapuluh, meluangkan waktu untuk menulis atau mengarang buku. Dengan memiliki dua puluh etika tersebut diharapkan para guru menjadi pendidikan yang baik, pendidik yang mampu menjadi teladan anak didik. Di sisi lain, ketika pendidik mempunyai etika, maka yang terdidik pun akan menjadi anak didik yang beretika juga, karena keteladanan mempunyai peran penting dalam mendidik akhlak anak. Untuk itu perlu kiranya para calon pendidik maupun yang telh menjadi pendidik untuk memiliki etika tersebut.[16] D. Pemikiran K. H. Hasyim Asy’ari tentang Sosial Aktivitas K. H. Hasyim Asy’ari di bidang sosial lainnya adalah mendirikan organisasi Nahdatul Ulama, bersama dengan ulama besar di Jawa lainnya, seperti Syekh ‘Abd Al-Wahhab dan Syekh Bishri Syansuri.[17] Mengenai orientasi pemahaman dan pemikiran keislaman, kiai Hasyim sangat dipengaruhi oleh salah seorang guru utamanya: Syekh Mahfuz At-Tarmisi yang banyak menganut tradisi Syekh Nawawi. Selama belajar di Mekkah, sebenarnya, ia pun mengenal ide-ide pembaharuan Muhammad Abduh. Tetapi ia cenderung tidak menyetujui pikiran-pikiran Abduh, terutama dalam hal kebebasan berpikir dan pengabaian Mazhab. Menurutnya kembali langsung ke Al-Qur’an dan As-Sunnah tanpa melalui hasil-hasil Ijtihad para imam mazhab adalah tidak mungkin. Menafsirkan Al-Qur’an dan Hadits secara langsung, tanpa mempelajari kitab-kitab para ulama besar dan imam mazhab, hanya akan menghasilkan pemahaman yang keliru tentang ajaran Islam. Latar belakang orientasi pemahaman keislaman seperti inilah yang membuat kiai Hasyim menjadi salah seorang pendiri dan pemimpin utama Nadhatul Ulama. Tidak kurang dari 21 tahun ia menjadi Rais ‘Am, ketua umum Nadhatul Ulama (1926-1947).[18] KH Hasyim Asy’ari menganjurkan kepada para kiai dan guru-guru agama agar memiliki perhatian serius kepada masalah ekonomi untuk kemaslahatan; “kenapa tidak kalian dirikan saja satu badan usaha, yang setiap wilayah ada satu badan usaha yang mandiri.” Demikian pernyataan KH Hasyim Asy’ari ketika mendeklarasikan berdirinya Nahdlah at-Tujjar. Berangkat dari kesadaran itulah Nahdlah at-Tujjar didirikan, dengan satu badan usaha yang ketika itu disebut Syirkah al-Inan, yang kemudian hari ketika NU berdiri wadah ekonomi tersebut berganti nama dengan Syirkah al-Mu’awanah.[19] Ketika organisasi sosial keagamaan masyumi dijadikan partai politik pada 1945, Kiai Hasyim terpilih sebagai ketua umum. Setahun kemudian, 7 September 1947 (1367 H), K. H. Muhammad Hasyim Asy’ari, yang bergelar Hadrat Asy-Syaikh wafat. Berdasarkan keputusan Presiden No. 29/1964, ia diakui sebagai seorang pahlawan kemerdekaan nasional, suatu bukti bahwa ia bukan saja tokoh utama agama, tetapi juga sebagai tokoh nasional. Pada tahun 1930 dalam muktamar NU ke-3 kiai Hasyim selaku Rais Akbar menyampaikan pokok-pokok pikiran mengenai organisasi NU. Pokok-pokok pikiran inilah yang kemudian dikenal sebagai Qanun Asasi Jamiah NU (undang-undang dasar jamiah NU).[20] E. Karya K. H. Hasyim Asy’ari Disamping aktif mengajar, berdakwah, dan berjuang, Kiai Hasyim juga penulis yang produktif. Beliau meluangkan waktu untuk menulis pada pagi hari, antara pukul 10.00 sampai menjelang dzuhur. Waktu ini merupakan waktu longgar yang biasa digunakan untuk membaca kitab, menulis, juga menerima tamu. Karya-karya Kiai Hasyim banyak yang merupakan jawaban atas berbagai problematika masyarakat. Misalnya, ketika umat Islam banyak yang belum faham persoalan tauhid atau aqidah, Kiai Hasyim lalu menyusun kitab tentang aqidah, diantaranya Al-Qalaid fi Bayani ma Yajib min al-Aqaid, Ar-Risalah al-Tauhidiyah, Risalah Ahli Sunnah Wa al-Jama’ah, Al-Risalah fi al-Tasawwuf, dan lain sebagainya. Kiai Hasyim juga sering menjadi kolumnis di majalah-majalah, seperti Majalah Nahdhatul Ulama’, Panji Masyarakat, dan Swara Nahdhotoel Oelama’. Biasanya tulisan Kiai Hasyim berisi jawaban-jawaban atas masalah-masalah fiqhiyyah yang ditanyakan banyak orang, seperti hukum memakai dasi, hukum mengajari tulisan kepada kaum wanita, hukum rokok, dll. Selain membahas tentang masail fiqhiyah, Kiai Hasyim juga mengeluarkan fatwa dan nasehat kepada kaum muslimin, seperti al-Mawaidz, doa-doa untuk kalangan Nahdhiyyin, keutamaan bercocok tanam, anjuran menegakkan keadilan, dan lain-lain.[21] Sebagai seorang intelektual, K. H. Hasyim Asy’ari telah menyumbangkan banyak hal yang berharga bagi pengembangan peradaban, diantaranya adalah sejumlah literatur yang berhasil ditulisnya. Karya-karya tulis K. H. Hasyim Asy’ari yang terkenal adalah sebagai berikut: (1) Adab Al-‘Alim wa Al-Muta’allimin, (2) Ziyadat Ta’liqat, (3) Al-Tanbihat Al-Wajibat Liman, (4) Al-Risalat Al-Jami’at, (5) An-Nur Al-Mubin fi Mahabbah Sayyid Al-Mursalin, (6) Hasyiyah ‘Ala Fath Al-Rahman bi Syarh Risalat Al-Wali Ruslan li Syekh Al-Isam Zakariya Al-Anshari, (7) Al-Durr Al-Muntatsirah fi Al-Masail Al-Tis’i Asyrat, (8) Al-Tibyan Al-Nahy’an Muqathi’ah Al-Ikhwan, (9) Al-Risalat Al-Tauhidiyah, (10) Al-Qalaid fi Bayan ma Yajib min Al-‘Aqaid. Kitab ada Al-‘Alim wa Al-Muta’allimin merupakan kitab yang berisi tentang konsep pendidikan. Kitab ini selesai disusun hari Ahad pada tanggal 22 Jumadi Al-Tsani tahun 1343. K. H. Hasyim Asy’ari menulis kitab ini didasari oleh kesadaran akan perlunya literatur yang membahas tentang etika (adab) dalam mencari ilmu pengetahuan. Menuntut ilmu merupakan pekerjaan agama yang sangat luhur sehingga orang yang mencarinya harus memperlihatkan etika-etika yang luhur pula.[22] F. Analisis Mengajar merupakan profesi yang di tekuni oleh K. H. Hasyim Asy’ari sejak muda. Sejak masih di pondok pesantren ia sering dipercayakan mengajar santri-santri yang baru masuk oleh gurunya. Bahkan, ketika di Mekkah ia pun sudah mengajar. Sepulang dari Mekkah ia membantu ayahnya mengajar di pondok ayahnya, pondok Nggedang. Kemudian ia mendirikan pondok pesantren sendiri di desa Tebuireng, Jombang. Hasyim Asy’ari sengaja memilih lokasi yang penduduknya dikenal banyak penjudi, perampok, dan pemabuk. Mulanya pilihan itu ditentang oleh sahabat dan sanak keluarganya. Akan tetapi, Hasyim Asy’ari meyakinkan bahwa mereka bahwa dakwah Islam harus lebih banyak ditujukan kepada masyarakat yang jauh dari kehidupan beragama. Demikianlah pada tahun 1899 di Tebuireng berdiri sebuah pondok yang sangat sederhana. Bertahun-tahun kiai Hasyim membina pesantrennya, menghadapi berbagai rintangan dan hambatan, terutama dari masyarakat sekelilingnya. Akhirnya, pesantren itu tumbuh dan berkembang dengan pesat. G. Kesimpulan Dari pemaparan di atas, dapatlah diketahui bahwa ketokohan kiai Hasyim Asy’ari dikalangan masyarakat dan organisasi Islam tradisional bukan saja sangat sentral tetapi juga menjadi tipe utama seorang pemimpin, sebagaimana diketahui dalam sejarah pendidikan tradisional, khususnya di Jawa. Peranan kiai Hasyim Asy’ari yang kemudian dikenal dengan sebutan Hadrat Asy-Syaikh (guru besar di lingkungan pesantren). Peranan kiai Hasyim Asy’ari sangat besar dalam pembentukan kader-kader ulama pemimpin pesantren, terutama yang berkembang di Jawa Timur dan Jawa Tengah. Dalam bidang organisasi keagamaan, ia pun aktif mengoganisir perjuangan politik melawan kolonial untuk menggerakkan masa, dalam upaya menentang dominasi politik Belanda. Dan pada tanggal 7 September 1947 (1367 H), K. H. Hasyim Asy’ari, yang bergelar Hadrat Asy-Syaikh wafat. Berdas arkan keputusan Presiden No. 29/1964, ia diakui sebagai seorang pahlawan kemerdekaan nasional, suatu bukti bahwa ia bukan saja tokoh utama agama, tetapi juga sebagai tokoh nasional. [1]. A. Mujib, Dkk. Entelektualisme Pesantren, PT. Diva Pustaka. Jakarta. 2004 h. 319 [2]. Ibid, h. 319 [3]. httpwapedia.mobimsHasyim_Asy%27ari.htm [4]. httphabibah-kolis.blogspot.com200801hasyim-asyari.html [5]. httppesantren.tebuireng.netindex.phppilih=news&mod=yes&aksi=lihat&id=30.htm [6]. A. Mujib, Dkk, Op Cit. h. 319-320 [7]. Ensiklopedia Islam, Departemen Agama, Jakarta 1993. h. 138-139 [8]. A. Mujib, Dkk, Op Cit. h. 320 [9]. httplppbi-fiba.blogspot.com200903komparasi-pemikiran-kh-ahmad-dahlan-dan.html [10]. Ensiklopedia Islam, Departemen Pendidikan Nasional. (PT. Ichtiar Baru Van Hoeve. Jakarta. 2003). h. 309 [11]. httphabibah-kolis.blogspot.com200801hasyim-asyari.html [12]. Ensiklopedi Tokoh Pendidikan Islam, (PT. Ichtiar Baru Van Hoeve. 2005). h. 218 [13]. httphabibah-kolis.blogspot.com200801hasyim-asyari.html [14]. httphabibah-kolis.blogspot.com200801hasyim-asyari.html [15]. httppesantren.tebuireng.netindex.phppilih=news&mod=yes&aksi=lihat&id=30.htm [16]. httpriwayat.wordpress.com20080707etika-pendidik-islam-menurut-kh-hasyim-asy%E2%80%99ari.htm [17]. A. Mujib, Dkk, Op Cit. h. 320 [18]. Ensiklopedia Islam, Op Cit. h. 309 [19]. Nuril M Nasir Alumnus Ma’had al-Islamiyyah as-Salafiyyah asy-Syafi’iyah, Pamekasan, Madura httpopiniindonesia.comopinip=content&id=155&edx=TWVuZ2dlcmFra2FuIEVrb25vbWkgV2FyZ2EgTlU=.htm [20]. Dewan Redaksi Ensiklopedia Islam. Ensiklopedia Islam, (Cet IV. PT. Ichtiar Baru Van Hoeve. Jakarta 1997). h. 102 [21]. httppesantren.tebuireng.netindex.phppilih=news&mod=yes&aksi=lihat&id=30.htm [22]. A. Mujib, Dkk, Op Cit. h. 321 12- Mei- 2009 - Ditulis oleh udhiexz | Tokoh Islam | PEMIKIRAN K. H. HASYIM ASY’ARI K.H.MUHAMMAD HASYIM ASY’ARI Riwayat Hidup dan Pemikirannya dalam Bidang Pendidikan Abstrak Sosok ulama yang satu ini sudah begitu akrab di telinga umat Islam Indonesia khususnya, karena beliau merupakan pendiri organisasi Islam terbesar di Indonesia, Nahdlatul Ulama. Akan tetapi ketokohan dan keharuman nama beliau bukan hanya karena aktivitas dakwah beliau sebagai pendiri NU, melainkan juga karena beliau termasuk pemikir dan pembaharu Pendidikan Islam. Dilahirkan dari keluarga elit kiai di Jombang, K.H.M.Hasyim Asy’ari pernah belajar di berbagai pesantren di Jawa sebelum melanjutkan pendidikan ke tanah Hijaz. Kemudian kembali ke Indonesia dan mendirikan pesantren Tebuireng Jombang yang terkenal dengan ilmu haditsnya. Kedalaman ilmu, dan pemikirannya dalam pendidikan sangat brilian, sampai-sampai para kiai di Jawa memberinya gelar “Hadratus Syekh” yang berarti “Tuan Guru Besar”. Kata kunci: K. H. Hasyim Asy’ari sebagai tokoh NU, pemikirannya, bidang pendidikan. A. Pendahuluan Sejak pertengahan abad ke-19, telah banyak para kawula muda Indonesia yang belajar di Mekkah dan Madinah, untuk menekuni agama Islam. Di pusat-pusat studi di Timur Tengah, terutama di Mekkah, banyak bertebaran berbagai literatur ke-Islaman. Realitas ini amat memungkinkan bagi mereka yang belajar di sana, untuk mencapai tingkat pengetahuan yang lebih luas serta pandangan yang lebih terbuka mengenai sosok Islam. Di antara mereka yang berhasil gemilang di dalam mengkaji Islam adalah Syekh Nawawi al Bantani dari Banten Jawa Barat, Syekh Mahfudz Attarmisi dari Pacitan Jawa Timur, serta Syekh Ahmad Chatib Sambas dari Kalimantan. Kesuksesan mereka ini ditandai dengan kedalaman ilmu yang mereka miliki, yang bukan saja diakui oleh masyarakat Tanah Suci Mekkah melainkan juga diakui oleh masyarakat Arab pada umumnya.[1] Generasi berikutnya yang juga merupakan murid langsung dari mereka itu antara lain. Muhammad Hasyim Asy’ari. Hasyim Asy’ari yang haus akan ilmu pengetahuan, belajar dari pesantren ke pesantren di daerah Jawa, dan terus belajar ke Mekkah kurang lebih 7 tahun. Zamakhsyari Dhofier melukiskan pribadi Hasyim Asy’ari sebagai seorang yang memiliki kedalaman ilmu secara luar biasa, sehingga para kiai di Jawa lebih suka menyebutnya Hadratus Syekh yang berarti “Tuan Guru Besar” melalui tangan Hadratus Syekh inilah lahir ulama-ulama terkemuka di Jawa yang nyaris seluruhnya menjadi pendiri dan pengasuh pesantren di daerahnya masing-masing. Hasyim Asy’ari adalah seorang kiai yang pemikiran dan sepak terjangnya berpengaruh dari Aceh sampai Maluku, bahkan sampai ke Melayu. Santri-santri ada yang dari Ambon, Sulawesi, Kalimantan, Sumatera dan Aceh, bahkan ada beberapa orang dari Kuala Lumpur. Beliau terkenal orang yang alim dan adil, selalu mencari kebenaran, baik kebenaran dunia maupun kebenaran akhirat. Semasa hidupnya beliau diberi kedudukan sebagai Rais Akbar NU, suatu jabatan yang hanya diberikan kepada Hasyim Asy’ari satu-satunya. Bagi ulama lain yang menjabat jabatan tersebut, tidak lagi menyandang sebutan Rais Akbar melainkan Rais Am. Hal ini karena ulama lain yang menggantikannya merasa lebih rendah dibandingkan Hasyim Asy’ari.[2] Pemikiran Hasyim Asy’ari dalam bidang Pendidikan lebih banyak ditinjau dari segi etika dalam pendidikan. Etika dalam pendidikan banyak diungkapkan oleh Imam Al-Ghazali dalam Ihya Ulumiddin pada Bagian adab kesopanan pelajar dan pengajar. Dalam dunia pendidikan sekarang, banyak disinggung dalam kaitannya dengan prinsip-prinsip pelaksanaan pendidikan. dan para ahli psikologi pendidikan, menyinggungnya dalam kepribadian yang efektif bagi pelajar dan mengajar. Di antara adab pelajar menurut Al-Ghazali adalah: mendahulukan kesucian batin dari kerendahan budi dan sifat-sifat tercela, jangan menyombongkan diri dan jangan menentang guru, memulai belajar dalam bidang ilmu yang lebih penting, dan menghiasi diri dengan sifat-sifat utama. Sedangkan di antara adab seorang pengajar adalah: memulai pelajaran dengan basmalah, mempunyai rasa belas-kasihan kepada murid-murid dan memperlakukannya sebagai anak sendiri, mengikuti jejak Rasul, mengajar bukan untuk mencari upah tetapi semata-mata karena ibadah pada Allah, mengamalkan sepanjang ilmunya, jangan perkataannya membohongi perbuatannya.[3] Pemikiran Hasyim Asy’ari sendiri dalam hal ini boleh jadi diwarnai dengan keahliannya dalam bidang hadits, dan pemikirannya dalam bidang tasawuf dan fiqh. Serta didorong pula oleh situasi pendidikan yang ada pada saat itu, yang mulai mengalami perubahan dan perkembangan yang pesat, dari kebiasaan lama (tradisonal) yang sudah mapan ke dalam bentuk baru (modern) akibat pengaruh sistem pendidikan Barat (Imperialis Belanda) yang diterapkan di Indonesia. B. Riwayat Hidup K.H.Muhammad Hasyim Asy’ari Hasyim Asy’ari lahir di desa Nggedang sekitar dua kilometer sebelah Timur Kabupaten Jombang, Jawa Timur. Pada hari Selasa kliwon, tanggal 24 Dzulhijjah 1287 atau bertepatan tanggal 14 Pebruari 1871 M. Nama lengkapnya adalah Muhammad Hasyim ibn Asy’ari ibn Abd. Al Wahid ibn Abd. Al Halim yang mempunyai gelar Pangeran Bona ibn Abd. Al Rahman Ibn Abd. Al Aziz Abd. Al Fatah ibn Maulana Ushak dari Raden Ain al Yaqin yang disebut dengan Sunan Giri.[4] Dipercaya pula bahwa mereka adalah keturunan raja Muslim Jawa, Jaka Tinggir dan raja Hindu Majapahit, Brawijaya VI. Jadi Hasyim Asy’ari juga dipercaya keturunan dari keluarga bangsawan.[5] Ibunya, Halimah adalah putri dari kiai Ustman, guru Asy’ari sewaktu mondok di pesantren. Jadi, ayah Hasyim adalah santri pandai yang mondok di kiai Ustman, hingga akhirnya karena kepandaian dan akhlak luhur yang dimiliki, ia diambil menjadi menantu dan dinikahkan dengan Halimah. Sementara kiai Ustman sendiri adalah kiai terkenal dan juga pendiri pesantren Gedang yang didirikannya pada akhir abad ke-19. Hasyim Asy’ari adalah anak ketiga dari sepuluh bersaudara, yaitu Nafiah, Ahmad Saleh, Radiah, Hassan, Anis, Fatanah, Maimunah, Maksum, Nahrawi, dan Adnan. Dari lingkungan pesantren inilah Hasyim Asy’ari mendapat didikan awal tentang berbagai hal yang berkaitan dengan ke-Islaman. Hingga usia lima tahun, Hasyim mendapat tempaan dan asuhan orangtua dan kakeknya di pesantren Gedang. Mula-mula ia belajar pada ayahnya sendiri, lalu bergabung bersama santri lain untuk memperdalam ilmu agama dan pesantren itu para santri mengamalkan ajaran agama dan belajar berbagai cabang ilmu agama Islam. Suasana ini tidak diragukan lagi mempengaruhi karakter Hasyim Asy’ari yang sederhana dan rajin belajar. Minat bacanya sangat tinggi, hingga yang dibaca bukan hanya buku-buku pelajaran dengan literatur-leteratur Islam, tetapi juga buku-buku lain dan umum. Pada tahun 1876, ketika Hasyim Asy’ari berumur 6 tahun, ayahnya mendirikan pesantren di sebelah Selatan Jombang, suatu pengalaman yang di masa mendatang mempengaruhi beliau untuk kemudian mendirikan pesantren sendiri. Dari sini dapat dilihat bahwa kehidupan masa kecilnya di lingkungan pesantren berperan besar dalam pembentukan wataknya yang haus ilmu pengetahuan dan kepeduliannya pada pelaksanaan ajaran-ajaran agama dengan baik. Menurut penuturan ibunya, tanda kecerdasan dan ketokohan Hasyim Asy’ari sudah tampak saat ia masih berada dalam kandungan. Di samping masa kandung yang lebih lama dari umumnya kandungan, ibunya juga pernah bermimpi melihat bulan jatuh dari langit ke dalam kandungannya.[6] Mimpi tersebut kiranya bukanlah isapan jempol dan kembang tidur belaka, sebab ternyata tercatat dalam sejarah, bahwa pada usianya yang masih sangat muda, 13 tahun, Hasyim Asy’ari sudah berani menjadi guru pengganti (badal) di pesantren untuk mengajar santri-santri yang tidak jarang lebih tua dari umurnya sendiri. Serta di kemudian hari kita saksikan sepak terjang dan perjuangannya di berbagai bidang. Pada usia muda Hasyim Asy’ari mulai melakukan pengembaraan ke berbagai pesantren di luar daerah Jombang. Pada awalnya, ia menjadi santri di pesantren Wonokojo di Probolinggo, kemudian berpindah ke pesantren Langitan, Tuban. Dari Langitan santri yang cerdas tersebut berpindah lagi ke pesantren Trenggilis, hingga pesantren Kademangan Bangkalan, di Madura sebuah pesantren yang diasuh kyai Khalil. Terakhir sebelum belajar ke Mekkah, ia sempat nyantri dan tinggal lama di pesantren Siwalan Panji, Sidoarjo, di bawah asuhan kiai Ya’qub, sampai akhirnya diambil menantu oleh kiai Ya’qub, dinikahkan dengan anaknya yang bernama Khadijah tahun 1892. Tidak berapa lama kemudian ia beserta isteri dan mertuanya berangkat haji ke Mekkah yang dilanjutkan dengan belajar di sana. Modal pengetahuan agama selama nyantri di tanah air memudahkan Hasyim memahami pelajaran selama di Mekkah. Akan tetapi setelah isterinya meninggal karena melahirkan, menyebabkannya kembali ke tanah air. Rasa haus yang tinggi akan ilmu pengetahuan membawa Hasyim Asy’ari berangkat lagi ke tanah suci Mekkah tahun berikutnya. Kali ini ia ditemani saudaranya Anis. Dan ia menetap di sana kurang lebih tujuh tahun dan berguru pada sejumlah ulama, di antaranya Syaikh Ahmad Amin al Aththar, Sayyid Sultan ibn Hasyim, Sayyid Abdullah al Zawawi, Syaikh Shaleh Bafadhal dan Syaikh Sultan Hasyim Dagastani.[7] Minatnya begitu tinggi terhadap ilmu pengetahuan, terutama ilmu hadits dan tasawuf. Hal ini yang membuat Hasyim di kemudian hari senang mengajarkan hadits dan tasawuf. Pada masa-masa akhir di Mekkah beliau sempat memberikan pengajaran kepada orang lain yang memerlukan bimbingannya, dan ini yang menjadi bekal tersendri yang kemudian hari diteruskan setelah kembali ke tanah air. Pada tahun 1899/1900 ia kembali ke Indonesia dan mengajar di pesantren ayahnya dan kakeknya, hingga berlangsung beberapa waktu. Masa berikutnya Hasyim menikah lagi dengan putri kiai Ramli dari Kemuning (Kediri) yang bernama Nafiah, setelah sekian lama menduda. Mulai itu beliau diminta membantu mengajar di pesantren mertuanya di Kemuning, baru kemudian mendirikan pesantren sendiri di daerah sekitar Cukir, pesantren Tebuireng di Jombang, pada tanggal 6 Pebruari 1906. Pesantren yang baru didirikan tersebut tidak berapa lama berkembang menjadi pesantren yang terkenal di Nusantara, dan menjadi tempat menggodok kader-kader ulama wilayah Jawa dan sekitarnya. Sejak masih di pondok, ia telah dipercaya untuk membimbing dan mengajar santri baru. Ketika di Mekkah, ia juga sempat mengajar. Demikian pula ketika kembali ke tanah air, diabdikannya seluruh hidupnya untuk agama dan ilmu. Kehidupannya banyak tersita untuk para santrinya. Ia terkenal dengan disiplin waktu (istiqamah). Tidak banyak para ulama dari kalangan tradisional yang menulis buku. Akan tetapi tidak demikian dengan Hasyim Asy’ari, tidak kurang dari sepuluh kitab disusunnya, antara lain: 1. Adab al Alim wa al Muta’allim fima Yahtaj ilah al Muta’alim fi Ahuwal Ta’allum wa ma Yataqaff al Mu’allim fi Maqamat Ta’limih. 2. Ziyadat Ta’liqat, Radda fiha Mandhumat al Syaikh “Abd Allah bin Yasin al Fasurani Allati Bihujubiha “ala Ahl Jam’iyyah Nahdhatul Ulama. 3. Al Tanbihat al Wajibat liman Yashna al Maulid al Munkarat 4. Al Risalat al Jamiat, Sharh fiha Ahmaal al Mauta wa Asirath al sa’at ma’bayan Mafhum al Sunnah wa al Bih’ah. 5. Al Nur al Mubin fi Mahabbah Sayyid al Mursalin, bain fihi Ma’na al Mahabbah Libasul Allah wa ma Yata’allaq biha Man Ittiba’iha wa Ihya al Sunnahih. 6. Hasyiyah ‘ala Fath al Rahman bi Syarth Risalat al Wali Ruslan li Syaikh al Islam Zakaria al Ansyari. 7. Al Duur al Muntasirah fi Masail al Tiss’I Asyrat, Sharth fiha Masalat al Thariqah wa al Wilayah wa ma Yata’allq bihima min al Umur al Muhimmah li ahl thariqah. 8. Al Ribyan fi al Nahy ‘an Muqathi’ah al Ihwan, bain fih Ahammiyat Shillat al Rahim wa Dhurrar qatha’iha. 9. Al Risalah al Tauhidiyah, wahiya Risalah Shaghirat fi Bayan ‘Aqidah Ahl Sunnah wa al Jamaah. 10. Al Walaid fi Bayan ma Yajib min al’Aqaid. Di samping bergerak dalam dunia pendidikan, Hasyim Asy’ari menjadi perintis dan pendiri organisasi kemasyarakatan NU (Nahdhatul Ulama), sekaligus sebagai Rais Akbar. Pada bagian lain, ia juga bersikap konfrontatif terhadap penjajah Belanda. Ia, misalnya menolak menerima penghargaan dari pemerintah Belanda. Bahkan pada saat revolusi fisik, ia menyerukan jihad melawan penjajah dan menolak bekerja sama dengannya. Sementara pada masa penjajahan Jepang, ia sempat ditahan dan diasingkan ke Mojokerta.[8] Hasyim Asy’ari meninggal pada tanggal 7 Ramadhan 1366 H bertepatan dengan 25 Juli 1947 M di Tebuireng Jombang dalam usia 79 tahun, karena tekanan darah tinggi. Hal ini terjadi setelah beliau mendengar berita dari Jenderal Sudirman dan Bung Tomo bahwa pasukan Belanda di bawah pimpinan Jenderal Spoor telah kembali ke Indonesia dan menang dalam pertempuran di Singosari (Malang) dengan meminta banyak korban dari rakyat biasa. Beliau sangat terkejut dengan peristiwa itu, sehingga terkena serangan stroke yang menyebabkan kematiannya.[9] C. Pemikiran Hasyim Asy’ari Dalam Bidang Pendidikan Hasyim Asy’ari yang dilahirkan dan dibesarkan dalam lingkungan pesantren, serta banyak menuntut ilmu dan berkecimpung secara langsung di dalamnya, di lingkungan pendidikan agama Islam khususnya. Dan semua yang dialami dan dirasakan beliau selama itu menjadi pengalaman dan mempengaruhi pola pikir dan pandangannya dalam masalah-masalah pendidikan. Salah satu karya monumental Hasyim Asy’ari yang berbicara tentang pendidikan adalah kitabnya yang berjudul Adab al Alim wa al Muta’allim fima Yahtaj ilah al Muta’alim fi Ahuwal Ta’allum wama Yataqaff al Mu’allim fi Maqamat Ta’limih, namun dalam penulisan ini kami tidak menemukakan kitab aslinya dan akhirnya banyak mengambil dari tulisan Samsul Nizar dalam bukunya Filsafat Pendidikan Islam, dan buku-buku yang lain sebagai penunjang. Pembahasan terhadap masalah pendidikan lebih beliau tekankan pada masalah etika dalam pendidikan, meski tidak menafikan beberapa aspek pendidikan lainnya. Di antara pemikiran beliau dalam masalah pendidikan adalah: a. Signifikansi Pendidikan Beliau menyebutkan bahwa tujuan utama ilmu pengetahan adalah mengamalkan. Hal itu dimaksudkan agar ilmu yang dimiliki menghasilkan manfaat sebagai bekal untuk kehidupan akhirat kelak. Terdapat dua hal yang harus diperhatikan dalam menuntut ilmu, yaitu : pertama, bagi murid hendaknya berniat suci dalam menuntut ilmu, jangan sekali-kali berniat untuk hal-hal duniawi dan jangan melecehkannya atau menyepelikannya. Kedua, bagi guru dalam mengajarkan ilmu hendaknya meluruskan niatnya terlebih dahulu, tidak mengharapkan materi semata. Agaknya pemikiran beliau tentang hal tersebut di atas, dipengaruhi oleh pandangannya akan masalah sufisme (tasawuf), yaitu salah satu persyaratan bagi siapa saja yang mengikuti jalan sufi menurut beliau adalah “niat yang baik dan lurus”. Belajar menurut Hasyim Asy’ari merupakan ibadah untuk mencari ridha Allah, yang mengantarkan manusia untuk memperoleh kebahagiaan dunia dan akhirat. Karenanya belajar harus diniatkan untuk mengembangkan dan melestarikan nilai-nilai Islam, bukan hanya untuk sekedar menghilangkan kebodohan.[10] Pendidikan hendaknya mampu menghantarkan umat manusia menuju kemaslahatan, menuju kebahagiaan dunia dan akhirat. Pendidikan hendaknya mampu mengembangkan serta melestarikan nilai-nilai kebajikan dan norma-norma Islam kepada generasi penerus umat, dan penerus bangsa. Umat Islam harus maju dan jangan mau dibodohi oleh orang lain, umat Islam harus berjalan sesuai dengan nilai dan norma-norma Islam. b. Tugas dan Tanggung Jawab Murid 1) Etika yang harus diperhatikan dalam belajar - Membersihkan hati dari berbagai gangguan keimanan dan keduniaan - Membersihkan niat, tidak menunda-nunda kesempatan belajar, bersabar dan qanaah - Pandai mengatur waktu - Menyederhanakan makan dan minum - Berhati-hati (wara’) - Menghindari kemalasan - Menyedikitkan waktu tidur selagi tidak merusak kesehatan - Meninggalkan hal-hal yang kurang berfaedah.[11] Dalam hal ini terlihat, bahwa Hasyim Asy’ari lebih menekankan kepada pendidikan ruhani atau pendidikan jiwa, meski demikian pendidikan jasmani tetap diperhatikan, khususnya bagaimana mengatur makan, minum, tidur dan sebagainya. Makan dan minum tidak perlu terlalu banyak dan sederhana, seperti anjuran Rasulullah Muhammad saw. Serta jangan banyak tidur, dan jangan suka bermalas-malasan. Banyakkan waktu untuk belajar dan menuntut ilmu pengetahuan, isi hari-hari dan waktu yang ada dengan hal-hal yang bermanfaat. 2) Etika seorang murid terhadap guru - Hendaknya selalu memperhatikan dan mendengarkan guru - Memilih guru yang wara’ - Mengikuti jejak guru - Memuliakan dan memperhatikan hak guru - Bersabar terdapat kekerasan guru - Berkunjung pada guru pada tempatnya dan minta izin lebih dulu - Duduk dengan rapi bila berhadapan dengan guru - Berbicara dengan sopan dan lembut dengan guru - Dengarkan segala fatwa guru dan jangan menyela pembicaraannya - Gunakan anggota kanan bila menyerahkan sesuatu pada guru.[12] Etika seperti tersebut di atas, masih banyak dijumpai pada pendidikan pesantren sekarang ini, akan tetapi etika seperti itu sangat langka di tengah budaya kosmopolit. Di tengah-tengah pergaulan sekarang, guru dipandang sebagai teman biasa oleh murid-murid, dan tidak malu-malu mereka berbicara lebih nyaring dari gurunya. Terlihat pula pemikiran yang ditawarkan oleh Hasyim Asy’ari lebih maju. Hal ini, misalnya terlihat dalam memilih guru hendaknya yang profesional, memperhatikan hak-hak guru, dan sebagainya. 3) Etika murid terhadap pelajaran - Memperhatikan ilmu yang bersifat fardhu ‘ain - Berhati-hati dalam menanggapi ikhtilaf para ulama - Mendiskusikan dan menyetorkan hasil belajar pada orang yang dipercaya - Senantiasa menganalisa dan menyimak ilmu - Bila terdapat hal-hal yang belum dipahami hendaknya ditanyakan - Pancangkan cita-cita yang tinggi - Kemanapun pergi dan dimanapun berada jangan lupa membawa catatan - Pelajari pelajaran yang telah dipelajari dengan continue (istiqamah) - Tanamkan rasa antusias dalam belajar.[13] Penjelasan tersebut di atas seakan memperlihatkan akan sistem pendidikan di pesantren yang selama ini terlihat kolot, hanya terjadi komunikasi satu arah, guru satu-satunya sumber pengajaran, dan murid hanya sebagai obyek yang hanya berhak duduk, dengar, catat dan hafal (DDCH) apa yang dikatakan guru. Namun pemikiran yang ditawarkan oleh Hasyim Asy’ari lebih terbuka, inovatif dan progresif. Beliau memberikan kesempatan para santri untuk mengambil dan mengikuti pendapat para ulama, tapi harus hati-hati dalam menanggapi ikhtilaf para ulama. Hal tersebut senada dengan pemikiran beliau tentang masalah fiqh, beliau meminta umat Islam untuk berhati-hati pada mereka yang mengklaim mampu menjalankan ijtihad, yaitu kaum modernis, yang mengemukakan pendapat mereka tanpa memiliki persayaratan yang cukup untuk berijtihad itu hanya berdasarkan pertimbangan pikiran semata. Beliau percaya taqlid itu diperbolehkan bagi sebagian umat Islam, dan tidak boleh hanya ditujukan pada mereka yang mampu melakukan ijtihad.[14] c. Tugas Dan Tanggung Jawab Guru 1) Etika seorang guru - Senantiasa mendekatkan diri pada Allah - Takut pada Allah, tawadhu’, zuhud dan khusu’ - Bersikap tenang dan senantiasa berhati-hati - Mengadukan segala persoalan pada Allah - Tidak menggunakan ilmunya untuk meraih dunia - Tidak selalu memanjakan anak - Menghindari tempat-tempat yang kotor dan maksiat - Mengamalkan sunnah Nabi - Mengistiqamahkan membaca al- Qur’an - Bersikap ramah, ceria dan suka menabur salam - Menumbuhkan semangat untuk menambah ilmu - Membiasakan diri menulis, mengarang dan meringkas.[15] Catatan yang menarik dan perlu dikedepankan dalam membahas pemikiran dan pandangan yang ditawarkan oleh Hasyim Asy’ari adalah etika atau statement yang terakhir, dimana guru harus membiasakan diri menulis, mengarang dan meringkas, yang pada masanya jarang sekali dijumpai. Dan hal ini beliau buktikan dengan banyaknya kitab hasil karangan atau tulisan beliau. Betapa majunya pemikiran Hasyim Asy’ari dibanding tokoh-tokoh lain pada zamannya, bahkan beberapa tahun sesudahnya. Dan pemikiran ini ditumbuh serta diangkat kembali oleh pemikir pendidik zaman sekarang ini, yaitu Harun Nasution, yang mengatakan hendaknya para dosen-dosen di Perguruan Tinggi Islam khususnya agar membiasakan diri untuk menulis. 2) Etika guru dalam mengajar - Jangan mengajarkan hal-hal yang syubhat - Mensucikan diri, berpakaian sopan dan memakai wewangian - Berniat beribadah ketika mengajar, dan memulainya dengan do’a - Biasakan membaca untuk menambah ilmu - Menjauhkan diri dari bersenda gurau dan banyak tertawa - Jangan sekali-kali mengajar dalam keadaan lapar, mengantuk atau marah - Usahakan tampilan ramah, lemah lembut, dan tidak sombong - Mendahulukan materi-materi yang penting dan sesuai dengan profesional yang dimiliki - Menasihati dan menegur dengan baik jika anak didik bandel - Bersikap terbuka terhadap berbagai persoalan yang ditemukan - Memberikan kesempatan pada anak didik yang datangnya terlambat dan ulangilah penjelasannya agar tahu apa yang dimaksudkan - Beri anak kesempatan bertanya terhadap hal-hal yang belum dipahaminya.[16] Terlihat bahwa apa yang ditawarkan Hasyim Asy’ari lebih bersifat pragmatis, artinya, apa yang ditawarkan beliau berangkat dari praktik yang selama ini dialaminya. Inilah yang memberikan nilai tambah dalam konsep yang dikemukakan oleh Bapak santri ini. Terlihat juga betapa beliau sangat memperhatikan sifat dan sikap serta penampilan seorang guru. Berpenampilan yang terpuji, bukan saja dengan keramahantamahan, tetapi juga dengan berpakaian yang rapi dan memakai minyak wangi. Agaknya pemikiran Hasyim Asy’ari juga sangat maju dibandingkan zamannya, ia menawarkan agar guru bersikap terbuka, dan memandang murid sebagai subyek pengajaran bukan hanya sebagai obyek, dengan memberi kesempatan kepada murid-murid bertanya dan menyampaikan berbagai persoalan di hadapan guru. 3) Etika guru bersama murid - Berniat mendidik dan menyebarkan ilmu - Menghindari ketidak ikhlasan - Mempergunakan metode yang mudah dipahami anak - Memperhatikan kemampuan anak didik - Tidak memunculkan salah satu peserta didik dan menafikan yang lain - Bersikap terbuka, lapang dada, arif dan tawadhu’ - Membantu memecahkan masalah-masalah anak didik - Bila ada anak yang berhalangan hendaknya mencari ihwalnya.[17] Kalau sebelumnya terlihat warna tasawufnya, khususnya ketika membahas tentang tugas dan tanggung jawab seorang pendidik. Namun kali ini gagasan-gagasan yang dilontarkan beliau berkaitan dengan etika guru bersama murid menunjukkan keprofesionalnya dalam pendidikan. Hal ini dapat dilihat dari rangkuman gagasan yang dilontarkannya tentang kompetensi seorang pendidik, yang utamanya kompetensi profesional. Hasyim Asy’ari sangat menganjurkan agar seorang pendidik atau guru perlu memiliki kemampuan dalam mengembangkan metode dan memberi motivasi serta latihan-latihan yang bersifat membantu murid-muridnya memahami pelajaran. Selain itu, guru juga harus memahami murid-muridnya secara psikologi, mampu memahami muridnya secara individual dan memecahkan persoalan yang dihadapi murid, mengarahkan murid pada minat yang lebih dicendrungi, serta guru harus bersikap arif. Jelas pada saat Hasyim Asy’ari melontarkan pemikiran ini, ilmu pendidikan maupun ilmu psikologi pendidikan yang sekarang beredar dan dikaji secara luas belum tersebar, apalagi di kalangan pesantren. Sehingga ke-genuin-an pemikiran beliau patut untuk dikembangkan selaras dengan kemajuan dunia pendidikan. d. Etika Terhadap Buku, Alat Pelajaran dan Hal-hal Lain Yang Berkaitan Dengannya Satu hal yang menarik dan terlihat beda dengan materi-materi yang biasa disampaikan dalam ilmu pendidikan umumnya, adalah etika terhadap buku dan alat-alat pendidikan. Kalaupun ada etika untuk itu, namun biasanya hanya bersifat kasuistik dan seringkali tidak tertulis, dan seringkali juga hanya dianggap sebagai aturan yang umum berlaku dan cukup diketahui oleh masing-masing individu. Akan tetapi bagi Hasyim Asy’ari memandang bahwa etika tersebut penting dan perlu diperhatikan. Di antara etika tersebut adalah: - Menganjurkan untuk mengusahakan agar memiliki buku - Merelakan dan mengijinkan bila ada kawan meminjam buku pelajaran, sebaliknya bagi peminjam menjaga barang pinjamannya - Memeriksa dahulu bila membeli dan meminjamnya - Bila menyalin buku syari’ah hendaknya bersuci dan mengawalnya dengan basmalah, sedangkan bila ilmu retorika atau semacamnya, maka mulailah dengan hamdalah dan shalawat Nabi.[18] Kembali tampak kejelian dan ketelitian beliau dalam melihat permasalahan dan seluk beluk proses belajar mengajar. Etika khusus yang diterapkan untuk mengawali suatu proses belajar adalah etika terhadap buku yang dijadikan sumber rujukan, apalagi kitab-kitab yang digunakan adalah kitab “kuning” yang mempunyai keistimewaan atau kelebihan tersendiri. Agaknya beliau memakai dasar epistemologis, ilmu adalah Nur Allah, maka bila hendak mempelajarinya orang harus beretika, bersih dan sucikan jiwa. Dengan demikian ilmu yang dipelajari diharapkan bermanfaat dan membawa berkah. Pemikiran seperti yang dituangkan oleh Hasyim Asy’ari itu patut untuk menjadi perhatian pada masa sekarang ini, apakah itu kitab “kuning” atau tidak, misalnya kitab “kuning” yang sudah diterjemahkan, atau buku-buku sekarang yang dianggap sebagai barang biasa, kaprah dan ada di mana-mana. Namun untuk mendapatkan hasil yang bermanfaat dalam belajar etika semacam di atas perlu diterapkan dan mendapat perhatian. Demikian sebagian dari pemikiran mengenai pendidikan yang dikemukan oleh Hasyim Asy’ari. Kelihatannya pemikiran tentang pendidikan ini sejalan dengan apa yang sebelumnya telah dikemukakan oleh Imam Ghazali, misalnya saja, Hasyim Asy’ari mengemukakan bahwa tujuan utama pendidikan itu adalah mengamalkannya, dengan maksud agar ilmu yang dimiliki menghasilkan manfaat sebagai bekal untuk kehidupan di akhirat kelak. Imam Ghazali juga mengemukakan bahwa pendidikan pada prosesnya haruslah mengacu kepada pendekatan diri kepada Allah dan kesempurnaan insani. Oleh karena itu tujuan pendidikan menurut al-Ghazali adalah “tercapainya kemampuan insani yang bermuara pada pendekatan diri kepada Allah, dan kesempurnaan insani yang bermuara pada kebahagiaan dunia dan akhirat“.[19]Dan senada pula dengan pendapat Ahmad D.Marimba bahwa, “pendidikan adalah bimbingan atau pimpinan secara sadar oleh si pendidik terhadap perkembangan jasmani dan rohani si terdidik menuju terbentuknya kepribadian yang utama”.[20] Begitu juga pemikiran Hasyim Asy’ari mengenai niat orang orang yang menuntut ilmu dan yang mengajarkan ilmu, yaitu hendaknya meluruskan niatnya lebih dahulu, tidak meng-harapkan hal-hal duniawi semata, tapi harus niat ibadah untuk mencari ridha Allah. Demikian juga dengan al Ghazali yang berpendapat bahwa tujuan murid menuntut ilmu adalah mendekatkan diri kepada Allah dan mensucikan batinnya serta memperindah dengan sifat-sifat yang utama. Dan janganlah menjadikan ilmu sebagai alat untuk mengumpulkan harta kekayaan, atau untuk mendapatkan kelezatan hidup dan lain sebagainya. Akan tetapi tujuan utama adalah untuk kebahagiaan akhirat. Dan mengenai guru al-Ghazali lebih keras, bahwa guru mengajar tidak boleh digaji.[21] Mengenai etika seorang murid yang dikemukakan Hasyim Asy’ari sejalan dengan pendapat al-Ghazali yang mengatakan “hendaknya murid mendahulukan kesucian batin dan kerendahan budi dari sifat-sifat tercela… seperti marah, hawa nafsu, dengki, busuk hati, takabur, ujub dan sebagainya”.[22] D. Penutup K.H.Muhammad Hasyim Asy’ari dilahirkan dari keturunan eliet kiai (pesantren) pada tanggal 24 Zulhijjah 1287H bertepatan 14 Pebruari 1871M, tepatnya sebelah Timur Jombang Jawa Timur. Suasana kehidupan pesantren sangat mem-pengaruhi pembentukan karakter Hasyim Asy’ari yang sederhana dan rajin belajar, belajar dari pesantren ke pesantren di Jawa sampai ke Tanah Hijaz. Sebagai pendidik merupakan bagian yang yang terpisahkan dari perjalanan hidupnya sejak usia muda. Setelah mengajar keliling dari pesantren orangtua hingga mertua, pada tahun 1899 Hasyim Asy’ari mendirikan pesantren sendiri, mewujudkan cita-citanya di daerah Tebuireng Jombang, Jawa Timur. Pemikiran Hasyim Asy’ari dalam bidang pendidikan lebih menekankan pada masalah etika dalam pendidikan , meski tidak menafikan beberapa aspek pendidikan lainnya. Dan dalam hal ini banyak dipengaruh dengan keahliannya pada bidang Hadits, dan pemikirannya dalam bidang tasawuf dan fiqih yang sejalan dengan teologi al Asy’ari dan al Maturidi. Juga searah dengan pemikiran al-Ghazali, yang lebih menekankan pada pendidikan rohani. Misalnya belajar dan mengajar harus dengan ikhlas, semata-mata karena Allah, bukan hanya untuk kepentingan dunia tetapi juga untuk kebahagian di akhirat. Dan untuk mencapainya seseorang yang belajar atau mengajar harus punya etika, punya adab dan moral, baik si murid ataupun si guru sendiri. Daftar Pustaka Ahmad D. Marimba, Pengantar Filsafat Pendidikan Islam, (Bandung: al Ma’arif, 1989). Al- Ghazali, Ihya Ulumuddin, Juz I, (Singapure: Sulaiman Mar’ie, t.th.) Asma Hasan Fahmi, Sejarah dan Filsafat Pendididkan Islam, (Jakarta: Bulan Bintang,1979). Fathiyah Hasan Sulaiman, Mazahib fi at Tarbiyah Bahtsun fi al Mazahibi at Tarbiyah ‘ind al Ghazali. Alih bahasa Said Agil Husin al Munawar dan Hadri Hasan, (Semarang: Toha Putra, 1975). Khairul Fathoni, Muhammad Zen, NU Pasca Khittah, Porspek Ukhuwah Dengan Muhammadiyah, (Yogyakarta: Media Widya Mandala, 1992). Lathiful Khuluq, Kebangkitan Ulama , Biografi K.H.Hasyim Asy’ari, (Yogyakarta: LKIS, 2000). Maksum Machfoedz, Kebangkitan Ulama dan Bangkitnya Ulama, (Surabaya: Yayasan Kesatuan Umat, 1982). Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Ciputat Press, 2002). Pradjata Dirdjosanjoto, Memelihara Umat, Kiai Pesantren-Kiai Langgar di Jawa, (Yogyakarta: UKIS, 1999). Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren, (Jakarta: LP3ES, 1982). *Penulis adalah Dosen Fakultas Tarbiyah dan sedang mengikuti Program Pasca Sarjana di IAIN Antasari Banjarmasin. [1]Zamakhsyari Dhotier, Tradisi Pesantren, (Jakarta: LP3ES, 1982), h.85-88. [2]Khoirul Fathoni & Muhamad Zen, NU Pasca Khittah, (Yogyakarta: Media Widia Mandala, 1992),h.25 [3]Al-Ghazali, Ihya Ulumuddin, Juz I, (Singapura: Sulaiman Mar’ie, t.th.), h.45-50. [4]Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Ciputat Press, 2002,) h.152. [5]Lathiful Khuluq, Kebangkitan Ulama, Biografi K.H.Hasyim Asy’ari, (Yogyakarta: LKIS, 2000), h.14. [6]Ibid, h.16. [7]Ibid. h.18. [8]Samsul Nizar, op.cit., h.54. [9]Lathiful Khuluq, op.cit, h.21. [10]Samsul Nizar, op. cit., h.155-157. [11]Ibid., h.158. [12]Ibid, h.159. [13]Ibid., h.161. [14]Lathiful Khuluq, op. cit, h.55-61. [15]Samsul Nizar, op. cit, h.162. [16]Ibid., h. 163-165. [17]Ibid., h.165-166. [18]Ibid., h.167-168. [19]Fathiyah Hasan Sulaiman, Mazahib fi at Tarbiyah Bahtsun fi al Mazahibi at Tarbiyah ‘ind al Ghazali. Alih bahasa Said Agil Husin al Munawar dan Hadri Hasan, (Semarang: Toha Putra, 1975), h.18. [20]Ahmad D. Marimba, Pengantar Filsafat Pendidikan Islam, (Bandung: al Ma’arif, 1989), h.19. [21]Asma Hasan Fahmi, Sejarah dan Filsafat Pendididkan Islam, (Bandung: Bulan Bintang, 1979), h.167. [22]Al Ghazali, op.cit., h.49. A. Pemikiran Pendidikan Islam Menurut KH. Hasyim Asy’ari Untuk menuangkan pemikirannya tentang pendidikan islam, KH. Hasyim Asy’ari telah merangkum sebuah kitab karangannya yang berjudul “Muta’allim Fima Yahtaj Ilah Al-Muta’alim Fi Ahual Muta’allum Wa Yataqaff Al-Mu’allim Fi Maqamat Ta’limah” . Dalam kitab tersebut beliau merangkum pemikirannya tentang pendidikan Islam kedalam delapan poin, yaitu : 1. Keutamaan ilmu dan keutamaan belajar mengajar 2. Etika yang harus diperhatikan dalam belajar mengajar 3. Etika seorang murid kepada guru 4. Etika seorang murid terhadap pelajaran dan hal-hal yang harus dipedomi berasama guru 5. Etika yang harus dipedomi seorang guru 6. Etika guru ketika dan akan mengajar 7. Etika guru terhadap murid-murid nya 8. Etika terhadap buku, alat untuk memperoleh pelajaran dan hal-hal yang berkaitannya dengannya.[1] Dari delapan pokok pemikiran di atas, Hasyim Asy’ari membaginya kembali kedalam tiga kelompok, yaitu : 1. Signifikansi Pendidikan 2. Tugas dan tanggung jawab seorang murid 3. Tugas dan tanggung jawab seorang guru.[2] Pada dasarnya, ketiga kelompok pemikiran tersebut adalah hasil integralisasi dari delapan pokok pendidikan yang dituangkan oleh KH. Hasyim Asy’ari. A.1. Sigifikansi Pendidikan Dalam membahas masalah ini, KH.Hasyim Asy’ari mengorientasikan pendapatnya berdasarkan alwur’an dan Al-Hadits. Sebagai contohnya ialah beliau mengambil pemikiran pendidikan tentang keutamaan menuntut ilmu dan keutamaan bagi yang menuntut ilmu dari surat Al-Mujadilah ayat 11 yang kemudian beliau uraikan secara singkat dan jelas. Misalnya beliau menyebutkan bahwa keutamaan yang paling utama dalam menuntut ilmu adalah mengamalkan apa yang telah dituntut. Secara langsung beliau akan menjelaskan maksud dari perkataan itu, yaitu agar seseorang tidak melupakan ilmu yang telah dimilikinya dan bermanfaat bagi kehidupannya di akherat kelak. KH. Hasyim Asy’ari menyebutkan bahwa dalam menuntut ilmu harus memperhatikan dua hal pokok selain dari keimanan dan tauhid. Dua hal pokok tersebut adalah : 1. bagi seorang peserta didik hendaknya ia memiliki niat yang suci untuk menuntut ilmu, jangan sekali-kali berniat untuk hal-hal yang bersifat duniawi dan jangan melecehkan atau menyepelekannya 2. bagi guru dalam mengajarkan ilmu hendaknya meluruskan niatnya terlebih dahulu tidak semata-mata hanya mengharapkan materi, disamping itu hendaknya apa yang diajarkan sesuai dengan apa yang diperbuat.[3] Hasyim Asy’ari juga menekankan bahwa belajar bukanlah semata-mata hanya untuk menghilangkan kebodohan, namun untuk mencari ridho Allah yang mengantarkan manusia untuk mendapatkan kebahagiaan dunia dan akherat. Kareba itu hendaknya belajar diniatkan untuk mengembangkan dan melestarikan nilai-nilai islam bukan hanya semata-mata menjadi alat penyebrangan untuk mendapatkan meteri yang berlimpah. A.2. Tugas dan Tanggung Jawab Murid Murid sebagai peserta didik memiliki tugas dan tanggung jawab berupa etika dalam menuntut ilmu, yaitu : 1. Etika yang harus diperhatikan dalam belajar Dalam hal ini Hasyim Asy’ari mengungkapkan ada sepuluh etika yang harus dipebuhi oleh peserta didik atau murid, yaitu : 1. membersihkan hati dari berbagai gangguan keimanan dan keduniawian 2. membersihkan niat 3. tidak menunda-nunda kesempatan belajar 4. bersabar dan qonaah terhadap segala macam pemberian dan cobaan 5. pandai mengatur waktu 6. menyederhanakan makan dan minum 7. bersikap hati-hati atau wara’ 8. menghindari makanan dan minuman yang menyebabkan kemalasan yang pada akhirnya menimbulkan kebodohan 9. menyediakan waktu tidur selagi tidak merusak kesehatan 10. meninggalkan kurang faedah (hal-hal yang kurang berguna bagi perkembangan diri).[4] Dalam hal ini tidak dibenarkan ketika seorang yang menuntut ilmu hanya menekankan pada hal-hal yang bersifat rohaniah atau duniawiah saja, karena keduanya adalah penting. 1. Etika Seorang Murid Terhadap Guru Etika seorang murid murid kepada guru, sesuai yang dikatakan oleh Hasyim Asy’ari hendaknya harus memperhatikan sepuluh etika utama, yaitu : 1. hendaknya selalu memperhatikan dan mendengarkan apa yang dijelaskan atau dikatakan oleh guru 2. memilih guru yang wara’ artinya orang yang selalu berhati-hati dalam bertindak disamping profesionalisme 3. mengikuti jejak guru yang baik 4. bersabar terhadap kekerasan guru 5. berkunjung kepada guru pada tempatnya atau mintalah izin terlebih dahulu kalau harus memaksa keadaan pada bukan tempatnya 6. duduklah yang rapi dan sopan ketika berhadapan dengan guru 7. berbicaralah dengan sopan dan lemah lembut 8. dengarkan segala fatwanya 9. jangan sekali-kali menyela ketika sedang menjelaskan 10. dan gunakan anggota kanan bila menyerahkan sesuatu kepadanya.[5] 1. Etika Murid Terhadap Pelajaran Dalam menuntut ilmu murid hendaknya memperhatikan etika berikut : 1. memperhatikan ilmu yang bersifat fardhu ‘ain untuk dipelajari 2. harus mempelajari ilmu-ilmu yang mendukung ilmu-ilmu fardhu ‘ain 3. berhati-hati dalam menanggapi ikhtilaf para ulama 4. mendiskusikan atau menyetorkan apa yang telah ia pelajari pada orang yang dipercayainya 5. senantiasa menganalisa, menyimak dan meneliti ilmu 6. pancangkan cita-cita yang tinggi 7. bergaulah dengan orang berilmu lebih tinggi (intelektual) 8. ucapkan bila sampai ditempat majlis ta’lim (tempat belajar, sekolah, pesantren, dan lain-lain) 9. bila terdapat hal-hal yang belum diketahui hendaknya ditanyakan 10. bila kebetulan bersamaan banyak teman, jangan mendahului antrian bila tidak mendapatkan izin 11. kemanapun kita pergi kemanapun kita berada jangan lupa bawa catatan 12. pelajari pelajaran yang telah diajarkan dengan continue (istiqomah) 13. tanamkan rasa semangat dalam belajar.[6] A.3. Tugas dan Tanggung Jawab Guru Dalam dunia pendidikan tidak hanya seorang murid yang memiliki tanggung jawab. Namun seorang guru juga memiliki tanggung jawab yang hampir serupa dengan murid, yaitu : 1. Etika Seorang Guru Seorang guru dalam menyampaikan ilmu pada peserta didik harus memiliki etika sebagai berikut : 1. selalu mendekatkan diri kepada Allah 2. senantiasa takut kepada Allah 3. senantiasa bersikap tenang 4. senantiasa berhati-hati 5. senantiasa tawadhu’ dan khusu’ 6. mengadukan segala persoalannya kepada Allah SWT 7. tidak menggunakan ilmunya untuk keduniawian saja 8. tidak selalu memanjakan anak didik 9. berlaku zuhud dalam kehidupan dunia 10. menghindari berusaha dalam hal-hal yang rendah 11. menghindari tempat-tempat yang kotor atau maksiat 12. mengamalkan sunnah nabi 13. mengistiqomahkan membaca al-qur’an 14. bersikap ramah, ceria, dan suka menebarkan salam 15. membersihkan diri dari perbuatan yang tidak disukai Allah 16. menumbuhkan semangat untuk mengembangkan dan menambah ilmu pengetahuan 17. tidak menyalahgunakan ilmu dengan menyombongkannya 18. dan membiasakan diri menulis, mengarang dan meringkas.[7] Dalam pembahasan ini ada satu hal yang sangat menarik, yaitu tentang poin yang terakhir guru harus rajin menulis, mengarang dan meringkas. Hal ini masih sangat jarang dijumpai, ini juga merupakan menjadi salah satu faktor mengapa masih sangat sulit dijumpai karya-karya ilmiah. Padahal dengan adanya guru yang selalu menulis, mengarang dan merangkum, ilmu yang dia miliki akan terabadikan. 1. Etika Guru dalam mengajar Seorang guru ketika mengajar dan hendak mengajar hendaknya memperhatikan etika-etika berikut : 1. mensucikan diri dari hadats dan kotoran 2. berpakaian yang sopan dan rapi serta berusaha berbau wewangian 3. berniat beribadah ketika dalam mengajarkan ilmu 4. menyampaikan hal-hal yang diajarkan oleh Allah (walaupun hanya sedikit) 5. membiasakan membaca untuk menambah ilmu pengetahuan 6. memberikan salam ketika masuk kedalam kelas 7. sebelum belajar berdo’alah untuk para ahli ilmu yang telah terlebih dahulu meninggalkan kita 8. berpenampilan yang kalem dan menghindarkan hal-hal yang tidak pantas dipandang mata 9. menghindarkan diri dari gurauan dan banyak tertawa 10. jangan sekali-kali mengajar dalam kondisi lapar, makan, marah, mengantuk, dan lain sebagainya 11. hendaknya mengambil tempat duduk yang strategis 12. usahakan berpenampilan ramah, tegas, lugas dan tidak sombong 13. dalam mengajar hendaknya mendahulukan materi yang penting dan disesuaikan dengan profesionalisme yang dimiliki 14. jangan mengajarkan hal-hal yang bersifat subhat yang dapat menyesatkan 15. perhatikan msing-masing kemampuan murid dalam meperhatikan dan jangan mengajar terlalu lama 16. menciptakan ketengan dalam belajar 17. menegur dengan lemah lembut dan baik ketika terdapat murid yang bandel 18. bersikap terbuka dengan berbagai persoalan yang ditemukan 19. berilah kesempatan pada murid yang datang terlambat dan ulangilah penjelasannya agar mudah dipahami apa yang dimaksud 20. dan apabila sudah selesai berilah kesempatan kepada anak didik untuk menanyakan hal-hal yang belum dimengerti.[8] Dari pemikiran yang ditawarkan oleh hasyim asy’ari tersebut, terlihatlah bahwa pemikirannya tentang etika guru dalam mengajar ini sesuai dengan apa yang beliau dan kita alami selama ini. Hal ini mengindikasikan bahwa apa yang beliau fikirkan adalah bersifat fragmatis atau berdasarkan pengalaman. Sehingga hal inilah yang memberikan nilai tambah begi pemikirannya. 1. Etika Guru Bersama Murid Guru dan murid pada dasarnya memiliki tanggung jawab yang berbeda, namun terkadang seorang guru dan murid mempunyai tanggung jawab yang sama, diantara etika tersebut adalah : 1. berniat mendidik dan menyebarkan ilmu pengetahuan serta menghidupkan syari’at islam 2. menghindari ketidak ikhlasan dan mengejar keduniawian 3. hendaknya selalu melakukan instropeksi diri 4. menggunakan metode yang sudah dipahami murid 5. membangkitkan semangat murid dengan memotivasinya, begitu murid yang satu dengan yang lain 6. memberikan latihan – latihan yang bersifat membantu 7. selalu memperhatikan kemapuan peserta didik yang lain 8. bersikap terbuka dan lapang dada 9. membantu memecahkan masalah dan kesulitan peserta didik 10. tunjukkan sikap yang arif dan tawadhu’ kepada peserta didik yang satu dengan yang lain. Bila sebelumnya seorang murid dengan guru memiliki tugas dan tanggung jawab yang berbeda, maka setelah kita telaah kembali, ternyata seorang guru dan murid juga memiliki tugas yang serupa seperti tersebut di atas. Ini mengindikasikan bahwa pemikiran Hasyim Asy’ari tidak hanya tertuju pada perbedaan-perbedaan yang dimiliki oleh peserta didik dan guru, namun juga keasamaan yang dimiliki dan yang harus dijalani. Hal ini pulalah yang memberikan indikasi nilai utama yang lebih pada hasil pemikirannya. B. Pemikiran Pendidikan Islam Menurut KH. Ahmad Dahlan Selain berdagang pada hari-hari tertentu, Ahmad Dahlan memberikan pengajian agama kepada beberapa kelompok orang, terutama pada kelompok murid Pendidikan Guru Pribumi di Yogyakarta. Dia juga pernah mencoba mendirikan sebuah madrasah dcngan pengantar bahasa Arab di lingkungan Keraton, namun gagal. Selanjutnya, pada tanggal 1 Desember 1911 M. Ahmad Dahlan mendirikan sebuah Sekolah Dasar di lingkungan Keraton Yogyakarta. Di sekolah ini, pelajaran umum diberikan oleh beberapa guru pribumi berdasarkan sistem pendidikan gubernemen. Sekolah ini barangkali merupakan Sekolah Islam Swasta pertama yang memenuhi persyaratan untuk mendapatkan subsidi pemerintah. Sumbangan terbesarnya K.H. Ahmad Dahlan, yaitu pada tanggal 18 November 1912 M. mendirikan organisasi sosial keagamaan bersama temannya dari Kauman, seperti Haji Sujak, Haji Fachruddin, haji Tamim, Haji Hisyam, Haji syarkawi, dan Haji Abdul Gani. Tujuan Muhammadiyah terutama untuk mendalami agama Islam di kalangan anggotanya sendiri dan menyebarkan agama Islam di luar anggota inti. Untuk mencapai tujuan ini, organisasi itu bermaksud mendirikan lembaga pendidikan, mengadakan rapat-rapat dan tabligh yang membicarakan masalah-masalah Islam, mendirikan wakaf dan masjid-masjid serta menerbitkan buku-buku, brosur-brosur, surat kabar dan majalah. Sebagai jawaban terhadap kondisi pendidikan umat Islam yang tidak bisa merespon tantangan zaman, K.H. Ahmad Dahlan dengan Muhammadiyah melanjutkan model sekolah yang digabungkan dengan sistem pendidikan gubernemen. Ini mengadopsi pendidikan model Barat, karena sistemnya dipandang “yang terbaik” dan disempurnakan dengan penambahan mata pelajaran agama. Dengan kata lain, ia berusaha untuk mengislamkan berbagai segi kehidupan yang tidak Islami. Umat Islam tidak diarahkan kepada pemahaman “agama mistis” melainkan menghadapi duni secara realitis. Pada tanggal 20 Desember 1912, Ahmad Dahlan mengajukan permohonan kepada Pemerintah Hindia Belanda untuk mendapatkan badan hukum. Permohonan itu baru dikabulkan pada tahun 1914, dengan surat ketetapan Pemerintah No. 81 tanggal 22 Agustus 1914. izin itu hanya berlaku untuk daerah Yokyakarta. Dari Pemerintah Hindia Belanda timbul kekhawatiran akan perkembangan organisasi ini. Itulah sbabnya kegiatannya dibatasi. Walaupun Muhammadiyah dibatasi, tetapi di daerah lain seperti Srakandan, Wonosari, dan Imogiri dan lain-lain tempat telah berdiri cabang Muhammadiyah di luar Yokyakarta memakai nama lain. Misalnya Nurul Islam di Pekalongan, Ujung Pandang dengan nama Al-Munir, di Garut dengan nama Ahmadiyah. Sedangkan di Solo berdiri perkumpulan Sidiq Amanah Tabligh Fathonah (SATF) yang mendapat pimpinan dari cabang Muhammadiyah. Bahkan dalam kota Yokyakarta sendiri ia menganjurkan adanya jama’ah dan perkumpulan untuk mengadakan pengajian dan menjalankan kepentingan Islam. Perkumpulan-perkumpulan dan jama’ah-jama’ah ini mendapat bimbingan dari Muhammadiyah, yang diantaranya ialah Ikhwanul Muslimin, Taqwimuddin, Cahaya Muda, Hambudi-Suci, Khayatul Qulub, Priya Utama, Dewan Islam, Thaharatul Qulub, Thaharatul-Aba, Ta’awanu alal birri, Ta’ruf Bima kanu wal-Fajri, Wal-Ashri, Jamiyatul Muslimin, Syahratul Mubtadi. Sementara itu, usaha-usaha Muhammadiyah bukan hanya bergerak pada bidang pengajaran, tapi juga bidang- bidang lain, terutama sosial umat Islam. Sehubungan dengan itu, Muhammadiyah sebagai gerakan sosial keagamaan mempunyai ciri-ciri khas sebagai berikut: 1. Muhammadiyah sebagai gerakan Islam. 2. Muhammadiyah dalam melaksanakan dan memperjuangkan keyakinan dan cita-cita organisasinya berasaskan Islam. Menurut Muhammadiyah, bahwa dengan Islam bisa dijamin kebahagiaan yang hakiki hidup di dunia dan akhirat, material dan spiritual. Untuk mewujudkan keyakinan dan cita-cita Muhammadiyah yang berdasarkan Islam, yaitu amar ma’ruf dan nahi munkar. Dakwah dilakukan menurut cara yang dicontohkan Nabi Muhammad SAW. Dakwah Islam dilakukan dengan hikmah, kebijaksanaan, nasehat, ajakan, dan jika perlu dilakukan dengan berdialog. Usaha-usaha yang dirintis dan dilaksanakan menunjukkan bahwa Muhammadiyah selalu berusaha memperbarui dan meningkatkan pemahaman Islam secara rasional sehingga Islam lebih mudah diterima dan dihayati oleh segenap lapisan masyarakat. Muhammadiyah sebagai gerakan sosial keagamaan, lengkaplah ketika pada tahun 1917 M. membentuk bagian khusus wanita yaitu ‘Aisyah. Bagian ini menyelenggarakan tabligh khusus wanita, memberika kursus kewanitaan. Pemeliharaan fakir miskin, serta memberi bantuan kepada orang sakit. Kegiatan Muhammadiyah dengan ‘Aisyah ini berjalan baik, terutama karena banyak orang Islam baik menjadi anggota maupun simpatisan memberikan zakatnya kepada organisasi ini. Di samping ‘Aisyiah, kegiatan lain dalam bentuk kelembagaan yang berada di bawah organisasi Muhammadiyah ialah : 1. PKU (Penolong Kesengsaraan Umum) yang bergerak dalam usaha membantu orang-orang miskin, yatim piatu, korban bencana alam dan mendirikan klinik-klinik kesehatan 2. Hizb AI-Wathan, gerakan kepanduan Muhammadiyah yang dibentuk pada tahun 1917 M. oleh K.H. Ahmad Dahlan 3. Majlis Tarjih, yang bertugas mengeluarkan fatwa terhadap masalah-masalah yang terjadi di masyarakat. Cita-cita K.H. Ahmad Dahlan sebagai ulama cukup tegas, ia ingin memperbaiki masyarakat Indonesia berlandaskan cita-cita Islam. Usaha-usahanya lebih ditujukan untuk hidup beragama. Keyakinannya bahwa untuk membangun masyarakat bangsa haruslah terlebih dahulu di bangun semangat bangsa. Dengan keuletan yang dilakukan oleh K.H. Ahmad Dahlan, dengan gerakannya yang tidak pernah luput dari amal, kelenturan dan kebijaksaan dalam membawa misinya, telah mampu menempatkan posisi “aman”, baik pada zaman penjajahan maupun pada masa kemerdekaan. Jejak langkah K.H. Ahmad Dahlan senantiasa menitik- beratkan pada pemberantasan dan melawan kebodohan serta keterbelakangan yang senantiasa berdasarkan Al-Qur’an dan Hadits. Arus dinamika pembahruan terus mengalir dan bergerak menuju kepada berbagai persoalan kehidupan yang semakin kompleks. Dengan demikian, peranan pendidikan Islam menjadi semakin penting dan strategis untuk senantiasa mendapat perhatian yang serius. Hal ini disebabkan, karean pendidikan merupakan media yang sangat strategis untuk mencerdaskan umat. Melalui media ini, umat akan semakin kritis dan memiliki daya analisa yang tajam dan membaca peta kehidupan masa depannya yang dinamis. Dalam konteks ini, setidaknya pemikiran pendidikan Ahmad Dahlan dapat diletakkan sebagai upaya sekaligus wacana untuk memberikan inspirasi bagi pembentukan dan pembinaan peradaban umat masa depan yang lebih proporsional. Ketika berusia empat puluh tahun, 1909, Ahmad Dahlan telah membuat terobosan dan strategi dakwah: ia memasuki perkumpulan Budi Utomo. Melalui per-kumpulan ini, Dahlan berharap dapat memberikan pelajaran agama kepada para anggotanya. Gerakan pembaruan K.H. Ahmad Dahlan, yang berbeda dengan masyarakat zamannya mempunai landasan yang kuat, baik dari keilmuan maupun keyakinan Qur’aniyyah guna meluruskan tatanan perilaku keagamaan yang berlandaskan pada sumber aslinya, Al-Qur’an dengan penafsiran yang sesuai dengan akal sehat. Berangkat dari semangat ini, ia menolak taqlid dan mulai tahun 1910 M. penolakannya terhadap taqlid semakin jelas. Akan tetapi ia tidak menyalurkan ide-idenya secara tertulis. pada tanggal 1 Desember 1911 M. Ahmad Dahlan mendirikan sebuah Sekolah Dasar di lingkungan Keraton Yogyakarta. Di sekolah ini, pelajaran umum diberikan oleh beberapa guru pribumi berdasarkan sistem pendidikan gubernemen. Sekolah ini barangkali merupakan Sekolah Islam Swasta pertama yang memenuhi persyaratan untuk mendapatkan subsidi pemerintah. [1] DR.H. Samsul Rizal, M.A.. Filsafat Pendidikan Islam.Ciputat Pers. Jakarta. 2002.Halaman 155 [2] Ibid. Halaman 156 [3] Cop.cit. Halaman 157 [4] Cop.Cit. Halaman 157 [5] Cop.Cit.Halaman 158 [6] Ibid. Halaman 159 [7] Cop.Cit. Halaman 161 [8] Cop.Cit. Halaman 167 – 168