Ilmu Kalam
adalah salah satu dari empat disiplin keilmuan yang telah tumbuh dan menjadi
bagian dari tradisi kajian tentang agama Islam. Tiga lainnya ialah
disiplin-disiplin keilmuan Fiqh, Tasawuf, dan Falsafah. Jika Ilmu Fiqh
membidangi segi-segi formal peribadatan dan hukum, sehingga tekanan
orientasinya sangat eksoteristik, mengenai hal-hal lahiriah, dan Ilmu Tasawuf
membidangi segi-segi penghayatan dan pengamalan keagamaan yang lebih bersifat
pribadi, sehingga tekanan orientasinya pun sangat esoteristik, mengenai hal-hal
batiniah, kemudian Ilmu Falsafah membidangi hal-hal yang bersifat perenungan
spekulatif tentang hidup ini dan lingkupnya seluas-luasnya, maka Ilmu Kalam
mengarahkan pembahasannya kepada segi-segi mengenai Tuhan dan berbagai
derivasinya. Karena itu ia sering diterjemahkan sebagai Teologia, sekalipun
sebenarnya tidak seluruhnya sama dengan pengertian Teologia dalam agama
Kristen, misalnya. (Dalam pengertian Teologia dalam agama kristen, Ilmu Fiqh
akan termasuk Teologia). Karena itu sebagian kalangan ahli yang menghendaki
pengertian yang lebih persis akan menerjemahkan Ilmu Kalam sebagai Teologia
dialektis atau Teologia Rasional, dan mereka melihatnya sebagai suatu disiplin
yang sangat khas Islam.
Ilmu Kalam mengarahkan pembahasannya kepada
segi-segi mengenai Tuhan dan berbagai derivasinya. Karena itu ia sering
diterjemahkan sebagai Teologia
Sebagai
unsur dalam studi klasik pemikiran keislaman. Ilmu Kalam menempati
posisi yang cukup terhormat dalam tradisi keilmuan kaum Muslim. Ini terbukti
dari jenis-jenis penyebutan lain ilmu itu, yaitu sebutan sebagai Ilmu Aqd’id
(Ilmu Akidah-akidah, yakni, Simpul-simpul [Kepercayaan]), Ilmu Tawhid (Ilmu
tentang Kemaha-Esaan [Tuhan]), dan Ilmu Ushul al-Din (Ushuluddin, yakni, Ilmu
Pokok-pokok Agama). Di negeri kita, terutama seperti yang terdapat dalam sistem
pengajaran madrasah dan pesantren, kajian tentang
Ilmu Kalam merupakan suatu kegiatan yang tidak mungkin ditinggalkan.
Ditunjukkan oleh namanya sendiri dalam sebutan-sebutan lain tersebut di atas,
Ilmu Kalam menjadi tumpuan pemahaman tentang sendi-sendi paling pokok dalam
ajaran agama Islam, yaitu simpul-simpul kepercayaan, masalah Kemaha-Esaan
Tuhan, dan pokok-pokok ajaran agama.
Sebagai unsur dalam studi klasik pemikiran keislaman. Ilmu Kalam menempati
posisi yang cukup terhormat dalam tradisi keilmuan kaum Muslim. Ini terbukti
dari jenis-jenis penyebutan lain ilmu itu, yaitu sebutan sebagai Ilmu Aqd'id (Ilmu
Akidah-akidah, yakni, Simpul-simpul [Kepercayaan]), Ilmu Tawhid (Ilmu tentang
Kemaha-Esaan [Tuhan]), dan Ilmu Ushul al-Din (Ushuluddin, yakni, Ilmu
Pokok-pokok Agama). Di negeri kita, terutama seperti yang terdapat dalam sistem
pengajaran madrasah dan pesantren, kajian tentang Ilmu Kalam merupakan suatu
kegiatan yang tidak mungkin ditinggalkan. Ditunjukkan oleh namanya sendiri
dalam sebutan-sebutan lain tersebut di atas, Ilmu Kalam menjadi tumpuan
pemahaman tentang sendi-sendi paling pokok dalam ajaran agama Islam, yaitu
simpul-simpul kepercayaan, masalah Kemaha-Esaan Tuhan, dan pokok-pokok ajaran
agama. Karena itu, tujuan pengajaran Ilmu Kalam di madrasah dan pesantren ialah
untuk menanamkan paham keagamaan yang benar. Maka dari itu pendekatannya pun biasanya
doktrin, seringkali juga dogmatis.Meskipun begitu, dibanding dengan kajian tentang Ilmu Fiqh, kajian tentang Ilmu Kalam di kalangan kaum "Santri" masih kalah mendalam dan meluas. Mungkin dikarenakan oleh kegunaannya yang praktis, kajian Ilmu Fiqh yang membidangi masalah-masalah peribadatan dan hukum itu meliputi khazanah kitab dan bahan rujukan yang kaya dan beraneka ragam. Sedangkan kajian tentang Ilmu Kalam meliputi hanya khazanah yang cukup terbatas, yang mencakup jenjang-jenjang permulaan dan menengah saja, tanpa atau sedikit sekali menginjak jenjang yang lanjut (advanced). Berkenaan dengan hal ini dapat disebutkan contoh-contoh kitab yang banyak digunakan di negeri kita, khususnya di pesantren-pesantren, untuk pengajaran Ilmu Kalam. Yaitu dimulai dengan kitab 'Aqidat al-'Awamm (Akidat Kaum Awam), diteruskan dengan Bad' al-Amal (Pangkal Berbagai Cita) atau Jawharat al-Tauhid (Pertama Tauhid), mungkin juga dengan kitab Al-Sanusiyyah (disebut demikian karena dikarang oleh seseorang bernama al-Sanusi).
Disamping itu, sesungguhnya Ilmu Kalam tidak sama sekali bebas dari kontroversi atau sikap-sikap pro dan kontra, baik mengenai isinya, metodologinya, maupun klaim-klaimnya. Karena itu penting sekali mengerti secukupnya ilmu ini, agar terjadi pemahaman agama yang lebih seimbang.
Pertumbuhan Ilmu Kalam
Sama halnya
dengan disiplin-disiplin keilmuan Islam lainnya, Ilmu Kalam juga tumbuh
beberapa abad setelah wafat Nabi. Tetapi lebih dari disiplin-disiplin keilmuan
Islam lainnya, Ilmu Kalam sangat erat terkait dengan skisme dalam Islam. Karena
itu dalam penelusurannya ke belakang, kita akan sampai kepada peristiwa
pembunuhan 'Utsman Ibn 'Aff'an, Khalifah III. Peristiwa menyedihkan dalam
sejarah Islam yang sering dinamakan al-Fitnat al-Kubra (Fitnah Besar),
sebagaimana telah banyak dibahas, merupakan pangkal pertumbuhan masyarakat (dan
agama) Islam di berbagai bidang, khususnya bidang-bidang politik, sosial dan
paham keagamaan. Maka Ilmu Kalam sebagai suatu bentuk pengungkapan dan
penalaran paham keagamaan juga hampir secara langsung tumbuh dengan bertitik
tolak dari Fitnah Besar itu.
Sebelum
pembahasan tentang proses pertumbuhan Ilmu Kalam ini dilanjutkan, dirasa perlu
menyisipkan sedikit keterangan tentang Ilmu Kalam ('Ilm al-Kalam), dan akan
lebih memperjelas sejarah pertumbuhannya itu sendiri. Secara harfiah, kata-kata
Arab kalam, berarti "pembicaraan". Tetapi sebagai istilah, kalam
tidaklah dimaksudkan "pembicaraan" dalam pengertian sehari-hari,
melainkan dalam pengertian pembicaraan yang bernalar dengan menggunakan logika.
Maka ciri utama Ilmu Kalam ialah rasionalitas atau logika. Karena kata-kata
kalam sendiri memang dimaksudkan sebagai ter jemahan kata dan istilah Yunani
logos yang juga secara harfiah berarti "pembicaraan", tapi yang dari
kata itulah terambil kata logika dan logis sebagai derivasinya. Kata Yunani
logos juga disalin ke dalam kata Arab manthiq, sehingga ilmu logika, khususnya
logika formal atau silogisme ciptaan Aristoteles dinamakan Ilmu Mantiq ('Ilm
al-Mantiq). Maka kata Arab "manthiqi" berarti "logis".
Dari
penjelasan singkat itu dapat diketahui bahwa Ilmu Kalam amat erat kaitannya
dengan Ilmu Mantiq atau Logika. Itu, bersama dengan Falsafah secara
keseluruhan, mulai dikenal orang-orang Muslim Arab setelah mereka menaklukkan
dan kemudian bergaul dengan bangsa-bangsa yang berlatar-belakang peradaban
Yunani dan dunia pemikiran Yunani (Hellenisme). Hampir semua daerah menjadi
sasaran pembebasan (fat'h, liberation) orang-orang Muslim telah terlebih dahulu
mengalami Hellenisasi (disamping Kristenisasi). Daerah-daerah itu ialah Syria,
Irak, Mesir dan Anatolia, dengan pusat-pusat Hellenisme yang giat seperti
Damaskus, Atiokia, Harran, dan Aleksandria. Persia (Iran) pun, meski tidak
mengalami Kristenisasi (tetap beragama Majusi atau Zoroastrianisme), juga
sedikit banyak mengalami Hellenisasi, dengan Jundisapur sebagai pusat
Hellenisme Persia.
Adalah untuk
keperluan penalaran logis itu bahan-bahan Yunani diperlukan. Mula-mula ialah
untuk membuat penalaran logis oleh orang-orang yang melakukan pembunuhan
'Utsm'an atau menyetujui pembunuhan itu. Jika urutan penalaran itu
disederhanakan, maka kira-kira akan berjalan seperti ini: Mengapa 'Utsman boleh
atau harus dibunuh? Karena ia berbuat dosa besar (berbuat tidak adil dalam
menjalankan pemerintahan) padahal berbuat dosa besar adalah kekafiran. Dan
kekafiran, apalagi kemurtadan (menjadi kafir setelah Muslim), harus dibunuh.
Mengapa perbuatan dosa besar suatu kekafiran? Karena manusia berbuat dosa
besar, seperti kekafiran, adalah sikap menentang Tuhan. Maka harus dibunuh!
Dari jalan pikiran itu, para (bekas) pembunuh 'Utsman atau pendukung mereka
menjadi cikal-bakal kaum Qadari, yaitu mereka yang berpaham Qadariyyah, suatu
pandangan bahwa manusia mampu menentukan amal perbuatannya, maka manusia mutlak
bertanggung jawab atas segala perbuatannya itu, yang baik dan yang buruk.
Para
pembunuh 'Utsman itu, menurut beberapa petunjuk kesejarahan, menjadi pendukung
kekhalifahan 'Ali Ibn Abi Thalib, Khalifah IV. Ini disebutkan, misalnya, oleh
Ibn Taymiyyah, sebagai berikut:
Sebagian
besar pasukan Ali, begitu pula mereka yang memerangi Ali dan mereka yang
bersikap netral dari peperangan itu bukanlah orang-orang yang membunuh 'Utsman.
Sebaliknya, para pembunuh 'Utsman itu adalah sekelompok kecil dari pasukan
'Ali, sedangkan umat saat kekhalifahan 'Utsman itu berjumlah dua ratus ribu
orang, dan yang menyetujui pembunuhannya seribu orang sekitar itu.[1]
Tetapi
mereka kemudian sangat kecewa kepada 'Ali, karena Khalifah ini menerima usul
perdamaian dengan musuh mereka, Mu'awiyah ibn Abu Sufyan, dalam "Peristiwa
Shiffin" di situ 'Ali mengalami kekalahan di plomatis dan kehilangan
kekuasaan "de jure"-nya. Karena itu mereka memisahkan diri dengan
membentuk kelompok baru yang kelak terkenal dengan sebutan kaum Khawarij
(al-Kahwarij, kaum Pembelot atau Pemberontak). Seperti sikap mereka terhadap
'Utsman, kaum Khawarij juga memandang 'Ali dan Mu'awiyah sebagai kafir karena
mengkompromikan yang benar (haqq) dengan yang palsu (bathil). Karena itu mereka
merencanakan untuk membunuh 'Ali dan Mu'awiyah, juga Amr ibn al-'Ash, gubernur
Mesir yang sekeluarga membantu Mu'awiyah mengalahkan Ali dalam "Peristiwa
Shiffin" tersebut. Tapi kaum Khawarij, melalui seseorang bernama Ibn
Muljam, berhasil membunuh hanya 'Ali, sedangkan Mu'awiyah hanya mengalami
luka-luka, dan 'Amr ibn al-'Ash selamat sepenuhnya (tapi mereka membunuh seseorang
bernama Kharijah yang disangka 'Amr, karena rupanya mirip).
Karena
sikap-sikap mereka yang sangat ekstrem dan eksklusifistik, kaum Khawarij
akhirnya boleh dikatakan binasa. Tetapi dalam perjalanan sejarah pemikiran
Islam, pengaruh mereka tetap saja menjadi pokok problematika pemikiran Islam.
Yang paling banyak mewarisi tradisi pemikiran Khawarij ialah kaum Mu'tazilah.
Mereka inilah sebenarnya kelompok Islam yang paling banyak mengembangkan Ilmu
Kalam seperti yang kita kenal sekarang. Berkenaan dengan Ibn Taymiyyah
mempunyai kutipan yang menarik dari keterangan salah seorang 'ulama' yang
disebutnya Imam 'Abdull'ah ibn al-Mubarak. Menurut Ibn Taymiyyah, sarjana itu
menyatakan demikian:
Agama adalah
kepunyaan ahli (pengikut) Hadits, kebohongan kepunyaan kaum Rafidlah, (ilmu)
Kalam kepunyaan kaum Mu'tazilah, tipu daya kepunyaan (pengikut) Ra'y (temuan
rasional) ...
Karena itu
ditegaskan oleh Ibn Taymiyyah bahwa Ilmu Kalam adalah keahlian khusus kaum
Mu'tazilah. Maka salah satu ciri pemikiran Mu'tazili ialah rasionalitas dan paham
Qadariyyah. Namun sangat menarik bahwa yang pertama kali benar-benar
menggunakan unsur-unsur Yunani dalam penalaran keagamaan ialah seseorang
bernama Jahm ibn Shafwan yang justru penganut paham Jabariyyah, yaitu pandangan
bahwa manusia tidak berdaya sedikit pun juga berhadapan dengan kehendak dan
ketentuan Tuhan. Jahm mendapatkan bahan untuk penalaran Jabariyyah-nya dari
Aristotelianisme, yaitu bagian dari paham Aristoteles yang mengatakan bahwa
Tuhan adalah suatu kekuatan yang serupa dengan kekuatan alam, yang hanya
mengenal keadaan-keadaan umum (universal) tanpa mengenal keadaan-keadaan khusus
(partikular). Maka Tuhan tidak mungkin memberi pahala dan dosa, dan segala
sesuatu yang terjadi, termasuk pada manusia, adalah seperti perjalanan hukum
alam. Hukum alam seperti itu tidak mengenal pribadi (impersonal) dan bersifat
pasti, jadi tak terlawan oleh manusia. Aristoteles mengingkari adanya Tuhan
yang berpribadi personal God. Baginya Tuhan adalah kekuatan maha dasyat namun
tak berkesadaran kecuali mengenai hal-hal universal. Maka mengikuti Aristoteles
itu Jahm dan para pengikutpya sampai kepada sikap mengingkari adanya sifat bagi
Tuhan, seperti sifat-sifat kasib, pengampun, santun, maha tinggi, pemurah, dan
seterusnya. Bagi mereka, adanya sifat-sifat itu membuat Tuhan menjadi ganda,
jadi bertentangan dengan konsep Tauhid yang mereka akui sebagai hendak mereka
tegakkan. Golongan yang mengingkari adanya sifat-sifat Tuhan itu dikenal
sebagai al-Nufat ("pengingkar" [sifat-sifat Tuhan]) atau al-Mu'aththilah
("pembebas" [Tuhan dari sifat-sifat]).
Kaum Mu'tazilah menolak paham Jabiriyyah-nya kaum Jahmi. Kaum Mu'tazilah
justru menjadi pembela paham Qadariyyah seperti halnya kaum Khawarij. Maka kaum
Mu'tazilah disebut sebagai "titisan" doktrinal (namun tanpa gerakan
politik) kaum Khawarij. Tetapi kaum Mu'tazilah banyak mengambil alih sikap kaum
Jahmi yang mengingkari sifat-sifat Tuhan itu. Lebih penting lagi, kaum Mu'tazilah
meminjam metologi kaum Jahmi, yaitu penalaran rasional, meskipun dengan
berbagai premis yang berbeda, bahkan berlawanan (seperti premis kebebasan dan
kemampuan manusia). Hal ini ikut membawa kaum Mu'tazilah kepada penggunaan
bahan-bahan Yunani yang dipermudah oleh adanya kegiatan penerjemahan buku-buku
Yunani, ditambah dengan buku-buku Persi dan India, ke dalam bahasa Arab.
Kegiatan itu memuncak di bawah pemerintahan al-Ma'mun ibn Harun al-Rasyid.
Penterjemahan itu telah mendorong munculnya Ahli Kalam dan Falsafah. Khalifah al-Ma'mun sendiri, di tengah-tengah pertikaian paham berbagai kelompok Islam, memihak kaum Mu'tazilah melawan kaum Hadits yang dipimpin oleh Ahmad ibn Hanbal (pendiri mazhab Hanbali, salah satu dari empat mazhab Fiqh). Lebih dari itu, Khalifah al-Ma'mun, dilanjutkan oleh penggantinya, Khalifah al-Mu'tashim, melakukan mihnah (pemeriksaan paham pribadi, inquisition), dan menyiksa serta menjebloskan banyak orang, termasuk Ahmad ibn Hanbal, ke dalam penjara. Salah satu masalah yang diperselisihkan ialah apakah Kalam atau Sabda Allah, berujud al-Qur'an, itu qadim (tak terciptakan karena menjadi satu dengan Hakikat atau Dzat Ilahi) ataukah hadits (terciptakan, karena berbentuk suara yang dinyatakan dalam huruf dan bahasa Arab)? Khalifah al-Ma'mun dan kaum Mu'tazilah berpendapat bahwa Kalam Allah itu hadits, sementara kaum Hadits (dalam arti Sunnah, dan harap diperhatikan perbedaan antara kata-kata hadits [a dengan topi] dan hadits [i dengan topi]) berpendapat al-Qur'an itu qadim seperti Dzat Allah sendiri. Pemenjaraan Ahmad ibn Hanbal adalah karena masalah ini.
Mihnah itu memang tidak berlangsung terlalu lama, dan orang pun bebas kembali. Tetapi ia telah meninggalkan luka yang cukup dalam pada tubuh pemikiran Islam, yang sampai saat inipun masih banyak dirasakan orang-orang Muslim. Namun jasa al-Ma'mun dalam membuka pintu kebebasan berpikir dan ilmu pengetahuan tetap diakui besar sekali dalam sejarah umat manusia. Maka kekhalifahan al-Ma'mun (198-218 H/813-833 M), dengan campuran unsur-unsur positif dan negatifnya, dipandang sebagai salah satu tonggak sejarah perkembangan pemikiran Islam, termasuk perkembangan Ilmu Kalam, dan juga Falsafah Islam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar