PENGERTIAN TASAWUF
Sabtu, 21 Mei 2011
PENGERTIAN TASAUF
Selasa, 15 Februari 2011
AGAMA DAN PENGARUHNYA TERHADAP KESEHATAN MENTAL
AGAMA
DAN PENGARUHNYA TERHADAP KESEHATAN MENTAL
Kesehatan mental (mental
bygiene) adalah ilmu yang meliputi sistem tentang prinsip-prinsip,
peraturan-peraturan serta prosedur-prosedur untuk mempertinggi kesehatan ruhani
(M.Buchori,1982:13). Orang yang sehat mentalnya ialah orang yang dalam ruhani
atau dalam hatinya selalu merasa tenang, aman, dan tentram (M.Buchori,1982: 5).
Menurut H.C.Witherington, permasalahan kesehatan mental menyangkut pengetahuan
serta prinsip-prinsip yang terdapat lapangan psikologi, kedokteran, psikiatri,
biologi, sosiologi, dan agama (M.Buchori, 1982: 5).
Dalam ilmu kedokteran dikenal ostilah psikosomatik (kejiwabadanan). Maksudnya
adalah untuk menjelaskan bahwa terdapat hubungan yang erat antara jiwa dan
badan. Jika jiwa berada dalam kondisi yang kurang normal seperti susah, cemas,
gelisah, dan sebagainya, maka badan terut menderita.
Beberapa temuan di bidang kedokteran dijumpai
sejumlah kasus yang membuktikan adanya hubungan tersebut, jiwa (psyche) dan badan (soma). Dan istilah “makan hati berulam jantung” merupakan cerminan tentang
adanya hubungan antara jiwa dan badan sebagai hubungan timbal balik. Jiwa sehat
badan segar dan badan sehat jiwa normal.
Di bidang kedokteran dikenal beberapa macam
pengobatan antara lain dengan menggunakan bahan-bahan kimia (tablet, cairan
suntik atau obat minum). Electro-therapia
(sorot sinar, getaran arus listrik). Chibro-practic
(pijat), Selain itu juga dikenal pengobatan tradisional seperti tusuk jarum,
mandi uap, hingga ke cara pengobatan pendukunan. (K.H.S.S. Djam’an. 1975:11)
Di luar cara-cara seperti itu, sejak berkembang
psikoanalisis yang diperkenalkan oleh
Dr. Breuer dan S.Freud, orang mulai mengenal pengobatan dengan
hipotheria, yaitu pengobatan dengan cara hipnotis.
Sejumlah kasus yang menunjukkan adanya hubungan
antara faktor keyakinan dengan kesehatan jiwa atau mental tampaknya sudah
disadari para ilmuan sejak beberapa abad lalu. ,misalnya pernyataan Carel Gustaf Jung” diantara pasien saya
yang setengah baya tidak seorangpun yang penyebab kejiwaannya tidak dilator
belakangi oleh aspek Agama”. (K.H.S.S.Djaman 1875:17)
Kenyataan serupa itu juga akan dijumpai dalam banyak
buku yang mengungkapkan akan betapa eratnya hubungan antara agama dan kesehatan
mental. Di Indonesia sendiri dua buku yang diterbitkan dengan judul peranan Agama dan Kesehatan mental oleh Prof. Dr. Zakiah Drajat dan Agam
dan kesehatan Mental oleh Prof. Dr.
Aulia, telah membahas mengenai sejumlah kasus yang menunukkan antara kesehatan
jiwa dan Agama. Dan Prof .Dr. Muhammad Mahmud ABD Al Qodir lebih jauh membahas hubungan antara Agama dan
kesehatan mental melalui pendekatan biokimia. Menurutnya, didilam tubuh manusia
terdapat Sembilan kelenjar hormone yang memproduksi persenywaan-persenyawaan kimia
yang mempunyai pengaruh biokimia tertentu, disalurkan lewat pembuluh darah dan
selanjutnya member pengaruh kepada eksisitensi dan berbagai-bagai kegiatan
tubuh. Pershormon persenyawaan-persenyawaan itu disebut hormone.
Lebih jauh Muhammad ABD Al Qodir berkesimpulan bahwa
segala bentuk gejala emosi seperti rasa bahagia, rasa dendam, rasa marah,
takut, berani, pengecut yang ada pada diri manusia akibat pengaruh
persenyawaan-persenyawaan kimia hormon,
diamping persenyawaan lainnya.
Jika seorang berada dalam keadaan normal, seimbang hormon
dan kimiawinya,, maka ia akan selalu berada dalam keadaan aman. Perubahan yang
terjadi dalam kejiwaan itu disebut oleh ABD Al Qodir sebagai spektrum hidup.
Jika terjadi keseimbambangan maka akan kembali
menjadi normal. Terjadinya pergesekan dari kondisi normal ke daerah yang
berbahaya itu, menurut ABD Qodir sangat bergantung dari drajat keimanan yang
tersimpan didalam diri manusia, disamping faktor susunan tubuh serta dalam atau
dangkalnya rasa dan kesadaran manusia itu.( Muhammad Mahmud ABD Al Qodir,
1979)
Penemuan Muhammad Mahmud ABD Al Qodir seorang ulama
dan ahli biokimia ini, setidak-tidaknya member bukti akan adanya hubungan
antara keyakinan Agam dan kesehatan jiwa. Pengobatan penyakit batin melalui
bantuan Agama lebh banyak dipraktikkan orang.
Salah satu
cabang ilmu jiwa,yang tergolong dalam psikologi
Humanistika dikenal logo terapi ( logos
berarti makna dan juga rohani) logoterapi dilandasi falsafah hidup dan wawasan
mengenai manusia yang mengakui adanya dimensi sosial pada kehidupan manusia.
Logo terapi menunjukkan tiga bidang kegiatan secara potensial memberi peluang kepada seseorang untuk menemukan makna
hidup bagi dirinya sendiri ( logos berarti makna dan juga rohani) logo terapi
dilandasi falsafah hidup dan wawasan mengenai manusia yang mengakui adanya
dimensi social pada kehidupan manusia. Logo terapi menunjukkan tiga bidang
kegiatan secara potensial memberi peluang kepada seseorang untuk menemukan
makna hidup bagi dirinya sendiri. Ketiga kegiatan itu adalah :
1. Kegiatan berkarya, bekerja dan mencipta,
serta melaksanakan sebaik-baiknya tugas dan kewajiban masing-masing
2. Keyakinan dan penghayatan atas
nilai-nilai tertentu( kebenaran, keindahan, kebijakan, keimanan dan lainnya)
dan
3. Sikap tepat yang diambil keadaan dan
penderitaan yang tidak terelakkan lagi.
Dalam menghadapi siakp yang tidak terhindarkan lagi
pada kondisi yang ketiga, menurut logoterapi, maka ibadah merupakan salah satu
cara yang dapat digunakan untuk membuka pandangan seseorang akan nilai nilai
potensial dan makna hidup yang terdapat dalam diri dan sekitarnya(Hanna
Djumhana Bastaman,1989)
DAFTAR
PUSTAKA
Prof.
Dr. H. Rama yulis, Psikologi Agama, Mulia Jakarta:2007
Prof.
Dr. H. Jalaluddin, Psikologi Agama,
Rajagrapindo Persada, Jakarta:2008
SISTEM KHOLIFAH DENGAN SISTEM LAIN
SISTEM KHOLIFAH DENGAN SISTEM
LAIN
Pilar-Pilar Pemerintahan Islam
Sistem pemerintahan Islam dibangun
atas empat pilar: Pertama, kedaulatan di tangan syara' bukan di tangan rakyat.
Kedua, kekuasaan adalah milik umat. Ketiga, mengangkat satu Khalifah hukumnya
wajib bagi seluruh kaum muslimin. Dan keempat, hanya Khalifah yang berhak
melakukan tabbani (adopsi) terhadap hukum-hukum syara'.
Islam memerintahkan kepada kaum Muslimin dan negara
hanya tunduk kepada hukum syariat Islam. Kehendak seorang muslim atau umat,
tidak diatur oleh dirinya sendiri atau umat, melainkan diatur oleh Allah swt
dengan seluruh perintah dan laranganNya
[2] Kekuasaan di tangan umat
Kekuasaan atau pemerintahan di tangan umat,
berdasarkan tatacara yang telah ditentukan oleh syara’ dalam mengangkat
khalifah yang dipilih oleh kaum muslimin, yaitu dengan cara baiat. Umatlah yang
berhak memilih penguasa, apakah secara langsung atau melalui ahlul halli wal
aqdi. Tidak seorangpun dapat menjadi penguasa kecuali telah dikehendaki
umat, yang ditunjukkan dengan baiat. Hanya saja, kekuasaan yang diberikan itu
hanyalah untuk menjalankan syariat Islam (kedaulatan Allah) semata.
Dalam praktek pada masa kekhilafahan, Islam telah
menyerahkan hak ini kepada kepala negara (khalifah) yang terpilih dalam
pemilihan umum. Kepala negara diangkat oleh umat. Oleh karena itu, di dalam
Islam kekuasaan berada di tangan umat. Siapapun yang terpilih, maka ia berhak
menduduki jabatan sebagai kepala negara.
[3].
Khalifah yang dipilih dan dibaiat rakyat haruslah satu orang saja dan ini
merupakan kewajiban bagi kaum muslimin.
Berkaitan dengan masalah pemerintahan, kekuasaan dan
ketaatan kepada ulil amri, serta keterkaitannya dengan hukum syara’ dan
penolakan terhadap hukum thagut (kufur), maka ada dua hal yang penting untuk
dikaji. Masalah pertama, kewajiban mengangkat seorang pemimpin (kepala negara).
Kaum Muslimin wajib mengangkat seorang ulil amri dan mentaatinya.
Ulil amri adalah penguasa yang mempunyai kedudukan
paling tinggi dalam kepemimpinan Islam. Ia adalah khalifah (Imam Al A’dzam)
yang mengatur seluruh urusan umat Islam (Wali Al Amri). Oleh karena itu,
taat kepada khilafah adalah suatu kewajiban syar’i atas kaum Muslimin. Dalil di
atas adalah sekaligus sebagai kewajiban bagi kaum Muslimin untuk mewujudkan
adanya Khalifah (Wali Al Amri). Masalah Kedua, semua hal selalu terkait
dengan hukum syara’.
Dalam pembahasan sistem kekhilafahan ini, memang Al
Quraan tidak menjelaskan secara tegas apakah di dunia ini boleh ada lebih dari
satu kepemimpinan Islam. Masalah ini menjadi penting bagi seluruh kaum Muslimin
semenjak tercetusnya ide “Pan Islamisme” oleh Jamaluddin Al Afghani dan
Muhammad Abduh.
[4].
Khalifah berhak mentabani hukum.
khalifah
sajalah satu-satunya yang berhak untuk menetapkan hukum
Pengaruh Penjajah Terhadap Sistem Politik Pemerintah
Di Timur Tengah
Renaisance
yang terjadi di Eropa membawa perubahan besar bagi konstelasi dunia. Perlahan
bangsa-bangsa Eropa mulai bersinar di kancah dunia. Portugis, Spanyol, Prancis,
Inggris mulai menjadi negara-negara yang berpengaruh dikancah politik dunia,
menandingi hegemoni dari khilafah Turki Utsmani, pewaris kekhilafahan Islam.
Perlahan tapi pasti terjadi penjelajahan dunia yang berujung kepada
imperialisme dan kolonialisme. Dan proses ini bersentuhan juga dengan kawasan
Timur Tengah.
Beberapa faktor yang mendukung proses kolonialisasi di
kawasan Timur Tengah, beberapanya adalah:
1. jarak yang dekat dengan Eropa Selatan
2. jarak yang jauh dari pusat dan jantung Islam di Asia Barat
3. lemahnya tradisi Islam
4. proporsi keturunan Berber dan Eropa yang lebih banyak membuat penduduk
lebih bertindak mandiri
Di daratan
Arab, wilayah Afrika Utara merupakan wilayah yang pertama lepas dari
kekhilafahan Turki Utsmani. Aljazair merupakan negeri yang pertama kali lepas
ketika tahun 1830, pasukan Prancis mendarat dan 18 tahun kemudian negeri itu
dideklarasikan sebagai bagian dari wilayah Prancis. Tahun 1881, Prancis
menguasai Tunisia, dan seperti Aljazair diberikan status negara protektorat.
Tahun 1901 Prancis menaklukan Maroko. Tripolitania direbut oleh Italia dan
menjadi negara Libya tahun 1934.
Kolonialisme
tentunya melahirkan pemikiran baru dalam khazanah perpolitikan negara jajahan.
Sistem politik Islam mendapatkan bandingan dari sistem politik yang dianut
negara penjajahnya. Setidaknya ada 2 respon yang muncul;
1. menolak, dengan anggapan sistem Islam sudah final. Dan
sikap ini melahirkan perlawanan secara total kepada negara penjajahnya.
2. menerima, tentunya berkat proses edukasi yang
dilakukan negara penjajah terhadap warga pribumi. Dan penerimaan ini bisa
bersifat total, sampai mengadopsi penuh sistem politik yang diterapkan negara
penjajah. Juga dapat berupa penyesuaian dengan sisa-sisa pemikiran Islam yang
masih tinggal.
Lahirlah
model sistem pemerintahan Republik, Kerajaan, dengan berbagai variannya.
Perbandingan Sistem
Pemerintahan
Perbedaan Dengan Theokrasi
Theokrasi berasal dari bahasa Yunani Theos (Tuhan) dan
kratos (kekuasaan). Istilah theokrasi biasa digunakan untuk menyebut sistem
politik yang didasarkan atas kekuasaan Tuhan yang diwakili oleh kekuasaan spiritual
sekaligus menguasai kekuasaan politik (Dr. Jamil Shaliba, Al Mu’jam al
Falsafi, hal 369).
Menurut Ensiklopedi Indonesia (Hassan Sadily, dkk.)
theokrasi digunakan oleh kerajaan-kerajaan kuno yang mengaku mendapatkan
legitimasi kekuasaan dari dewa atau Tuhan, misalnya kekaisaran Jepang.
Disamping legitimasi kekuasaan dari Tuhan yang tak bisa diganggu-gugat, dalam
negara theokrasi para pemimpin negara dianggap mendapatkan wewenang untuk
membuat hukum dan sekaligus menariknya kembali kapan saja tanpa koreksi dari
yang lain.
Menurut Syibly Al Isamy, negara theokrasi adalah
negara di tangan para pemimpin gereja yang menganggap segala perilaku mereka
terjaga dari kesalahan dan suci. Apa yang mereka halalkan di bumi, tentu halal
pula di langit. Apa yang mereka batasi di dunia, tentu dibatasi pula di langit.
Tak seorang pun manusia boleh berkata kepada para pemimpin gereja itu, “Engkau
telah berbuat buruk, engkau telah berbuat salah”. Sebab dengan perkataannya itu
berarti telah menentang Tuhan yang telah mewakilkan kepadanya (Al-Qardhawy,
1999:81).
Bahkan kesucian pemimpin alias penguasa (Imam) itu
menurut Imam Khomeini, berada pada martabat yang sangat tinggi, yang tak bisa
dijangkau oleh para nabi maupun malaikat. (lihat Al Imam Al Khomeini, Al Hukumah
Al Islamiyah, hal 52).
Dengan demikian, dapat kita simpulkan bahwa dalam
negara theokrasi, kekuasaan dimiliki seseorang atau sekelompok orang yang
mendapatkan legitimasi dari Tuhan bukan dari rakyat. Oleh karena itu rakyat
tidak berwenang untuk mencabutnya dari kursi kekuasaan. Disamping itu, tatkala
penguasa membuat hukum, dia berkedudukan sebagai wakil Tuhan yang berwenang
mengatur kehidupan di muka bumi. Dengan demikian berarti kedaulatan (as
siyadah/sovereignty) dan kekuasaan (as sulthon/autority) berada di
tangan seorang atau beberapa orang penguasa negara theokrasi itu sendiri.
Setidaknya ada empat perbedaan antara sistem khilafah
dengan sistem theokrasi; Pertama, legitimasi kekuasaan para penguasa
dalam sistem theokrasi berasal dari Allah atau Tuhan atau Dewa. Mereka mengaku
wakil Tuhan dan rakyat cukup hanya menerima pengakuan mereka Dalam sistem
khilafah, legitimasi kekuasaan diperoleh oleh seorang khalifah dari umat karena
khalifah dipilih oleh umat rakyat secara keseluruhan atau mayoritasnya, baik
secara langsung atau melalui perwakilan mereka (majelis umat/syuro).
Khalifah bukanlah wakil Allah, melainkan wakil umat. Kesimpulannya, sumber
kekuasaan dalam sistem khilafah adalah umat (As Sulthan lil Ummah). Lalu
umat menyerahkan pelaksanaan pemerintahan itu kepada seseorang yang mereka bai’at
menjadi khalifah untuk mewakili mereka. Muhammad Saw. dan para khulafaur
Rasyidin mendapatkan baiat dari kaum muslimin untuk menjalankan kekuasaan guna
menerapkan hukum-hukum Islam dalam kehidupan bernegara. (An Nabhani, 1997:40)
Kedua, hukum yang diterapkan dalam sistem theokrasi adalah
hukum yang dibuat sendiri oleh para penguasa yang mengklaim telah mendapatkan
legitimasi dan wewenang dari Tuhan untuk membuat hukum sesuka mereka. Sedangkan
dalam sistem khilafah, khalifah yang telah dibai’at oleh umat Islam hanyalah
bertugas untuk melaksanakan hukum Allah yang terdapat dalam al Qur’an dan
Sunnah. Sedangkan, dalam negara theokrasi, para pemimpin/penguasa
membuat hukum sendiri dengan segala kelemahan pengetahuannya sebagai manusia.
Ketiga, dalam negara theokrasi, penguasa sebagai wakil Tuhan
di muka bumi diklaim tidak bisa berbuat salah. Penguasa ma’shum, dijaga
oleh oleh Tuhan dari kesalahan dan dosa. Dalam sistem khilafah, penguasa justru
tidak ma’shum.
Keempat, karena kemaksuman dalam poin ketiga, maka penguasa
dalam sistem theokrasi tidak bisa dikritik dan dikoreksi. Sedangkan dalam
sistem khilafah, kritik dan koreksi (muhasabah) adalah hak kaum muslimin
sekaligus kewajiban mereka sebagai rakyat yang mewakilkan kekuasaan
melaksanakan hukum Allah SWT kepada khalifah. Sebab, khalifah sebagaimana umat
adalah manusia yang di dalam melaksanakan hukum Allah SWT mungkin melakukan
kekeliruan. Dan pelanggaran hukum Allah SWT atau kemungkaran, apabila dilakukan
penguasa, bisa menjadi sebuah bencana yang besar.
Karena itu, negara khilafah merupakan negara manusiawi
—yang dipimpin manusia serta memerintah manusia biasa— bukan negara ilahiyah
(theokrasi) —dimana penguasanya adalah wakil tuhan yang tidak pernah salah.
(An Nabhani, 1997:157)
Perbedaan Dengan Kerajaan (Monarki)
Sistem monarki adalah bentuk pemerintahan yang
dikepalai oleh seorang raja. Sistem ini kadangkala mengalami perubahan dari
sisi pembuat hukum dan pola pengangkatan raja sehingga ada di antara para pakar
politik, antara lain Leon Duguit, yang membagi sistem ini ke dalam tiga bentuk,
yaitu:
1. Monarki dengan sistem pemerintahan yang absolut
2. Monarki terbatas
3. Monarki konstitusionil
Tanpa perlu memandang perbedaan bentuk monarki itu
sendiri, secara substansial ada beberapa hal yang harus dicermati dalam sistem
pemerintahan monarki ini, yaitu:
Sistem pemerintahannya menerapkan sistem waris, di
mana singgasana kerajaan akan diwarisi oleh seorang putra mahkota dari orang
tuanya; seperti saat mereka mewariskan harta warisan. Sedangkan sistem khilafah
tidak mengenal sistem waris. Sistem Islam telah menjadikan kekuasaan adalah
milik umat, bukan milik khalifah. Pemerintahan akan dipegang oleh orang yang
dibaiat oleh umat dengan penuh ridha dan kebebasan memilih. Umar bin Khatab
r.a. pernah berkata: “Siapa saja yang menyerahkan kepemimpinan kepada
seseorang karena pertimbangan sanak-kerabat atau sahabatnya, padahal ia tahu
bahwa di antara kaum muslimin ada yang lebih baik ketimbang dia, maka Allah dan
Rasul-Nya benar-benar telah menjadikan seluruh kaum muslimin terhina”.
(Abdul Qadim Zallum, Nizhamul Hukmi Fiil Islam: 91)
Sistem khilafah tidak berbentuk monarchi. Bahkan,
Islam tidak mengakui sistem monarchi, maupun yang sejenis dengan sistem
monarchi. Dalam Islam, pemerintahan akan dipegang oleh orang yang dibai’at oleh
umat dengan penuh ridla dan kebebasan memilih. (An Nabhani, 1997:31)
Disamping itu, dalam sistem khilafah tidak mengenal wilayatul
ahdi (putra mahkota). Justru Islam menolak adanya putra mahkota, bahkan
Islam juga menolak memperoleh pemerintahan dengan cara waris. Dimana Islam
telah menentukan cara memperoleh pemerintahan, dengan bai’at dari umat kepada
Khalifah atau imam, dengan penuh ridla dan kebebasan memilih. (An Nabhani,
1997:32)
Dalam praktiknya, sistem pewarisan kekuasaan yang
ternyata menjadi salah satu faktor yang mempercepat runtuhnya Khilafah
Utsmaniyyah. Juga pada masa Umayyah, sistem putra mahkota yang dipelopori oleh
Khalifah Muawiyyah karena telah merampas hak-hak politik rakyat yang sudah
ditetapkan dalam Islam.
Selain itu pola pewarisan jabatan menyebabkan Khilafah
diperintah oleh orang-orang yang kurang matang dan tidak berpengalaman. Sepuluh
orang Khalifah pertama pada masa Utsmaniyyah (sampai era Sulaiman The
Magnificent, 1520-1566) adalah orang-orang yang matang. Tetapi para
Khalifah sesudahnya (kecuali Murad IV, Mustafa III, dan Abdul Hamid II) adalah
orang-orang yang kurang matang bahkan ada yang berada di bawah pengaruh ibunya
(Sultan Osman II, 1618-1622). Selain itu nepotisme yang merebak di beberapa
wilayah telah menyebabkan upaya-upaya pemisahan diri yang menguras konsentrasi
Khalifah sehingga menghambat upaya konsolidasi internal.
Adanya hak tertentu serta hak-hak istimewa khusus
untuk raja saja, yang tidak akan bisa dimiliki oleh yang lain. Sistem ini juga
telah menjadikan raja di atas undang-undang, secara pribadi raja memiliki
kekebalan hukum. Raja, kadang kala hanya merupakan simbol bagi umat, dan tidak
memiliki kekuasaan apa-apa, seperti raja-raja di Eropa. Atau kadang kala
menjadi raja dan sekaligus berkuasa penuh, bahkan menjadi sumber hukum. Dimana
raja bebas mengendalikan negeri dan rakyatnya dengan sesuka hatinya, seperti
raja di Saudi, Maroko, dan Yordania. (An Nabhani, 1997:31)
Hal ini tampak pada konsep Divine Right of Kings
(Hak Suci Raja) yang muncul dalam masa 1500-1700 M, yang digunakan antara lain
oleh Raja Spanyol Isabella dan Ferdinand (1479-1516), Raja-raja Bourboun di
Perancis, Charles I dan Charles II di Inggris (1588-1679).
Hal ini bertolak belakang dengan sistem khilafah yang
tidak pernah memberikan kekhususan kepada khalifah atau imam dalam bentuk
hak-hak istimewa atau hak-hak khusus, karena kedaulatan sepenuhnya ada pada
hukum syara’ (hukum Tuhan). Khalifah memiliki hak yang sama dengan hak rakyat
biasa. Tidak ada perbedaan dalam penerapan aturan dan keharusan untuk diatur
oleh hukum syara’, sebagaimana yang dicontohkan oleh Khalifah Umar bin Abdul
Aziz yang sangat memperhatikan harta rakyatnya sampai beliau tidak mau
mendapatkan uang santunan sebesar dua dirham dari baitul mal. Begitu pula
beliau memerintahkan pada keluarga Marwan (sanak keluarganya sendiri) untuk
mengembalikan harta yang tidak sah kepada baitul mal atau kepada pemiliknya
(Sayyid Qutb, Keadilan Sosial dalam Islam: 287).
Raja, kadangkala hanya merupakan simbol bagi umat dan
tidak memiliki kekuasaan apa-apa, atau bahkan berkuasa penuh bahkan menjadi
sumber hukum sehingga raja bebas mengendalikan negeri dan rakyatnya sesuka hati.
Khalifah tidak memiliki hak, selain hak yang sama dengan rakyat biasa. Khalifah
juga bukan hanya sebuah simbol bagi umat, yang menjadi Khalifah namun tidak
memiliki kekuasaan apa-apa. Disamping Khalifah juga bukan sebuah simbol yang
berkuasa dan bisa memerintah serta mengendalikan negara beserta rakyatnya
dengan sesuka hatinya. Namun, Khalifah adalah wakil umat dalam masalah
pemerintahan dan kekuasaan, yang mereka pilih dan mereka bai’at dengan penuh
ridla agar menerapkan syariat Allah atas diri mereka. Sehingga Khalifah juga
tetap harus terikat dengan hukum-hukum Islam dalam semua tindakan, hukum serta
pelayanannya terhadap kepentingan umat. (An Nabhani, 1997:31-32)
Perbedaan Dengan Republik
Sistem pemerintahan Islam juga bukan sistem republik.
Dimana sistem republik berdiri di atas pilar demokrasi, yang kedaulatannya ada
di tangan rakyat. Rakyatlah yang memiliki hak untuk memerintah serta membuat
aturan, termasuk rakyatlah yang kemudian memiliki hak untuk menentukan
seseorang untuk menjadi penguasa, dan sekaligus hak untuk memecatnya. Rakyat
juga berhak membuat aturan berupa undang-undang dasar serta perundang-undangan,
termasuk berhak menghapus, mengganti serta merubahnya.
Dalam sistem pemerintahan ini, perlu dicermati hal-hal
berikut:
Istilah demokrasi sendiri berasal dari bahasa
Yunani, demos yang berarti rakyat dan kratos/ kratein
berarti kekuasaan/berkuasa. Singkatnya demokrasi diartikan “rakyat berkuasa”,
atau “government or rule by the people” (Prof. Miriam Budiardjo, idem).
Gagasan ini memang bermula dari negara kota (city state) Yunani kuno
abad 6 sampai 3 sebelum masehi, yang berbentuk direct democracy. Hak
membuat keputusan-keputusan politik dijalankan secara langsung oleh seluruh
warga negara berdasarkan prosedur mayoritas. Ini dapat diselenggarakan efektif
karena kondisi yang sederhana, wilayahnya terbatas serta jumlah penduduk pun
masih sedikit. Tentu ini akan berbeda dengan kondisi negara modern seperti
sekarang dimana kompleksitas masalah yang luas, dan populasi rakyat sangat
besar.
Ketika memasuki abad pertengahan dengan ciri struktur
sosial feodal (hubungan antara vassal dan lord), gagasan ini
boleh dibilang hilang dari Eropa. Muncul kemudian monarki-monarki absolut pada
masa 1500-1700 M, dimana para raja menganggap dirinya berhak atas tahta
berdasar konsep devine rights of kings (hak suci raja). Eksploitasi dan
penindasan rakyat atas nama agama oleh para raja tadi menimbulkan berbagai
ketidakpuasan. Naiknya golongan menengah yang memiliki kedudukan ekonomi kuat
dan berpendidikan, menyuarakan kecaman-kecaman terhadap model absolutisme.
Akhirnya mereka mendobrak kedudukan raja-raja absolut dengan mengedepankan
teori rasionalitas atau kemudian dikenal sebagai social contract. Salah
satu asas gagasan ini adalah bahwa dunia dikuasai oleh hukum yang timbul dari
alam yang mengandung prinsip-prinsip keadilan yang universal, artinya berlaku
untuk semua waktu serta semua manusia. Hukum ini kemudian dinamakan natural
law (hukum alam). Para filusuf pencetus gagasan ini John Locke dari Inggris
(1632-1704) dan Montesquieu, filusuf Prancis yang hidup antara tahun 1689-1755.
Menurut mereka hak-hak politik mencakup hak atas hidup, kebebasan dan hak milik
(life, liberty, property). Kemudian disusunlah suatu
sistem politik yang sangat terkenal, trias politica. Berbagai revolusi
sosial kemudian bergolak disulut oleh ide-ide tadi di Eropa, seperti yang
terjadi di Prancis (akhir abad 18) dan revolusi Amerika atas Inggris. Baru pada
akhir abad ke-19 lah gagasan-gagasan demokrasi mendapat wujud yang kongkrit
sebagai program dan sistem politik. Meski pada tahap awal hanya mendasarkan
pada asas-asas kemerdekaan individu, kesamaan hak (equal rights), serta
hak pilih untuk semua warga negara (universal suffrage). Kini demokrasi
menjadi barang dagangan yang dijajakan Barat (baca: Amerika) ke seluruh dunia
dengan gencar, termasuk ke negeri-negeri muslim. Ide ini disambut gempita oleh
rakyat, terlebih bila di tengah-tengah mereka berlangsung alam kehidupan yang
cenderung absolut dan represif dari penguasa.
Demokrasi sebagai asas penegakkannya bertentangan
dengan Islam karena dalam sistem demokrasi kedaulatan sepenuhnya berada pada
tangan rakyat, sementara sistem Islam yang pilar penegaknya adalah aqidah Islam
dan hukum syara’ (hukum Tuhan), memberikan kedaulatan berada pada hukum syara’,
artinya yang berhak membuat aturan hanya Allah SWT, tidak ada campur tangan
manusia. Khalifah hanya memiliki hak untuk mengadopsi hukum-hukum yang akan
dijadikan sebagai undang-undang dasar serta perundang-undangan dari Al Qur’an
dan Sunnah Rasul-Nya. Begitu pula umat tidak berhak memecat Khalifah, karena
yang berhak hanyalah hukum syara’, dalam arti bahwa ketika ia tidak dapat
menjaga dan penerapan aturan-aturan Allah, maka ia wajib dipecat. Akan tetapi,
umat tetap berhak untuk mengangkat khalifah. Sebab Islam telah menjadikan
kekuasaan di tangan umat. Sehingga umat berhak mengangkat siapa saja yang
mereka pilih dan mereka baiat untuk menjadi wakil mereka dalam memberlakukan
dan melaksanakan aturan Allah SWT. (An Nabhani, 1997:32)
Beberapa prinsip mendasar sistem demokrasi, antara
lain:
Demokrasi adalah buatan akal manusia dan bukan berasal
dari Tuhan. Demokrasi tidak bersandar pada wahyu dan tidak memiliki hubungan
dengan agama (Islam) yang diturunkan Allah SWT. Hal ini disebabkan demokrasi berasal
dari sejarah gelap Eropa pada masa Aufklarung (pencerahan pemikiran).
Demokrasi lahir dari aqidah faslud diin ‘anil hayah
(pemisahan agama dari realita kehidupan), yang selanjutnya berimpliksi pada
pemisahan agama dari negara dan pemerintahan.
Asas demokrasi berlandaskan dua ide dasarnya, yaitu
kedaulatan yang tertinggi di tangan rakyat dan rakyat sebagai sumber kekuasaan.
Demokrasi adalah sistem pemerintahan mayoritas.
Pemilihan penguasa dan anggota lembaga legislatif diselenggarakan berdasarkan
suara mayoritas para pemilih. Hal ini berimplikasi pada semua keputusan dalam
lembga-lembaga legislatif tersebut diambil berdasarkan pendapat mayoritas.
Demokrasi bertumpu pada empat macam kebebasan yang
harus dijamin bagi setiap individu, yaitu: Kebebasan beragama (freedom of
religion), kebebasan berpendapat (freedom of speech), kebebasan
kepemilikan (freedom of ownership), dan kebebasan berprilaku (personal
freedom).
Dalam sistem republik dengan bentuk presidensilnya,
seorang presiden memiliki wewenang sebagai seorang kepala negara serta wewenang
sebagai seorang perdana menteri, sekaligus. Karena tidak ada perdana menteri,
sementara yang ada hanya para menteri, semisal presiden Amerika. Sedangkan
dalam sistem republik dengan bentuk parlementernya, terdapat seorang presiden
sekaligus dengan perdana menterinya. Dimana wewenang pemerintahannya dipegang
oleh perdana menteri, bukan presiden, misalnya Republik Prancis dan Jerman
Barat. (An Nabhani, 1997:32-33)
Sedangkan di dalam sistem khilafah tidak ada menteri
maupun kementerian bersama seorang Khalifah sebagaimana dalam konsep demokrasi,
yang memiliki spesialisasi serta departemen-departemen tertentu. Yang ada dalam
sistem khilafah hanyalah para mu’awin (pembantu Khalifah) yang
senantiasa dimintai bantuan oleh Khalifah. Tugas mereka adalah membantu
Khalifah dalam tugas-tugas pemerintahan. Mereka adalah para pembantu dan
sekaligus pelaksana. Ketika Khalifah memimpin mereka, maka Khalifah memimpin
mereka bukan dengan kapasitasnya sebagai perdana menteri atau kepala lembaga
eksekutif, melainkan hanya sebagai kepala negara. Sebab dalam Islam tidak ada
kabinet menteri yang bertugas membantu Khalifah dengan memiliki wewenang
tertentu. Sehingga mu’awin tetap hanyalah pembantu Khalifah untuk melaksanakan
wewenang-wewenangnya.
Selain dua bentuk tersebut, baik presidensil maupun
parlementer dalam sistem republik, presiden bertanggung jawab di depan rakyat
atau yang mewakili suara rakyat. Dimana rakyat beserta wakilnya berhak untuk
memberhentikan presiden, karena kedaulatan di tangan rakyat.
Kenyataan ini berbeda dengan sistem kekhilafahan,
karena seorang amirul mukminin (Khalifah), sekalipun bertanggung jawab
di hadapan umat dan wakil-wakil mereka, termasuk menerima kritik dan koreksi
dari umat serta wakil-wakilnya, namun umat termasuk para wakilnya tidak berhak
untuk memberhentikannya. Amirul mukminin juga tidak akan diberhentikan kecuali
apabila menyimpang dari hukum syara’ dengan penyimpangan yang menyebabkan harus
diberhentikan. Adapun yang menentukan pemberhentiannya adalah hanya mahkamah madzalim.
(An Nabhani, 1997:33)
Jabatan pemerintahan (presiden atau perdana menteri)
dalam sistem republik, baik yang menganut presidensil maupun parlementer,
selalu dibatasi dengan masa jabatan tertentu, yang tidak mungkin bisa melebihi
dari masa jabatan tersebut. Sementara di dalam sistem khilafah, tidak terdapat
masa jabatan tertentu. Namun, batasannya hanyalah apakah masih menerapkan hukum
syara’ ataukah tidak. Karena itu, selama Khalifah masih melaksanakan hukum
syara’, dengan cara menerapkan hukum-hukum tersebut kepada seluruh manusia di
dalam pemerintahannya, yang diambil dari Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya, maka
dia tetap menjadi Khalifah, sekalipun masa jabatannya panjang dan lama. Dan
apabila dia telah meninggalkan hukum syara’ serta menjauhkan hukum-hukum
tersebut, maka berakhirlah masa jabatannya, sekalipun baru sehari semalam.
Sehingga tetap wajib diberhentikan. (An Nabhani, 1997:33-34)
Dalam sistem demokrasi memang ada kritik dan koreksi,
dan ini biasanya dilakukan oleh pihak oposisi untuk kepentingan politik dari
pihak oposisi, misalnya memenangkan pemilu berikutnya, bahkan menjatuhkan
kekuasaan. Dalam sistem khilafah, kritik dan koreksi dilakukan oleh partai
politik maupun perorangan (ulama) untuk meluruskan jalannya pemerintahan tanpa
kepentingan politik, karena partai dalam sistem politik Islam tidak melakukan
aktivitas pemerintahan maupun oposisi. Partai dalam sistem Islam hanya amar
ma’ruf nahi mungkar.
Juga dalam sistem demokrasi, kritik dan koreksi itu
menggunakan standar hukum-hukum kufur yang diadopsi oleh sistem demokrasi.
Sedangkan dalam sistem khilafah, standar kritik dan koreksi adalah hukum Allah
SWT. Oleh karena itu, dalam sistem demokrasi tidak ada amar makruf nahi
munkar. Sebab, standar amar makruf nahi mungkar itu adalah hukum
syari’at Islam yang justru tidak diinginkan berlakunya oleh sistem demokrasi.
Perbedaan Dengan Kekaisaran
Sistem kekaisaran adalah sistem pemerintahan yang
membedakan antara ras satu dengan yang lainnya dalam hal memberlakukan hukum di
dalam wilayah kekaisaran seperti yang pernah terjadi pada kekaisaran Romawi
Kuno yang menggunakan sistem divide et impera untuk menguasai dan mengembangkan
wilayah kolonialnya (lihat Soehino, Ilmu Negara: 43). Sistem ini telah
memberikan keistimewaan dalam bidang pemerintahan, keuangan dan ekonomi di
wilayah pusat.
Sistem pemerintahan Islam juga bukan sistem
kekaisaran, bahkan sistem kekaisaran amat jauh dari ajaran Islam. Sebab wilayah
yang diperintah dengan sistem Islam, sekalipun ras dan sukunya berbeda serta
dalam masalah pemerintahan, menganut sistem sentralisasi pada pemerintah pusat,
tidak sama dengan wilayah yang diperintah dengan sistem kekaisaran. Bahkan,
berbeda jauh dengan sistem kekaisaran tersebut. (An Nabhani, 1997:34)
Sedangkan tuntunan Islam dalam bidang pemerintahan
adalah menganggap sama antara rakyat yang satu dengan rakyat yang lain dalam
wilayah-wilayah negara. Islam juga telah menolak ikatan-ikatan kesukuan (ras).
Bahkan, Islam memberikan semua hak-hak rakyat dan kewajiban mereka kepada orang
non Islam yang memiliki kewarganegaraan. Dimana mereka memperoleh hak dan
kewajiban sebagaimana yang menjadi hak dan kewajiban umat Islam. (Lihat Al
Mughni jilid V hal 516, Ibnu Qudamah) Lebih dari itu, Islam senantiasa
memberikan hak-hak tersebut kepada masing-masing rakyat, apapun madzhabnya,
yang tidak diberikan kepada rakyat negara lain, meskipun muslim. (An Nabhani,
1997:34-35)
Dengan adanya pemerataan ini, jelas bahwa sistem Islam
berbeda jauh dengan sistem kekaisaran. Dalam sistem Islam, tidak ada
wilayah-wilayah yang menjadi daerah kolonial, maupun lahan eksploitasi serta
lahan subur yang senantiasa dikeruk untuk wiilayah pusat. Karena
wilayah-wilayah tersebut tetap dianggap menjadi satu kesatuan, sekalipun
sedemikian jauh jaraknya antara wilayah yang satu dengan ibukota daulah Islam.
Begitu pula masalah keragaman ras warganya. Sebab, setiap wilayah dianggap
sebagai satu bagian dari tubuh negara. Rakyat yang lainnya juga sama-sama
memiliki hak sebagaimana hak rakyat yang hidup di wilayah pusat, atau
wilayah-wilayah lainnya. Dimana otoritas pejabat pemerintahannya, sistem serta
perundang-undangannya sama semua dengan wilayah-wilayah yang lain. (An Nabhani,
1997:35)
Perbedaan Dengan Federasi
Sistem pemerintahan federasi adalah sistem yang
membagi wilayah-wilayahnya dalam otonominya sendiri-sendiri, dan bersatu dalam
pemerintahan secara umum (Budihardjo, 1998:138-146).
Sistem pemerintahan Islam juga bukan sistem federasi,
yang membagi wilayah-wilayahnya dengan otonominya sendiri-sendiri, dan bersatu
dalam pemerintahan secara umum. Tetapi sistem pemerintahan Islam adalah sistem
kesatuan. Sebagaimana yang pernah dikenal dengan sebutan mudiriyatul fuyum
(semacam kabupaten) ketika ibukota Islam berada di Kairo.
Kekayaan seluruh negeri Islam dianggap satu. Begitu
pula anggaran belanjanya akan diberikan secara sama untuk kepentingan seluruh
rakyat, tanpa melihat daerahnya. Kalau seandainya ada wilayah telah
mengumpulkan pajak, sementara kebutuhannya kecil, maka wilayah tersebut akan
diberi sesuai dengan tingkat kebutuhannya, bukan berdasarkan hasil pengumpulan
hartanya. kalau seandainya ada wilayah yang pendapatan daerahnya tidak bisa
mencukupi kebutuhannya, maka daulah Islam tidak akan mempertimbangkannya.
Tetapi, wilayah tersebut tetap akan diberi anggaran belanja dari anggaran
belanja secara umum, sesuai dengan tingkat kebutuhannya. Baik pajaknya cukup
untuk memenuhi kebutuhannya, ataupun tidak. (An Nabhani, 1997:35)
Sistem pemerintahan Islam adalah sistem pemerintahan
sentralisasi, dimana penguasa tertinggi cukup di pusat. Pemerintahan pusat
mempunyai otoritas yang penuh terhadap seluruh wilayah negara, baik dalam
masalah-masalah yang kecil maupun yang besar. Daulah Islam juga tidak akan
sekali-kali mentolelir terjadinya pemisahan salah satu wilayahnya, sehingga
wilayah-wilayah tersebut tidak akan lepas begitu saja. Negaralah yang akan
mengangkat para panglima, wali, dan amil, para pejabat dan
penanggung jawab dalam urusan harta dan ekonomi. Negara juga yang akan
mengangkat para qadli di setiap wilayahnya. Negara juga yang mengangkat
orang yang bertugas menjadi pejabat pemerintahan (hakim). Disamping
negara yang akan mengurusi secara langsung seluruh urusan yang berhubungan
dengan pemerintahan di seluruh negeri. (An Nabhani, 1997:36)
Referensi
Buku Teks
Abdurrahman, Hafidz. 1998. Islam:
Politik dan Spiritual. Singapore: Lisan Ul-Haq
Al-Bahnawasi, Salim Ali.
1995. Wawasan Sistem Politik Islam. terjemahan Mustolah Maufur. Jakarta:
Pustaka al-Kautsar
Al-Maududi, Abul A’la. 1990. Hukum
dan Konstitusi: Sistem Politik Islam. Bandung: Mizan
____________________. 1996. Al-Khilafah
wa Al-Mulk. terjemahan Muhammad Al-Baqir. Bandung: Mizan.
Al-Qardhawy, Yusuf. 1999. Min
Fiqhid Daulah Fil Islam. terjemahan Kathur Suhardi. Jakarta: Pustaka Al
Kautsar
An Nabhani, Taqiyuddin. 1995. al-Khilafah.
terjemahan Muhammad Al Khaththath. Jakarta: Khazanah Islam
____________________. 1997. Nidhamul
Hukmi fil Islam. terjemahan Moh Maghfur Wachid. Bangil: Al Izzah
Anonim. 1997. Miitsaaqul Ummah.
terjemahan Abu Afif dan M. Maghfur. Bogor: Pustaka Thariqul Izzah
Az Zain, Samih Athif. 1981. al-Islam
Khuthuthun ‘Aridhah: al-Iqtishad – al-Hukm – al-Ijtima’. terjemahan
Mudzakir As. Bandung: Husaini
Budiardjo, Miriam. 1998. Dasar-Dasar
Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama
Rais, M. Amien. 1991. Cakrawala Islam: Antara Cita
dan Fakta. Bandung: Mizan
Edward Gibbon, The Decline and Fall of the Roman
Empire, tt,Volume three, Modern Library.
Philip K. Hitti, History of the Arabs, Tenth
Edition, Macmillan Student Edition, 1970.
Artikel
Esposito, John L. dan Piscatori, James P. 1994. Islam
dan Demokratisasi. Artikel dalam Jurnal Dialog Pemikiran Islam Islamika.
Bandung: Mizan.
Kurnia, MR. 2002. Negara Khilafah
vs Negara Demokrasi. Artikel dalam Jurnal Politik dan Dakwah Al Waie.
Bogor: Hizbut Tahrir Indonesia
Langganan:
Postingan (Atom)