Rabu, 09 Februari 2011

PERKEMBANGAN ISLAM PADA MASA NABI MUHAMMAD

Setelah perselisihan yang panjang Muhammad bertambah yakin atas misinya yang suci. Muhammad mengarahkan usahanya pertama kali untuk meyakinkan penduduk negerinya atas kebenaran ajaran barunya, ketauhidan, kebencian terhadap penyembah berhala, kewajiban manusia untuk tunduk kepada kemauan Sang Pencipta. Inilah kebenaran dari ajaran yang ditegaskan5. Muhammad berpikir keras bagaimana cara menyiarkan Islam di kalangan umatnya yang keras dan masih senang menyembah berhala. Setelah mengajak anggota keluarga masuk ke dalam naungan Islam, yaitu isterinya Khodijah, keponakannya Ali bin Abi Thalib, anak angkatnya Zaid bin Haritha, Muhammad segera mengajak orang dari luar keluarga dari kalangan suku Quraisy yaitu Abu Bakar bin Abi Quhafah yang menjadi sahabat akrabynya, dan mendapatkan penghargaan yang tinggi [siddik] karena kesalehan dan kebijaksaannya, kemudian beberapa pemuda dari golongan miskin mau memeluk kepercayaan baru ini. Kemudian, dari Abu Bakarlah Islam diperkenalkan kepada sehabat-sehabatnya yang dipercaya, seperti Usman Bin Affan, Abdurrahman bin Auf, Thalhah bin Ubaidillah, Sa’ad bin Abi Waqqa, Zubair bin al-Awwam, Ubaidah bin Jarrah dan beberapa orang lagi. Mereka adalah orang-orang pertama yang beriman dengan kepercayaan ini.
Pada masa awal, Muhammad mempertahankan atau menyebarkan ajarannya dengan diam-diam selama tiga tahun tetapi orang-orang Quraisy memandang rendah kepadanya juga kepada shahabat-shahabatnya. Setelah da’wah berjalan tiga tahun secara diam-diam, Muhammad diperintahkan Allah untuk melakukan da’wah secara terang-terangan. Dalam Qur’an Surat Al-Hijr [15]:94, “Maka sampaikanlah olehmu secara terang-terangan segala apa yang diperintahkan kepadamu dan berpalinglah dari orang-orang musyrik”. Selain itu diperintah Allah swt untuk mengajak para kerabatnya, hal ini ditegaskan dalam QS. As-Syuara, 26:214, “Dan berikanlah peringatan kepada kerabat-kerabatmu yang terdekat”. Maka, dengan berpedoman pada ayat tersebut, Muhammad mengajak kaum keluarganya, yaitu Bani Hasyim, untuk masuk Islam, akan tetapi mereka tidak menghiraukannya, bahkan pamannya “Abu Lahab” mencemohkannya, hingga turunlah QS al-Lahab, 111:1-5, “Binasalah kedua tangan Abu lahab dan sesungguhnya dia akan binasa. Tidaklah berfaedah kepadanya harta bendanya dan apa yang dia usahakan. Kelak dia akan masuk ke dalam api yang bergejolak. Dan [begitu juga] isterinya, pembawa kayu bakar. Yang dilehernya ada tali dan sabut”.
Kaum Quraisy merasa terancam dengan berkembangnya da’wah Islam. Mereka berusaha menghalang-halangi da’wah Islam itu dengan berbagai cara, diantaranya dengan memutuskan hubungan antara kaum muslimin dan suku Quraisy, menyiksa mereka yang lemah sampai-sampai ada yang dibunuh. Sekalipun Muhammad dalam lindungan pamannya Abu Thalib, Muhammad dan pengikutnya selalu menghadapi kesulitan yang besar. Memasuki “tahun kelima” dari kenabiannya atau 615 M, Muhammad tidak dapat meringankan penderitaan pengikut-pengikutnya sehingga Muhammad memerintahkan mereka berhijrah ke Abessinis yang diikuti oleh kira-kira 100 laki-laki dan perempuan, meninggalkan negeri mereka menuju negeri lain dimana mereka diterima dengan baik oleh raja Kristen di negeri itu6. Dalam catatan sejarah, memang kaum Quraisy tidak berani menyakiti Muhammad kerena beliau mendapatkan perlindungan dari pamannya Abu Thalib yang sangat disegani kaum Quraisy. Abu Thalib, memeiliki pribadi yang sangat khas, yaitu disatu sisi membenarkan Islam, membela keponakannya Muhammad, namun pada kenyataannya tidak pernah mengikuti apa yang dibelanya sampai ia meninggal. Dan setelah isterinya Khodijah meninggal dunia dan juga paman pelindungnya Abu Thalib, kaum Quraisy meningkatkan perlawanannya terhadap da’wah Muhammad dan tahun ini disebut dengan tahun kesedihan atau “‘amul khuzni”. Kaum Quraisy memboikot kaum muslimin dengan mengantungkan piagam di atas Ka’bah agar mereka tidak berhubungan dengan kaum muslimin. Kaum muslimin bersama Muhammad menyalamatkan diri mereka di cela-cela gunung di luar Mekkah. Mereka mengalami penderitaan yang sangat berat kerana kekurangan makanan. Setelah piagam itu dimakan rayap kurang lebih tiga tahun berikutnya, ternyata tak ada di antara kaum muslimin yang menyatakan ke luar dari Islam dan akhirnya piagam tersebut dinyatakan batal oleh kaum Quraisy.

Setelah kaum Quraisy melihat Muhammad tanpa perlindungan yang disegani, Muhammad dihina dan dicaci maki penduduku setempat. Kaum Quraisy semakin keras menentang dan mengganggu da’wahnya dan akhirnya Nabi Muhammad memutuskan untuk mencari tempat lain dimana ajarannya dapat berkembang dengan pesat yaitu di Tho’if sebuah kota yang terletak kira-kira 70 mil dari kota Mekkah dan terkenal di jazirah Arab yang merupakan tempat subur bagi suku Quraisy. Kedatangan Nabi Muhammad dengan ajaran baru tentang ketauhidan menimbulkan ejekan dan hinaan dari pemimpin Tho’if yang tidak mengenal rasa belas kasihan sama sekali dan memaksa Muhammad untuk keluar dari kota mereka. Dalam perjalanan pulang masa depan Muhammad kelihatan lebih suram dari pada sebelumnya, kesengsaraan jiwanya dinyatakan dengan kata-kata yang sama dengan kata Nuh, yaitu : “Nuh berkata: “Ya Tuhanku sesungguhnya aku telah  menyeru kaumku siang dan malam, tetapi seruanku itu hanya menambah mereka lari dari kebenaran. Dan sesungguhnya setiap kali aku menyeru, agar supaya Engkau ampuni mereka, mereka memasukkan anak jari mereka ke dalam telinganya dan menutup bajunya [kemukanya] dan mereka tetap mengingkari dan menyombongkan diri dengan sangat [QS, 71:5-7]. Dalam keadaan terjepit dalam upaya menyiarkan agama, Allah  memperkenankan Muhammad untuk langsung menghadap Allah dengan memperjalankan Muhammad dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsa dan selanjutnya ke Sidratul Muntaha. Peristiwa ini dikenal sebagai peristwa Israk Mikraj. Melalui peristiwa Israk Mikraj ini Muhammad dapat melihat siapa di antara umatnya yang benar-benar mantap dengan kepercayaan kepada Allah Yang Maha Esa dan mereka yang masih diselubungi keraguan. Pada siatuasi ini Abu Bakar Ash-Shidiq-lah dengan lantang tanpa keraguan mengungkapkan akan rasa percayanya yang tanpa dicampuri rasa keraguan akan peristiwa yang dialami Muhammad yaitu Israk Mikraj7. Nabi Muhammad tak putus asa dalam menyerukan da’wah Islam, dan strategi da’wah mulai dilakukan “pada musim haji. Muhammad menyebarkan ajaran Islam di tengah-tengah jemaah haji dari berbagai macam suku Arab, tetapi ajaran tauhid masih menimbulkan ejekan dan hinaan dari mereka. Bagaimanapun juga keadaan membuktikan, bahwa Muhammad mulai mengalihkan startegi da’wahnya dengan lebih baik untuk menyebarkan ajarannya ketika menjumpai sekelompok kecil dari jemaah haji yang berasal dari Yatsrib [yang kemudian disebut Madinah]. Penduduk kota ini terdiri dari bani Aws, bani Khazraj, suku Yahudi dari bani Quraisy dan Nadhir.
Walaupun sudah lama terjadi permusuhan, mereka lebih dapat untuk memahami ajakan Muhammad daripada menyembah berhala oleh penduduk Mekkah. Mereka memeluk agama Islam dan pulang ke negeri mereka sebagai missionaries atau juru da’wah Islam sehingga ajaran baru ini cepat tersebar dari rumah ke rumah bahkan dari suku ke suku yang lain. Dua tahun sesudah itu pada musim haji, sekelompok jemaah dari Yatsrib mengajak Muhammad untuk hijrah atau mengunjungi ke kota meraka dan mereka akan setia kepadanya [bersumpah setia kepadanya sebagai atasan atau pimpinan mereka. Mengingat bahwa penduduk Mekkah tidak banyak berubah dari pendirian menyembah berhala dan selalu menghalangi dan mengejar-ngejar umat Islam, maka Allah memerintahkan Muhammad untuk hijrah ke Yatsrib [Madinah]. Pada musim semi tahun 622 M, umat Islam Mekkah secara diam-diam hijrah ke daerah utara dalam jumlah yang sedikit. Perjalanan Muhammad mendapatkan rintangan bahkan dikejar Quraisy, tetapi Muhammad bersebuni di gua Hira yang mendapatkan perlindungan dari Allah dengan kejadian yang tidak mampu dinalar oleh akal membuat sarangnya di pintu gua dan burung merpati liar tinggal di atas pohon] yang mengalihkan perhatian kaum Quraisy Mekkah dan Nabi Muhammad lepas dari pengejaran kaum Quraisy tersebut. Nabi Muhammad menlanjutkan perjalanan ke Yatsrib dan dalam perjalanan Nabi Muhammad melaksanakan “shalat Jum’at  pertama kali” dengan suku bani Salim dalam perjalanan menuju Yathrib [Madinah]. Nabi Muhammad tiba di Yatsrib [Madinah] dengan kemenangan dan peristiwa hijrah inilah yang menandakan berakhirnya jahiliyah dan dimulainya masa Muhammad. Peristiwa hijrah, tercatat sebagai salah satu lembaran penting dalam “peradaban Islam” pada masa Muhammad. Di Madinah Nabi Muhammad segera membangun Masjid, membangun masyarakat baru yaitu sebuah masyarakat madani atau masyarakat sipil dengan tatanan sosial yang kokoh.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa perjuangan da’wah Islam yang dilakukan Nabi Muhammad di Mekkah ditekankan pada “penanaman dasar-dasar keimanan” yang berlangsung selama 13 tahun. Hal ini berbeda dengan saat Nabi Muhammad berada di Madinah, karena di ibu kota Islam yang baru ini, Nabi Muhammad segera menerapkan membangun sebuah masyarat baru dengan “syariat Islam” dan pembangunan ekonomi, sebagai dasar kehidupan bermasyarakat dan bernegara.

Artikel : Fikir Muslim Indonesia

1 komentar: