BAB II
PEMBAHASAN
A. Kesaksian
dalam Thalaq
Apabila
dalam pada satat akad nikah disaksikan ijab qabulnya, maka pada saat bercerai
pun disaksikan pula agar tidak ada pihak-pihak yang memungkiri perceraian itu.
1. Jumhur
Fuqaha
Menurut Jumhur Fuqaha dari kalangan salaf dan khalaf talak bisa jatuh (berlangsung) tanpa ada saksi, sebab talaq adalah hak suami.
“Apabila mereka Telah mendekati akhir iddahnya, Maka rujukilah mereka dengan baik atau lepaskanlah mereka dengan baik …” (Q.S. ath-Thalaq : 2)
2. Syi’ah
Imamiyah
Ulama Syi’ah Imamiyah berpendapat bahwa saksi itu menjadi syarat sah thalaq. Mereka berpegang kepada firman Allah:
“…dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di antara kamu dan hendaklah kamu tegakkan kesaksian itu karena Allah...” (Q.S. ath-Thalaq : 2)
Dilihat dari lahir ayat tersebut, ada perintah lamar untuk menyaksikan talak itu, menurut ahli bait, amar itu menunjukkan atas wajib dan menjadi syarat sah thalaq.
Di antara yang membedakan Syi’ah
Imamiyah dari mazhab-mazhab lainnya adalah pendapat Imamiyah bahwa kesaksian
dua orang yang adil merupakan syarat dalam jatuhnya talak. Jika tidak ada dua
orang saksi yang adil maka talak itu tidak sah. Hal ini ditentang oleh para
fukaha yang lain
Syekh ath-Thusi berkata, “Setiap talak yang tidak disaksikan oleh dua orang Muslim yang adil, walaupun terpenuhi syarat- syarat lainnya, adalah tidak sah. Hal ini ditentang oleh semua fukaha lain dan tidak seorang pun di antara mereka yang menganggap keharusan adanya saksi.”
Syekh ath-Thusi berkata, “Setiap talak yang tidak disaksikan oleh dua orang Muslim yang adil, walaupun terpenuhi syarat- syarat lainnya, adalah tidak sah. Hal ini ditentang oleh semua fukaha lain dan tidak seorang pun di antara mereka yang menganggap keharusan adanya saksi.”
Pembahasan ini tidak terdapat di
dalam kitab-kitab fiqih Ahlu- sunah. Masalah tersebut hanya terbatas pada
pendapat-pendapat mereka dalam kitab-kitab tafsir ketika menafsirkah firman
Allah swt, “Apabila mereka telah mendekati akhir iddahnya, maka rujuklah mereka
dengan baik ata.u lepaskanlah mereka dengan baik dan persaksikanlah dengan dua
orang saksi yang adil di antara kamu dan hendaklah kamu tegakkan kesaksian itu
karena Allah.” ( QS. ath- Thalaq [65 ] : 2) .Ada di antara mereka yang
menjadikan kesaksian itu sebagai syarat dalam talak dan rujuk dan adapula yang
menjadikannya sebagai syarat khusus dalam rujuk yang dipahami dari kalimat:
maka rujuklah mereka dengan baik.
Ath- Thabari meriwayatkan hadis dari
as- Saddi bahwa ia menafsirkan firman Allah swt: dari persaksikanlah dengan dua
orang saksi yang adil di antara kamu kadang-kadang dalam rujuk. la pun berkata,
“Hadirkanlah saksi dalam menahan itu jika mereka menahan istri-istrinya.” Yang
dimaksud adalah rujuk. Di tempat lain disebutkan bahwa persaksian itu dalam
rujuk dan dalam talak. la berkata, “(Persaksian itu) adalah ketika dilakukan
talak dan ketika dilakukan rujuk.”
Dinukil dari Ibn ‘Abbas bahwa ia menafsirkannya (persaksian itu) dalam talak dan rujuk.
Dinukil dari Ibn ‘Abbas bahwa ia menafsirkannya (persaksian itu) dalam talak dan rujuk.
As-Suyuthi berkata, “‘Abdur Razzaq
meriwayatkan hadis dari ‘Atha’: Nikah itu dengan saksi, talak itu dengan saksi,
dan rujuk itu juga dengan saksi.”
‘Imran bin Hushain ditanya tentang seorang laki-laki yang menalak istrinya tanpa kehadiran saksi dan merujuknya kembali tanpa kehadiran saksi. la menjawab, “Itu merupakan seburuk-buruk perbuatan. la menalak istrinya dengan cara bid’ah dan merujuknya kembali dengan tidak mengikuti sunah. Hendaklah ia menghadirkan saksi dalam talak dan rujuknya. Dan hendaklah ia memohon ampunan kepada Allah.”
‘Imran bin Hushain ditanya tentang seorang laki-laki yang menalak istrinya tanpa kehadiran saksi dan merujuknya kembali tanpa kehadiran saksi. la menjawab, “Itu merupakan seburuk-buruk perbuatan. la menalak istrinya dengan cara bid’ah dan merujuknya kembali dengan tidak mengikuti sunah. Hendaklah ia menghadirkan saksi dalam talak dan rujuknya. Dan hendaklah ia memohon ampunan kepada Allah.”
Al-Qurthubi berkata, “Firman Allah
swt: …dan persaksikanlah …memerintahkan kepada kita untuk menghadirkan saksi
dalam melakukan talak. Ada pula yang berpendapat bahwa harus menghadirkan saksi
dalam melakukan rujuk. Yang jelas, keharusan persaksian itu adalah dalam rujuk,
tidak dalam talak. Kemudian, persaksian itu hukumnya mandub (sunah) menurut Abu
Hanifah, seperti firman Al1ah swt, dan persaksikanlah jika kalian melakukan
jual beli. ” Sedangkan menurut Imam Syafi’i, persaksian itu wajib dalam rujuk.
Al-Alusi berkata, “Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil ketika melakukan rujuk jika kalian memilihnya atau ketika melakukan talak jika kalian memilihnya sebagai upaya melepaskan diri dari kecurigaan.”
Masih banyak pendapat-pendapat lain tentalig penafsiran ayat tersebut.
Ada dua ulama yang mengungkapkan hakikat ini. Mereka adalah Ahmad Muhammad Syakir al-Qadhi al-Mishri dan Syekh Abu Zahrah. Ahmad Muhammad Syakir al-Qadhi al-Mishri, setelah menukil dua ayat pertama surah ath- Thalaq, mengatakan, “Yang tampak dari konteks kedua ayat itu adalah bahwa firman Allah …dan persaksikanlah …berlaku dalam talak dan rujuk sekaligus. Perintah itu menunjukkan wajib karena madlul (yang ditunjukkannya) adalah sesuatu hakiki. Perintah itu tidak ditujukan pada sesuatu yang bukan wajib-seperti mandub-kecua1i dengan adanya qarinah. Sedangkan di sini tidak ada qarinah yang memalingkannya pada selain wajib. Bahkan qarinah-qarinah yang ada di sini menegaskan pengertiannya sebagai sesuatu yang wajib.”
Selanjutnya ia mengatakan, “Barangsiapa yang menghadirkan saksi dalam melakukan talak maka talaknya itu dilakukan sesuai dengan cara yang telah diperintahkan. Seperti itu pula orang yang menghadirkan saksi dalam melakukan rujuk. Barangsiapa yang tidak melakukan demikian, ia telah melalaikan hukum-hukum Allah yang telah ditetapkan sehingga perbuatannya itu menjadi batal, tidak menghasilkan konsekuensi apa-apa.”
Al-Alusi berkata, “Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil ketika melakukan rujuk jika kalian memilihnya atau ketika melakukan talak jika kalian memilihnya sebagai upaya melepaskan diri dari kecurigaan.”
Masih banyak pendapat-pendapat lain tentalig penafsiran ayat tersebut.
Ada dua ulama yang mengungkapkan hakikat ini. Mereka adalah Ahmad Muhammad Syakir al-Qadhi al-Mishri dan Syekh Abu Zahrah. Ahmad Muhammad Syakir al-Qadhi al-Mishri, setelah menukil dua ayat pertama surah ath- Thalaq, mengatakan, “Yang tampak dari konteks kedua ayat itu adalah bahwa firman Allah …dan persaksikanlah …berlaku dalam talak dan rujuk sekaligus. Perintah itu menunjukkan wajib karena madlul (yang ditunjukkannya) adalah sesuatu hakiki. Perintah itu tidak ditujukan pada sesuatu yang bukan wajib-seperti mandub-kecua1i dengan adanya qarinah. Sedangkan di sini tidak ada qarinah yang memalingkannya pada selain wajib. Bahkan qarinah-qarinah yang ada di sini menegaskan pengertiannya sebagai sesuatu yang wajib.”
Selanjutnya ia mengatakan, “Barangsiapa yang menghadirkan saksi dalam melakukan talak maka talaknya itu dilakukan sesuai dengan cara yang telah diperintahkan. Seperti itu pula orang yang menghadirkan saksi dalam melakukan rujuk. Barangsiapa yang tidak melakukan demikian, ia telah melalaikan hukum-hukum Allah yang telah ditetapkan sehingga perbuatannya itu menjadi batal, tidak menghasilkan konsekuensi apa-apa.”
Kemudian ia menambahkan, “Syi’ah
berpendapat wajibnya menghadirkan saksi dalam talak, karena hal itu merupakan
salah satu rukunnya. Tetapi mereka tidak mewajibkannya dalam rujuk. Membedakan
di antara keduanya merupakan sesuatu yang aneh, tanpa dalil.”
Abu Zahrah berkata, “Para fukaha
Syi’ah lmamiyah dan Isma’iliyah mengatakan bahwa talak itu tidak sah tanpa
kehadiran dua orang saksi yang adil. Hal itu berdasarkan firman Allah swt
tentang. hukum-hukum talak dalam surat ath-Thalaq, “… dan persaksikanlah dengan
dua orang saksi yang adil di antara kamu dan hendaklah kamu tegakkan kesaksian
itu karena Allah. Demikianlah diberi pengajaran dengan itu orang yang beriman
kepada Allah dan hari akhirat. Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah niscaya
Dia akan mengadakan baginya jalan keluar: Dan Dia memberinya rezeki dari arah
yang tiada disangka-sangkanya” (QS. ath-Thalaq[65]: 2-3). Perintah untuk
menghadirkan saksi ini datang setelah menyebutkan ditetapkannya talak dan
dibolehkannya rujuk. Maka yang pantas adalah memberlakukan persaksian itu dalam
talak. Alasan ditetapkannya persaksian itu adalah untuk memberikan pelajaran
kepada orang- orang yang beriman kepada Allah dan hari akhirat. Sehingga hal
itu akan menjernihkan dan menguatkan imannya. Sebab, kehadiran saksi yang adil
tidak luput dari pelajaran yang baik yang dipersembahkan kepada pasangan
suami-istri tersebut. Maka mereka berdua mendapatkan jalan ke luar untuk
menghindari talak yang merupakan sesuatu yang halal tetapi paling dibenci Allah
swt. Ka1au kami boleh memilih untuk diberlakukan di Mesir, tentu kami akan
memilih pendapat ini. Sehingga bagi sahnya talak, disyaratkan kehadiran dua
orang saksi yang adil.”
Uraian di atas menunjukkan adanya
kelompok yang berpendapat bahwa persaksian itu berlaku dalam rujuk saja dan ada
pula yang berpendapat bahwa persaksian itu berlaku dalam rujuk dan talak. Tidak
ada yang berpendapat bahwa persaksian itu berlaku dalam talak saja kecuali yang
saya ketahui dari ucapan Abu Zahrah. Berkenaan dengan itu, setelah menukil teks
tersebut, kami harus mendalami dan mengambil petunjuk dari Kitab Allah untuk
me- netapkannya.
Allah swt berfirman, “Hai Nabi, Apabila kamu menceraikan istri- istrimu maka hendaklah kamu ceraikan pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya (yang wajar), dan hitunglah waktu iddah itu serta bertakwalah kepada Allah Tuhanmu. Janganlah kamu keluarkan mereka ( diizinkan) ke luar kecuali kalau mereka mengerjakan perbuatan keji yang terang. Itulah hukum-hukum Allah. Dan barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah maka sesunguhnya dia telah berbuat lalim terhadap dirinya sendiri. Kamu tidak mengetahui barangkali Allah mengadakan sesudah itu suatu hal yang baru. Apabila mereka telah mendekati akhir iddahnya maka rujuklah mereka dengan baik atau lepaskanlah mereka dengan baik, dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di antara kamu dan hendaklah kamu tegakkan kesaksian itu karena Allah. Demikianlah diberi pengajaran dengan itu orang yang beriman kepada Allah dan hari akhirat. Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar: ” (QS. ath-Thalaq [65]: 1-2)
Allah swt berfirman, “Hai Nabi, Apabila kamu menceraikan istri- istrimu maka hendaklah kamu ceraikan pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya (yang wajar), dan hitunglah waktu iddah itu serta bertakwalah kepada Allah Tuhanmu. Janganlah kamu keluarkan mereka ( diizinkan) ke luar kecuali kalau mereka mengerjakan perbuatan keji yang terang. Itulah hukum-hukum Allah. Dan barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah maka sesunguhnya dia telah berbuat lalim terhadap dirinya sendiri. Kamu tidak mengetahui barangkali Allah mengadakan sesudah itu suatu hal yang baru. Apabila mereka telah mendekati akhir iddahnya maka rujuklah mereka dengan baik atau lepaskanlah mereka dengan baik, dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di antara kamu dan hendaklah kamu tegakkan kesaksian itu karena Allah. Demikianlah diberi pengajaran dengan itu orang yang beriman kepada Allah dan hari akhirat. Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar: ” (QS. ath-Thalaq [65]: 1-2)
Yang dimaksud dengan balaghna
ajalahunna adalah mereka mendekati akhir masa iddahnya. Sedangkan yang dimaksud
dengan amsikuhunna adalah ungkapan kiasan yang berarti rujuklah mereka,
sebagaimana yang dimaksud dengan bimufaraqatihinna yang berarti membiarkan
mereka keluar dari masa iddahnya dan menjadi ba’in.
Tidak diragukan bahwa firman Allah
swt, …dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil menunjukkan perintah
wajib seperti perintah-perintah lainnya yang terdapat dalam syariat dan tidak
dapat diubah menjadi pengertian lain kecuali dengan dalil lain. Terdapat
beberapa kemungkinan sebagai berikut:
1. Kalimat
tersebut menjadi syarat bagi kalimat: maka ceraikanlah mereka pada waktu mereka
dapat (menghadapi) iddahnya.
2. Kalimat
tersebut menjadi syarat bagi kalimat: maka rujuklah mereka dengan cara yang
baik.
3. Kalimat
tersebut menjadi syarat bagi kalimat: atau ceraikanlah mereka dengan cara yang
baik.
Tidak seorang pun mengatakan bahwa
syarat itu berlaku pada bagian yang terakhir. Sehingga berlakunya syarat itu
berkisar pada bagian pertama dan bagian kedua. Yang jelas, syarat tersebut
berlaku pada bagian pertama. Ha1 itu karena ayat tersebut menjelaskan
hukum-hukum talak dan dibuka dengan ka1imat: Hai Nabi, Apabila kamu menceraikan
istri-istrimu Dalam ayat tersebut disebutkan beberapa hukum talak sebagai
berikut:
1. Talak
itu dilakukan pada masa iddah mereka.
2. Menghitung
masa iddah.
3. Mereka
tidak boleh keluar dari rumah (selama masa iddah).
4. Suami
boleh memilih antara merujuk dan menceraikannya ketika mendekati akhir masa
iddahnya.
5. Kehadiran
dua orang saksi yang adil di antara kamu.
6. Masa
iddah perempuan yang tidak tetap masa haidnya ( mustarabah) .
7. Iddah
perempuan yang tidak haid padahal dalam usia haid.
8. Iddah
perempuan yang sedang hamil
Apabila Anda perhatikan sejumlah
ayat da1am surat ini dari ayat pertama hingga ayat ketujuh, Anda akan menemukan
bahwa ayat-ayat tersebut menjelaskan hukum-hukum talak. Sebab, itulah maksud
sebenamya, bukan rujuk yang dipahami dari firman-Nya: famsikuhunna (maka
rujuk1ah mereka) yang merupakan sisipan saja.
Berikut ini adalah beberapa riwayat
dari para imam kami as. Muhammad bin Muslim meriwayatkan: Seorang laki-laki
datang kepada Amirul Mukminin as di Kufah. la berkata, “Saya telah menceraikan
istri saya setelah ia suci dari haidnya sebelum saya mencampurinya.” Amirul
Mukminin as bertanya, “Apakah engkau menghadirkan dua orang saksi yang adil
seperti yang Allah perintahkan kepadamu?” Orang itu menjawab, “Tidak.” Maka
beliau berkata, “Kembalilah kepadanya karena talakmu tidak sah.”
Bakir bin A’yun meriwayatkan hadis
dari ash-Shadiqain as bahwa keduanya berkata, “Walaupun ia menceraikannya dalam
masa iddahnya dan dalam keadaan suci, belum dicampuri, tetapi hal itu tidak
dipersaksikan oleh dua orang yang adil, maka talaknya tidak sah.”
Muhammad bin al-Fudhail meriwayatkan
hadis dari Abu al- Hasan as bahwa beliau berkata kepada Abu Yusuf, “Agama itu
bukan qiyas seperti qiyas yang kamu dan kawan-kawanmu lakukan. Allah menetapkan
talak dalam Kitab-Nya dan menegaskannya dengan kesaksian dua orang. Kedua saksi
itu tidak diridhai kecuali dua orang yang adil. Dia pun menetapkan pernikahan
kembali (rujuk) dalam Kitab-Nya dan membiarkannya tanpa saksi. Maka kalian
mendatangkan dua orang saksi dalam sesuatu yang dibatalkan Allah dan
membatalkan dua orang saksi dalam sesuatu yang ditegaskan Allah .Azza wa Jalla.
Kalian mengesahkan perceraian oleh orang gila dan yang sedang mabuk. Kemudian
Dia menyebutkan hukum perlindungan terhadap keluarga.
Ath-Thabrasi berkata, “Para mufasir
mengatakan, Mereka diperintahkan untuk mendatangkan dua orang saksi yang adil
ketika melakukan talak dan rujuk sehingga istri tidak mengingkari rujuk dan
suami tidak mengingkari talak setelah berakhir masa iddah.” Ada juga yang
mengatakan bahwa itu artinya, “Datangkanlah saksi dalam melakukan talak untuk
memelihara agama kalian.’”
Itu1ah hadis-hadis yang diriwayatkan dari para imam kami as. Secara lahiriah, ini lebih pantas. Karena, jika kita mengartikan bahwa kesaksian itu berlaku dalam talak maka hal itu merupakan sesuatu yang menuntut penetapan wajib, dan kesaksian itu termasuk syarat-syarat sahnya talak. Sedangkan orang yang mengatakan bahwa kesaksian itu berlaku dalam rujuk, itu berarti kesaksian tersebut merupakan sunah.”
Itu1ah hadis-hadis yang diriwayatkan dari para imam kami as. Secara lahiriah, ini lebih pantas. Karena, jika kita mengartikan bahwa kesaksian itu berlaku dalam talak maka hal itu merupakan sesuatu yang menuntut penetapan wajib, dan kesaksian itu termasuk syarat-syarat sahnya talak. Sedangkan orang yang mengatakan bahwa kesaksian itu berlaku dalam rujuk, itu berarti kesaksian tersebut merupakan sunah.”
Kemudian, Syekh Ahmad Muhammad
Syakir, hakim syariat di Mesir, menulis sebuah buku tentang talak dalam Islam.
la menghadiahkan sebuah naskahnya disertai sepucuk surat kepada
Allamah Syekh Muhammad Husain Kasyif
al-Ghithi’ . Isi suratnya sebagai berikut: Saya berpendapat bahwa disyaratkan
kehadiran dua orang saksi ketika dilakukan talak. Jika talak dilakukan tanpa
kehadiran dua orang saksi, talak tersebut tidak sah. Walaupun pendapat ini
bertenta~gan dengan mazhab-mazhab yang empat (Ahlusunah) tetapi ditegaskan
dengan dalil dan sesuai dengan mazhab ahlulbait dan Syi’ah Imarniyah.
Saya juga berpendapat bahwa
disyaratkan kehadiran dua orang saksi ketika dilakukan rujuk. Pendapat ini
sesuai dengan salah satu qawl Imam Syafi’i tetapi bertentangan dengan mazhab
ahlulbait dan Syi’ah. Saya heranl terhadap pendapat mereka yang membedakan di antara
keduanya. Padahal dalilnya sarna yaitu, “… dan persaksikanlah dengan dua orang
yang adil di antara kamu.”
Allamah Kasyif al-Ghitha. menjawab
dalam surat balasan kepadanya. Ia menjelaskan alasan membedakan di antara
keduanya. Berikut ini bagian yang terpenting dari teks surat tersebut:
Seakan-akan-semoga Allah menerangi
burhan Anda-di sini Anda tidak menujukan pandangan pada ayat-ayat yang mulia
sebagaimana yang biasa Anda lakukan dalam-masalah yang lain. Jika Anda
memperhatikan ayat-ayat itu, tentu tampak kcpada Anda bahwa surah yang mulia
tersebut berisi penjelasan tentang kekhususan dan hukum-hukum talak sehingga
surah tersebut dinamakan surah ath-Thalaq. Surah tersebut diawali dengan
firman-Nya, “. “Apabila kamu menceraikan istri- istrimu. ” Kemudian Dia
menyebutkan keharusan dijatuhkan talak pada masa iddah; bukan setelah bercampur
dan bukan pu1a pada masa haid, keharusan menghitung masa iddah, dan larangan
bagi mereka untuk keluar rumah. Setelah itu, Dia keluar dari topik pembahasan
dengan menje1askan rujuk ketika menjelaskan hukum-hukum talak. Al1ah swt
berfirman, “… Apabila mereka telah mendekati akhir iddahnya maka rujuklah
mereka dengan baik. “Yakni, apabi1a telah mendekati akhir iddah, kamu boleh
menahan mereka dengan rujuk atau meningga1kan mereka untuk berpisah. Kemudian
Dia kembali menyempurnakan hukum-hukum ta1ak. Al1ah swt berfirman, ” ..dan
persaksikanlah dengan dua orang yang adil di antara kamu. ” Yakni, dalam talak
yang merupakan konteks pembahasan untuk menjelaskan hukum-hukumnya dan dipandang
buruk mengembalikannya pada rujuk yang tidak disebutkan kecuali sebagai sisipan
saja. Tidakkah Anda perhatikan, kalau seseorang mengatakan, ‘Jika seorang alim
datang kepadamu, kamu harus menghormati dan memuliakannya. Hendaklah kamu
menyambutnya baik ia datang sendirian maupun bersama pelayan atau temannya.
Wajib mengiringi dan bersikap ramah.’ Anda tidak akan memahami kalimat ini
kecuali keharusan mengiringi dan bersikap ramah kepada alim itu, bukan kepada
pelayan dan temannya walaupun kedua orang itu berjalan di belakangnya. Demi
Allah, menurut kaidah-kaidah bahasa Arab dan rasa bahasa ( dzawq) yang benar,
ini sangat jelas dan tidak samar bagi Anda. Anda lebih menguasai bahasa Arab
kecuali kalau tidak lalai-kelalaian lawan dari ketidakraguan. Ini dari lafaz
dalil dan konteks ayat yang mulia.
Terdapat ungkapan yang mendalam dan
benar dalam hal hikrnah syariat dan fa1safah Islam serta ketinggian kedudukan
dan keluasan wawasannya da1am hukum-hukumnya, yaitu bahwa tidak ada sesuatu
yang ha1a1 yang paling dibenci Allah swt kecua1i ta1ak. Agarna Islam, seperti
yang Anda ketahui tidak menghendaki jenis perpisahan apa pun terutama da1am
keluarga. Lebih khusus lagi da1am pernikahan setelah satu sama lain sa1ing
memberi.
Pembuat syariat, dengan kebijaksanaan-Nya yang agung, hendak mengurangi terjadinya perceraian dan perpisahan. Maka Dia memperbanyak syarat-syaratnya berdasarkan kaidah yang sudah dikenal bahwa Apabila sesuatu itu banyak ikatannya akan sedikit keberadaannya. Dia menetapkan adanya dua orang saksi yang adil, pertama untuk memastikan dan kedua untuk menangguhkannya. Mudah-mudahan dengan kehadiran dua orang saksi atau kehadir- an suami~istri atau salah satu dari keduanya bagi mereka akan menimbulkan penyesalan dan mereka kembali bersatu-sebagaimana ditunjukkan da1am finnan Allah swt, “. ..kamu tidak tahu barangkali Allah menjadikan sesuatu yang baru setelah itu. ” Inilah hikmah yang mendalam dari ditetapkannya dua orang saksi. Tidak diragukan bahwa ha1 itu sangat diperhatikan oleh Pembuat syariat Yang Maha bijaksana di samping terdapat faedah-faedah yang lain. Ini semua merupakan kebalikan dari masalah rujuk. Pembuat syariat ingin menyegerakannya, dan dalam menunda-nundanya barangkali terdapat penyakit. Karenanya dalam rujuk tidak diwajibkan satu syarat pun.
Pembuat syariat, dengan kebijaksanaan-Nya yang agung, hendak mengurangi terjadinya perceraian dan perpisahan. Maka Dia memperbanyak syarat-syaratnya berdasarkan kaidah yang sudah dikenal bahwa Apabila sesuatu itu banyak ikatannya akan sedikit keberadaannya. Dia menetapkan adanya dua orang saksi yang adil, pertama untuk memastikan dan kedua untuk menangguhkannya. Mudah-mudahan dengan kehadiran dua orang saksi atau kehadir- an suami~istri atau salah satu dari keduanya bagi mereka akan menimbulkan penyesalan dan mereka kembali bersatu-sebagaimana ditunjukkan da1am finnan Allah swt, “. ..kamu tidak tahu barangkali Allah menjadikan sesuatu yang baru setelah itu. ” Inilah hikmah yang mendalam dari ditetapkannya dua orang saksi. Tidak diragukan bahwa ha1 itu sangat diperhatikan oleh Pembuat syariat Yang Maha bijaksana di samping terdapat faedah-faedah yang lain. Ini semua merupakan kebalikan dari masalah rujuk. Pembuat syariat ingin menyegerakannya, dan dalam menunda-nundanya barangkali terdapat penyakit. Karenanya dalam rujuk tidak diwajibkan satu syarat pun.
Menurut kami, pengikut mazhab
Imamiyah-dengan segala ucapan, perbuatan, dan isyarat yang menunjukkannya-dalam
rujuk tidak disyaratkan redaksi (shigat) tertentu seperti yang di- syaratkan
dalam talak. Semua itu untuk mempermudah terlaksananya perkara yang dicintai
Pembuat syariat yang Maha Pengasih kepada hamba-hamba-Nya dan sangat menyukai
persatuan mereka, bukan perpisahan. Bagaimana tidak memadai dalam rujuk, bahkan
cukup dengan isyarat, menyentuhnya, dan meletakkan tangan padanya dengan maksud
rujuk. Ia-yakni, perempuan yang ditalak raj’i-bagi kami pengikut mazhab
Imamiyah masih merupa- kan istri hingga keluar dari iddahnya. Oleh karena itu,
ia dapat mewarisi dari suaminya dan suami dapat mevarisi darinya, wajib bagi
suami menafkahinya, suami tidak boleh menikahi saudara perempuannya, suami
tidak boleh menikah dengan istri kelima, dan berlaku baginya hukum-hukum
pernikahan lainnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar