TAFSIR SURAH ARRUM AYAT
21
Artinya : “Dan di antara ayat-ayat-Nya ialah Dia menciptakan
untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu merasa nyaman kepadanya,
dan dijadikan-Nya di antaramu mawadah dan rahmah. Sesungguhnya pada yang
demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir” [Ar-Rum
21].
Ayat ini berkenaan dengan ayat pernikahan, maka pda
kesempatan kali ini kami akan memaparkan tentang pernikahan itu sendri.
Pernikahan artinya menjalin kecintaan dan kerjasama, mendahulukan kepentingan
orang lain dan pengorbanan, ketentraman dan mawaddah, hubungan rohani yang
mulia dan keterikatan jasad yang disyari’atkan.
Pernikahan artinya rumah yang tiangnya adalah Adam
dan Hawwa, dan dari keduanya terbentuk keluarga-keluarga dan
keturunan-keturunan, lalu rumah-rumah, lalu komunitas, lalu muncul berbagai
bangsa dan negara. Dalam hal ini, Allah subhanahu wata’ala berfirman, artinya,
“Dan Dia (pula) yang menciptakan manusia dari air,
lalu Dia jadikan manusia itu (punya) keturunan dan mushaharah.” (al-Furqan:54).
Mushaharah yaitu hubungan kekeluargaan yang
disebabkan oleh ikatan perkawinan, seperti menantu, mertua, ipar, dan
sebagainya. Pernikahan adalah benteng yang dapat menekan kejalangan nafsu
seksual seseorang, mendorong keinginan syahwatnya, menjaga kemaluan dan kehormatannya
serta menghalanginya dari keterjerumusan ke dalam lubang-lubang maksiat dan
sarang-sarang perbuatan keji.
Kita melihat bagaimana al-Qur’an membangkitkan pada
diri masing-masing pasangan suami-istri suatu perasaan bahwa masing-masing
mereka saling membutuhkan satu sama lain dan saling menyempurnakan kekurangan.
Sesungguhnya wanita adalah ran ting dari laki-laki dan laki-laki adalah akar bagi wanita. Karena itu, akar selalu membutuhkan ranting dan ran ting selalu membutuhkan akar.” Mengenai hal ini, Allah subhanahu wata’ala berfirman, artinya,
Sesungguhnya wanita adalah ran ting dari laki-laki dan laki-laki adalah akar bagi wanita. Karena itu, akar selalu membutuhkan ranting dan ran ting selalu membutuhkan akar.” Mengenai hal ini, Allah subhanahu wata’ala berfirman, artinya,
“Dialah Yang
menciptakan kamu dari diri yang satu dan daripadanya Dia menciptakan istrinya,
agar dia merasa senang kepadanya.” (al-A’raf:189).
Yang dimaksud dengan diri yang satu adalah Adam dan
yang dimaksud istrinya adalah Hawwa. Karena itu, pernikahan menurut Islam bukan
hanya sekedar menjaga keutuhan jenis manusia saja, tetapi lebih dari itu adalah
menjalankan perintah Allah subhanahu wata’ala sebagaimana dalam firman-Nya,
artinya,
“Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi.”(an-Nisa`:3)
“Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi.”(an-Nisa`:3)
Di bawah naungan ajaran Islam, kedua pasangan suami
istri menjalani hidup mereka dalam kesenyawaan dan kesatuan dalam segala hal;
kesatuan perasaan, kesatuan hati dan dorongan, kesatuan cita-cita dan tujuan
akhir hidup dan lain-lain.
Di antara keagungan al-Qur’an dan kesempurnaannya,
kita melihat semua makna tersebut, baik yang sempat terhitung atau pun tidak,
tercermin pada satu ayat al-Qur’an, yaitu:
“Mereka itu adalah pakaian bagimu, dan kamu pun
adalah pakaian bagi mereka.” (al-Baqarah:187)
Makna Sakinah, Mawaddah
dan Rahmah
Al-Qur’an telah menggambarkan hubungan insting dan
perasaan di antara kedua pasangan suami-istri sebagai salah satu dari
tanda-tanda kebesaran Allah dan nikmat yang tidak terhingga dari-Nya. Allah
subhanahu wata’ala berfirman, artinya,
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia
menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung
dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan
sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda
bagi kaum yang berpikir.” (ar-Rum:21)
Kecenderungan dan rasa tentram suami kepada istri
dan kelengketan istri dengan suaminya merupakan hal yang bersifat fitrah dan
sesuai dengan instingnya. Ayat ini merupakan pondasi kehidupan yang diliputi
suasana perasaan yang demikian sejuk. Isteri ibarat tempat suami bernaung,
setelah perjuangannya seharian demi mendapatkan sesuap nasi, dan mencari
penghiburnya setelah dihinggapi rasa letih dan penat. Dan, pada putaran
akhirnya, semua keletihannya itu ditumpahkan ke tempat bernaung ini. Ya, kepada
sang istri yang harus menerimanya dengan penuh rasa suka, wajah yang ceria dan
senyum. Ketika itulah, sang suami mendapatkan darinya telinga yang mendengar
dengan baik, hati yang welas asih dan tutur kata yang lembut.
Profil wanita shalihah ditegaskan melalui tujuan ia
diciptakan, yaitu menjadi ketentraman bagi laki-laki dengan semua makna yang
tercakup dalam kata “Ketentraman (sakinah) itu. Dan, agar suatu ketentraman
dikatakan layak, maka ia (wanita) harus memiliki beberapa kriteria, di antara
yang terpenting; Pemiliknya merasa suka bila melihat padanya; Mampu menjaga
keluarga dan hartanya; Tidak membiarkan orang yang menentang nya tinggal
bersamanya.
Terkait dengan
surat ar-Rûm, ayat 21 di atas, ada beberapa renungan:
Renungan Pertama. Abu al-Hasan al-Mawardy berkata
mengenai makna, “Dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang.”
(ar-Rum:21). Di dalam ayat ini terdapat empat pendapat:
Pertama, bahwa arti Mawaddah (rasa kasih) adalah
al-Mahabbah (kecintaan) sedangkan arti Rahmah (rasa sayang) adalah asy-Syafaqah
(rasa kasihan).
Ke-dua, bahwa arti Mawaddah adalah al-Jimâ’ (hubungan badan) dan Rahmah adalah al-Walad (anak)
Ke-dua, bahwa arti Mawaddah adalah al-Jimâ’ (hubungan badan) dan Rahmah adalah al-Walad (anak)
Ke-tiga, bahwa arti Mawaddah adalah mencintai orang
besar (yang lebih tua) dan Rahmah adalah welas asih terhadap anak kecil (yang
lebih muda).
Ke-empat, bahwa arti keduanya adalah saling berkasih
sayang di antara pasangan suami-isteri. (al-Mawardy: an-Nukat Wa al-’Uyûn)
Ibn Katsir berkata, “Di antara tanda kebesaran-Nya
yang menunjukkan keagungan dan kesempurnaan kekuasaan-Nya, Dia menciptakan
wanita yang menjadi pasangan kamu
berasal dari jenis kamu sendiri sehingga kamu
cenderung dan tenteram kepadanya. Andaikata Dia menjadikan semua Bani Adam
(manusia) itu laki-laki dan menjadikan wanita dari jenis lain selain mereka,
seperti bila berasal dari bangsa jin atau hewan, maka tentu tidak akan terjadi
kesatuan hati di antara mereka dan pasangan (istri) mereka, bahkan sebaliknya
membuat lari, bila pasangan tersebut berasal dari lain jenis. Kemudian, di
antara kesempurnaan rahmat-Nya kepada Bani Adam, Dia menjadikan pasangan mereka
dari jenis mereka sendiri dan menjadikan di antara sesama mereka rasa kasih
(mawaddah), yakni cinta dan rasa sayang (rahmah), rasa kasihan. Sebab, bisa
jadi seorang laki-laki mengikat wanita karena rasa cinta atau kasih terhadapnya
hingga mendapat kan keturunan darinya atau ia (si wanita) butuh kepadanya dalam
hal nafkah atau agar terjadi kedekatan hati di antara keduanya, dan lain
sebagainya” (Tafsir Ibn Katsir)
Renungan ke Dua. Mari kita renungi sejenak
firman-Nya, “dari jenismu sendiri.” Istri adalah manusia yang mulia di mana
terjadi persamaan jenis antara dirinya dan suami, sedangkan laki-laki memiliki
tingkatan Qiwâmah (kepempimpinan) atas wanita (baca: al-Baqarah:228).
Kepemimpinan suami bukan artinya bertindak otoriter dengan membungkam pendapat orang lain (istri,red). Kepemimpinannya itu ibarat rambu lalu lintas yang mengatur perjalanan tetapi tidak untuk memberhentikannya. Karena itu, kepemimpinan laki-laki tidak berarti menghilangkan peran wanita dalam berpendapat dan bantuannya di dalam membina keluarga.
Renungan ke Tiga. Rasa aman, ketenteraman dan
kemantapan dapat membawa keselamatan bagi anak-anak dari setiap hal yang mengancam
eksistensi mereka dan membuat mereka menyimpang serta jauh dari jalan yang
lurus, sebab mereka tumbuh di dalam suatu ‘lembaga’ yang bersih, tidak terdapat
kecurangan maupun campur tangan, di dalamnya telah jelas hak-hak dan arah
kehidupan, masing-masing individu melakukan kewajiban nya sebagaimana sabda
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam,
“Setiap kamu adalah pemimpin dan setiap pemimpin
bertanggung jawab atas yang dipimpinnya.”
Kepemimpinan sudah ditentukan dan masing-masing
individu sudah rela terhadap yang lainnya dengan tidak melakukan hal yang
melampaui batas. Inilah makna firman-Nya dalam surat an-Nisâ`, ayat 34
.Renungan ke Empat. Masing-masing pasangan
suami-isteri harus saling menghormati pendapat yang lainnya. Harus ada diskusi
yang didasari oleh rasa kasih sayang tetapi sebaiknya tidak terlalu panjang dan
sampai pada taraf berdebat. Sebaiknya pula salah satu mengalah terhadap
pendapat yang lain apalagi bila tampak kekuatan salah satu pendapat, sebab
diskusi obyektif yang diasah dengan tetesan embun rasa kasih dan cinta akan
mengalahkan semua bencana demi menjaga kehidupan rumah tangga yang bahagia.
Renungan ke Lima. Rasa kasih dan sayang yang
tertanam sebagai fitrah Allah subhanahu wata’ala di antara pasangan
suami-isteri akan bertambah seiring dengan bertambahnya kebaikan pada keduanya.
Sebaliknya, akan berkurang seiring menurunnya kebaikan pada keduanya sebab
secara alamiah, jiwa mencintai orang yang memperlaku kanya dengan lembut dan
selalu berbuat kebaikan untuknya. Nah, apalagi bila orang itu adalah suami atau
isteri yang di antara keduanya terdapat rasa kasih dari Allah subhanahu
wata’ala, tentu rasa kasih itu akan semakin bertambah dan menguat. Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Dunia itu adalah kesenangan dan sebaik-baik
kesenangannya adalah wanita shalihah.”
Renungan ke Enam. Kesan terbaik yang didapat dari
rumah tangga Nabawi adalah terjaganya hak dalam hubungan suami-isteri baik
semasa hidup maupun setelah mati. Hal ini dapat terlihat dari ucapan istri
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tercinta, ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha
yang begitu cemburu terhadap Khadijah radhiyallahu ‘anha, istri pertama beliau
padahal ia sudah wafat dan belum pernah dilihatnya. Hal itu semata karena
beliau sering mengingat kebaikan dan jasanya.
Semoga Allah subhanahu wata’ala menjadikan rumah
tangga kaum Muslimin rumah tangga yang selalu diliputi sakinah, mawaddah dan
rahmah. Dan hal ini bisa terealisasi, manakala kaum Muslimin kembali kepada
ajaran Rasul mereka dan mencontoh kehidupan rumah tangga beliau.
DAFTAR PUSTAKA
. Imam Ibn Jarir رحمه الله (w. 310 H)
dalam Tafsir Jami Al-Bayan (20/86),
2. Imam Al-Mawardi رحمه الله (w. 450 H)
dalam Tafsir (3/315),
3. Al-Hafizh Ibn Jauzi رحمه الله (w. 597 H)
dalam Tafsir Zadul Masir (5/94),
4. Imam Al-Qurthubi رحمه الله (w. 671 H)
dalam Tafsir (14/17),
5. Imam Ibn Hayan Al-Andalusi رحمه الله (w. 745 H)
dalam Tafsir Al-Bahr Al-Muhyith (9/77),
6. Al-Hafizh Ibn Katsir رحمه الله (w. 774 H)
dalam Tafsir (6/309),
7. Imam As-Sayuthi رحمه الله (w. 911 H)
dalam Tafsir Dur Mantsur (11/595),
8. Imam As-Syaukani رحمه الله (w. 1250 H)
dalam Tafsir Fathul Qadir (5/464),
9. Imam Al-Alusy رحمه الله (w. 1270 H)
dalam Ruhul Ma’ani (15/348).
bagus,, jadi tau tentang surah ar ruum
BalasHapus