Senin, 10 Januari 2011

Tafsir surah Al Kahfi Artinya :
dan Katakanlah: "Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu; Maka Barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan Barangsiapa yang ingin (kafir) Biarlah ia kafir". Sesungguhnya Kami telah sediakan bagi orang orang zalim itu neraka, yang gejolaknya mengepung mereka. dan jika mereka meminta minum, niscaya mereka akan diberi minum dengan air seperti besi yang mendidih yang menghanguskan muka. Itulah minuman yang paling buruk dan tempat istirahat yang paling jelek. Pada ayat ini Allah SWT memerintahkan lagi kepada Rasul Nya", supaya menegaskan kepada orang-orang kafir itu bahwa kebenaran yang disampaikan kepada mereka itu adalah dari Tuhan semesta alam. Adalah kewajiban mereka untuk mengikuti kebenaran itu dan mengamalkannya. Manfaat dan kebenaran itu, tentulah kembali kepada mereka yang mengamalkannya. Demikian pula sebaliknya akibat yang buruk dan pengingkaran terhadap kebenaran itu kembali pula kepada mereka yang ingkar. Maka oleh karena itu barangsiapa yang ingin beriman kepada Nya ingin masuk ke dalam barisan orang-orang yang beriman hendaklah segera berbuat, tanpa mengajukan syarat-syarat dan alasan-alasan yang dibuat-buat sebagaimana halnya pemuka-pemuka musyrikin yang memandang rendah terhadap orang-orang mukmin yang fakir tersebut di atas. Demikian pula siapa yang ingkar dan membuang kebenaran itu, silahkan berbuat. Jika mereka ingkar. Rasulullah saw tidak memperoleh kerugian apa-apa sebagaimana halnya beliau tidak memperoleh keuntungan apapun jika mereka beriman. Allah SWT berfirman: Artinya: Jika kamu berbuat baik (berarti) kamu berbuat baik bagi dirimu sendiri dan jika kamu berbuat jahat maka (kejahatan) itu bagi dirimu sendiri. (Q.S. Al Isra': 7) Tetapi jika manusia itu memilih kekafiran dan melepaskan keimanan, berarti mereka telah melakukan kelaliman, yakni mereka telah meletakkan sesuatu tidak pada tempatnya. Karena itu kepada mereka, Allah memberikan ancaman yang keras, yaitu akan melemparkan mereka ke dalam neraka. mereka tidak akan lolos dari neraka itu, karena gejolak api neraka itu mengepung mereka dari segala penjuru, sehingga mereka laksana seorang yang tertutup dalam kurungan. Bilamana dalam neraka itu mereka meminta minum karena dahaga, maka mereka akan diberi air yang Panasnya seperti cairan besi yang mendidih yang menghanguskan muka mereka. Sungguh alangkah jelek air yang mereka minum itu. Tidak mungkin air yang mereka minum demikian panasnya itu dapat menyegarkan kerongkongan, dan tidak dapat pula mendinginkan dada yang sedang kepanasan, bahkan lebih menghancurkan diri mereka. Dan neraka yang mereka tempati itu adalah tempat yang paling buruk dan penuh dengan siksaan Sehubungan dengan ayat di atas tadi yang lebih tendensius membahas tentang kebenaran yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW. Maka kami sedikit akan menjelaskan pandangan Islam tentang apa itu kebenaran yang dimaksuk pada ayat di atas. Karena dewasa ini pemahaman tentang kebenaran semakin berkembang apalagi ketika kebanaran dihubungkan dengan bahasan filsafat maka ini akan menjadi suatu pembahasan tersendiri dan melebar. Pada makalah kami ini sedikit akan membahas kebenaran menurut presfektif Islam, bagaiman Islam melihat kebebanaran itu secara jernih berdasarkan pondasi islam yang kokoh yaitu Al quran dan hadist. Berbagai upaya makar saat ini sangat gencar dilakukan oleh musuh-musuh Islam. Mereka menggunakan pola-pola baru untuk menghancurkan Islam dan kaum muslimin, berupa serangan melalui arus pemikiran. Kancah pertempuran ini lebih dikenal dengan istilah al-ghazw al-fikry (perang pemikiran). Efek dari serangan seperti ini tidak kalah dahsyatnya bahkan jauh lebih berbahaya dari serbuan atau ekspansi militer, dimana titik sentral serangan mereka diarahkan kepada hal-hal fundamen di dalam Islam, sehingga dengannya kaum muslimin akan sangat mudah terjerumus dan terbawa arus penyesatan. Hal-hal yang sangat jelas dalam Islam dan seharusnya telah menjadi keimanan yang kokoh akan sangat mungkin diragukan atau diingkari, akibat kesalahan fatal dalam metode pengambilan ilmu dan pemahamannya, disaat arus serangan itu datang dengan gencar. Dengan demikian penjelasan tentang konsep kebenaran dalam Islam menjadi sangat penting sebagai upaya membentengi umat dari berbagai serangan pemikiran tersebut. Senjata itu Bernama Relativisme Salah satu dari berbagai efek negatif postmodernisme yang saat ini telah tersebar di masyarakat adalah paham relativisme kebenaran. Paham yang telah menjadi tren ini sering kali dijadikan senjata yang dihunus oleh para aktivis liberal dalam membantah metode pemahaman terhadap ajaran Islam dari para ulama terdahulu - al-salaf al-shâlih - yang telah mereka anggap kuno dan tidak sesuai lagi dengan perkembangan zaman. Sudah tidak mengherankan apabila dalam ajang diskusi dan perdebatan, mereka sering menolak penjelasan dan penafsiran ayat al-Qur’an maupun hadits dari lawan debat mereka dengan lontaran kalimat ‘itukan menurut pemahaman anda’, atau ‘yang saya pahami tidak seperti apa yang anda katakan’, dan kalimat lain sejenis yang menggambarkan keyakinan mereka bahwa penafsiran agama yang dilakukan oleh para ulama tidaklah identik dengan klaim kebenaran yang harus diikuti, karena kebenaran itu sendiri –menurut mereka- adalah sesuatu yang relatif, tidak mutlak atau absolut. Pada intinya, mereka meyakini bahwa pemahaman terhadap agama bukanlah sesuatu yang sakral dan suci, sehingga dengan demikian setiap orang berhak untuk memahami, menafsirkan dan mengamalkan ajaran agama sesuai dengan logika dan alur fikirannya masing-masing. Setiap orang bebas memilih bentuk, atau bahkan membentuk sendiri, cara beragama masing-masing. Bagi mereka tidak penting bagaimana dan dengan cara apa seseorang melaksanakan ajaran agama yang diyakininya, karena ada banyak kebenaran (many truth) yang bisa dicapai seseorang dengan banyak jalan. Pada akhirnya setiap orang –dengan cara berfikir amburadul dan kufur seperti ini- dianggap sah-sah saja membuat tata aturan sendiri, termasuk dalam semua aspek beragama sekalipun, dengan membuat pola yang dia yakini sebagai kebenaran. Mereka tidak perlu lagi terikat pada syariat yang diajarkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya. Jadilah mereka –dengan demikian- sebagai syâri’ (penentu dan pembuat syariat), yang tidak terikat pada syariat apapun, kecuali syariat yang mereka buat dan ramu itu. Jalan boleh berbeda yang penting tujuannya sama. Sekali lagi, itu kata mereka. Dahsyatnya efek negatif pemikiran –yang telah menjadi arus liar- ini tidaklah sebegitu mengkhawatirkan, manakala kehadirannya hanya dalam tataran atau batas wilayah gagasan, atau ketika wacana yang dilontarkan berada dalam pagar kampus sebuah perguruan tinggi, yang memang seringkali menjadi ajang pertempuran berbagai konsep pemikiran. Walaupun itu saja sudah harus segera diluruskan, karena tidak ada toleransi pembenaran pada sebuah kebathilan. Tapi masalahnya akan menjadi sangat berbeda ketika konsep pemikiran ini disebarluaskan kepada lapisan grass root, dida’wahkan dengan sangat masif, melalui berbagai pola yang sangat destruktif, dengan didukung oleh puluhan media cetak dan elektronik serta suntikan dana besar-besaran dari berbagai lembaga donor berkelas internasional, dengan menerbitkan buku-buku dan segenap upaya yang sangat sistematis. Ironisnya pula, para pengusungnya bukanlah ‘orang sembarangan’, tetapi para tokoh kunci dan pimpinan perguruan tinggi atau institusi Islam yang dihormati dan dianggap memiliki kredibilitas dalam masalah agama. Terlebih lagi ketika para pengasong dan pengecer ide-ide liberal ini sangat ingin agar produk mereka juga bisa -dikemas dengan cara sederhana- menjadi bahan diskusi yang mewarnai masjid dan mushalla sampai ke pelosok desa. Berbagai upaya serius yang mereka lakukan dalam rangka memasarkan tema-tema liberal ini pada dasarnya adalah untuk menjaga eksistensi islam liberal, dimana seluruh lapisan masyarakat dapat menerimanya. Benar-benar membumi.(Lihat: Handrianto, 2007 : 81-82). Konsep Kebenaran di dalam Islam Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menciptakan alam semesta beserta isinya dengan sangat sempurna dan teratur. Seluruh makhluk ciptaan-Nya juga tersusun dengan pola dan sistem yang sangat sempurna. Manusia sebagai makhluk mukallaf juga telah diberikan-Nya tuntunan yang sangat terang dan jelas dalam mengarungi kehidupan di dunia ini. Mereka tidak dibiarkan begitu saja bebas memilih jalan, menentukan pilihan hidup, dan mencari panduan sesuka hati. Pedoman hidup bagi manusia telah Allah Subhanahu wa Ta’ala jelaskan dengan wahyu yang diturunkan kepada Rasul-Nya. Ia mengutus Rasul-Nya sebagai basyîr (pemberi kabar gembira) juga sekaligus sebagai nadzîr (pemberi peringatan). Kabar gembira berupa jannah dan kenikmatannya –di akhirat kelak- bagi mereka yang mengikuti jalan-Nya, dan peringatan akan nâr dan siksaannya bagi para penyimpang dan pembangkang. Pedoman inilah yang bila seseorang mengikutinya pasti akan mendapatkan apa yang telah Allah Subhanahu wa Ta’ala janjikan. Bahkan di dunia ia tidak akan tersesat dan tidak akan sengsara, sebagaimana Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: “Jika datang kepada kalian petunjuk dari-Ku, maka barangsiapa yang mengikuti petunjuk-Ku, ia tidak akan sesat dan tidak akan celaka. Barangsiapa yang berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta". (QS. Thaha:123-124). Ditambah pula dengan janji Allah Subhanahu wa Ta’ala, bahwa mereka tidak akan merasakan kekhawatiran dan tidak bersedih hati. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman : “Kemudian jika datang petunjuk-Ku kepada kalian, maka barang siapa yang mengikuti petunjuk-Ku, niscaya tidak ada kekhawatiran atas mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati. Adapun orang-orang yang kafir dan mendustakan ayat-ayat Kami, mereka itu penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.” (QS. Al Baqarah: 38-39). Dari ayat tersebut dipahami bahwa seseorang yang mengikuti petunjuk Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak akan bersedih –khususnya ketika meninggalkan dunia- atas urusan dunia yang tidak diperolehnya, di dunia ia tidak akan tersesat, dan di akhirat ia tidak akan sengsara, sebaliknya akan senantiasa bahagia di dalam surga nanti. (Ibn Katsir, tafsir S. Al Baqarah; 38-39, Zaydan : al-Sunan al-Ilahiyyah, http://saaid.net). Adapun bagi mereka yang mengingkari petunjuk Allah Subhanahu wa Ta’ala, membangkang dan berpaling, maka akan mendapatkan kehidupan yang sempit, dan di akhirat akan kekal di dalam neraka. Kebenaran Hanya didalam Islam Petunjuk Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah petunjuk yang sebenarnya, yang pantas dinamakan petunjuk. Di dalam Islam petunjuk ini disebut dengan al-huda atau al-hidâyah. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman : Katakanlah:"Sesungguhnya petunjuk Allah Subhanahu wa Ta’ala itulah petunjuk (yang sebenarnya)".(QS. Al Baqarah: 120). Hidayah inilah yang telah Allah Subhanahu wa Ta’ala berikan kepada Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam untuk disampaikan kepada umatnya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman; “Dialah yang mengutus Rasul-Nya dengan membawa petunjuk dan agama yang hak”. (QS. Al Fath:28). Hidayah tersebut adalah agama Islam, yang didalamnya terdapat petunjuk bagi seluruh manusia. Tidak ada sedikitpun petunjuk yang akan didapat diluar Islam, karena Allah Subhanahu wa Ta’ala sebagai satu-satunya pemilik hidayah telah menyatakan bahwa satu-satunya agama yang diridhai-Nya hanyalah Islam. “Sesungguhnya agama (yang diridhai) di sisi Allah hanyalah Islam”. (QS. Ali Imran:19). “Barangsiapa mencari agama selain dari agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia diakhirat termasuk orang-orang yang rugi”. (QS. Ali Imran:85). Ayat tersebut menjelaskan bahwa kebenaran hanya akan didapatkan di dalam Islam. Jika seseorang mencari kebenaran diluar Islam, atau membuat pola dan aturan sendiri yang diyakininya sebagai kebenaran, pada dasarnya ia berada dalam kesesatan dan kerugian. Kemudian, jalan kebenaran yang harus diikuti dan jalan kebathilan yang harus dijauhi itu telah dengan jelas diterangkan melalui wahyu-Nya, al-Qur’an dan hadits Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam. Abu Dzar z meriwayatkan sebuah hadits dari Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, dimana ia berkata:
تَرَكَنَا رَسُولُ اللَّهِ n، وَمَا طَائِرٌ يُقَلِّبُ جَنَاحَيْهِ فِي الْهَوَاءِ، إِلا وَهُوَ يُذَكِّرُنَا مِنْهُ عِلْمًا، قَالَ: فَقَالَ n : (( مَا بَقِيَ شَيْءٌ يُقَرِّبُ مِنَ الْجَنَّةِ، ويُبَاعِدُ مِنَ النَّارِ، إِلا وَقَدْ بُيِّنَ لَكُمْ )).
“Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam telah wafat meninggalkan kami, dan tidak seekorpun burung yang terbang membolak-balikkan kedua sayapnya di udara, beliau pasti telah menerangkan ilmunya kepada kami. Abu Dzar z berkata: Beliaupun telah bersabda: “Tidak tersisa sedikitpun sesuatu yang mendekatkan kalian ke surga, dan menjauhkan kalian dari neraka, sungguh pasti telah dijelaskan kepada kalian”.(Shahih, H.R Imam al-Thabrani dalam al-Mu’jam al-Kabir, 2/166 no. 1647). Dari penjelasan ayat dan hadits tersebut sangat jelas bahwa pemahaman para pengusung liberalisme dan pluralisme sangatlah menyesatkan. Mereka meyakini adanya nilai-nilai kebenaran diluar Islam, bahkan semuanya –tanpa melihat agama apapun- berada di jalan yang benar. Paham relativisme kebenaran yang berkonsekwensi meyakini adanya kebenaran pada semua agama ini telah menjadi masalah ushûl bagi para pengusung sepilis (sekularisme, pluralisme dan liberalisme). Dalam The New Oxford Dictionary of English dijelaskan makna relativisme adalah doktrin bahwa ilmu pengetahuan, kebenaran, dan moralitas ada (wujud) dalam kaitannya dengan budaya, masyarakat, maupun konteks sejarah, dan semua hal tersebut tidak bersifat mutlak. Dalam paham relativisme, apa yang dikatakan benar atau salah, baik atau buruk tidak bersifat mutlak, tapi senantiasa berubah-ubah dan bersifat relatif, tergantung pada individu lingkungan maupun kondisi sosial. Paham relativisme kebenaran inilah yang kemudian membuahkan paham pluralisme agama, dimana mereka menyatakan bahwa ‘semua agama adalah jalan yang sama-sama sah menuju Tuhan yang sama’, atau dengan kata lain ‘semua agama adalah jalan yang berbeda-beda menuju Tuhan yang sama’. Mereka, para liberalis dan pluralis serta orang-orang yang telah terkena virusnya, pasti akan senantiasa berada dalam kesempitan hidup, seperti yang Allah Subhanahu wa Ta’ala firmankan (lihat Q.S Thaha:123-124) akibat berpaling dari hidayah-Nya. Mereka tidak pernah sampai pada keimanan, karena senantiasa diliputi keraguan akan kebenaran Islam. Sikap skeptis inilah yang menjadikan mereka selalu terombang ambing, mengejar fatamorgana kebenaran yang tak akan pernah mereka dapatkan. Telah hilang dari diri mereka keimanan kepada wahyu Allah dan syariat Rasul-Nya. Yang ada hanyalah penghambaan kepada akal dan hawa nafsu mereka. Penutup Problem relativisme kebenaran adalah salah satu tantangan da’wah bagi para ulama, da’i, dan sarjana muslim yang mukhlis. Umat saat ini sangat membutuhkan bimbingan. Teramat banyak masalah yang sebenarnya ma’lûm min al-dîn bi al-dharûrah, tetapi belum diketahui dan dipahami dengan baik oleh umat Islam. Tentu, sebelum segalanya terlambat, diperlukan kerja keras dari para dâ’i ilallâh untuk menjelaskan kepada umat tentang ajaran Islam, baik secara global maupun terperinci dalam semua aspeknya, agar ketika datang serbuan musuh-musuh Islam kita dapat menghadapinya dengan langkah antisipatif dan persiapan yang matang. Tentu kita tidak menginginkan, masih ada saja seorang muslim yang ketika diberi nasihat untuk meninggalkan perbuatan maksiatnya, ia mengatakan: ‘yang pentingkan niatnya baik’, sebagai tanda pengabaian pada tuntunan syariat Islam yang harus diikuti, dan pemahamannya bahwa dibalik kemaksiatannya ia tengah berada ‘dijalan yang benar’, yang sangat mungkin ia telah terjangkiti virus liberal. DAFTAR PUSTAKA
Handrianto, Budi, 50 Tokoh Islam Liberal Indonesia; Pengusung Ide Sekularisme, Pluralisme, dan Liberalisme Agama, Jakarta: Hujjah Press, 2007. Zaidân, ‘Abdul Karîm, al-Sunan al-Ilâhiyyah fi al-Umam wa al-Jamâ’ât wa al-Afrâd fi al-Syarî’ah al-Islâmiyyah, Riyadh: Mu’assasah al-Risâlah, http://saaid.net/book/open.php?cat=81&book=3435, diakses tanggal 11/04/2009.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar